Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Saya, Kairo, dan Kutukan Sungai Nil
30 November 2019 11:43 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Fajar Safar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mesir, khususnya Kota Kairo menjadi tempat penting dalam perjalanan hidup saya. Di sana, saya pernah menetap (2002-2007), menjalankan wasiat terakhir orang tua agar putra bungsunya bisa menimba ilmu dari salah satu perguruan tinggi tertua di dunia, Universitas Al Azhar.
ADVERTISEMENT
El Katameya di New Cairo, Rabe’ah El Adaweya, Hay Tsamin dan terakhir Hay Sabe’ di Nasr City menjadi saksi penting saat diri ini pernah ditempa keras melawan sejuta tantangan di negeri Firaun.
Pesan bijak selalu saya pegang. ‘El Qahera, in lam taqharhaa, taqharka!’. Kota Kairo, bila tidak kau taklukkan, dia yang akan menaklukkan kau! Tidak cukup dengan pesan itu, seorang mahasiswa senior Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA), Teungku Fauzan menegurku dengan keras, “Kalau kamu berani mengambil jurusan bahasa (Arab), mulai sekarang jangan banyak tawa”. Seketika saya terdiam, meskipun teman-teman satu flat lainnya masih bercanda dan tawa.
Jurusan Bahasa Arab memang selalu menjadi momok bagi mahasiswa asing non-arab pada saat itu. Terutama bila berhadapan dengan mata kuliah Nushush Adabiyah (Naskah Sastra) dan Tarikh el Adab (Sejarah Sastra), yang menambah daftar tugas hafalan selain Al Quran, yaitu syair Arab dari pelbagai periodisasi kesusastraan Arab.
ADVERTISEMENT
Kini, sepuluh tahun setelah kembali ke tanah air, wajah kota Kairo masih saja tetap melekat di hati saya. Setiap sudut kota masih terlukis indah dalam memori. Semua pahit manis perjuangan di negeri Seribu Menara ini menjadi cerita yang selalu indah untuk dikenang. Ingin sekali bisa kembali ke Kairo. Kadang hati ini bertanya, mengapa ‘Kutukan Sungai Nil’ tidak terjadi ke atasku? Kata orang Mesir, siapa saja yang pernah meneguk air sungai Nil, dia akan kembali lagi ke Mesir. Saya pun masih terus menunggu. Dulu di Mesir, saya memang sering meneguk langsung air sungai Nil dari keran di apartemen.
Hingga suatu ketika, di akhir Juli 2019 takdir Tuhan yang menjawab. Saya kembali ke Mesir. Walau hanya untuk empat hari saja. Walau dengan kegiatan yang super padat.
ADVERTISEMENT
Rekan lama di Kairo menemani saya menapak tilas kenangan di kota Kairo. Sederet daftar tempat wisata utama di Kairo juga ditawarkan kepada saya, namun itu tidak cukup menarik buat saya. Saya hanya ingin melepaskan kerinduan saya pada tiga hal dalam kunjungan kali ini ke Kairo.
1. Jami’ Al Azhar (Masjid Al Azhar)
Masjid Al Azhar, berlokasi di El Husein, memiliki keunikan puncak kembar di atas menaranya. Mesjid Al Azhar selalu menjadi tempat yang paling nyaman untuk saya, saat ingin menenangkan diri, mengulang pelajaran, menghafal Al Quran dan mengikuti kajian keislaman. Di sini pula, berjuta kening ulama lulusan Universitas Al Azhar pernah bersujud. Terselip harapan, agar suatu saat putera-puteri saya juga dapat berguru Islam wasathiyah pada syekh-syekh di Al Azhar.
2. Masjid Rabe’ah El Adaweya
ADVERTISEMENT
Masjid Rabe’ah El Adaweya terletak di Shari’ Thayaran di utara Nasr City. Masjid ini dilengkapi pendingin dan kipas angin sehingga membuat nyaman setiap jamaah yang datang. Imam di masjid ini selalu mengisi kajian keislaman dan khutbah Jumat dengan nada suara yang rendah dan juga lembut. Karena ingin dekat dengan masjid ini, saya memutuskan pindah apartemen dari El Katameya ke Rabe’ah El Adaweya pada tahun kedua di Kairo. Namun, di Rabe’ah El Adaweya saya dan rekan sesama mahasiswa hanya bertahan satu tahun, dikarenakan pemilik flat, warga negara Palestina, ingin menjual flat-nya dan tidak memperpanjang kontrak.
Namun siapa sangka, masjid yang dulu dipenuhi jamaah pada setiap waktu shalat, kini ditutup rapat dan dijaga rapat oleh kepolisian Mesir pasca peristiwa penyerangan militer Mesir terhadap pendukung Presiden Mesir yang dikudeta, Mohamed Morsi pada tanggal 14 Agustus 2013. Saya pun hanya bisa melihat mesjid tersebut dari dalam mobil. Tidak memberanikan diri untuk berhenti atau mengambil foto dari jarak dekat.
Semoga pintu-pintu masjid ini kembali dibuka dan memberikan warna baru bagi demokrasi Mesir.
ADVERTISEMENT
3. Warung Tha'meyah di Pojok Masjid Al Azhar
Meskipun pernah mencicipi falafel saat bertugas di Oman atau saat dinas ke negara Arab Teluk lainnya, falafel Mesir atau yang disebut tha’meyah, menurut saya, memiliki rasa yang lebih tasty. Enaknya tha’meyah Mesir ternyata juga pernah diulas oleh Henry Dimbleby dan Jane Baxter dalam www.theguardian.com (The world’s best falafel recipe comes from Egypt).
Nah, warung tha'meyah yang berada di pojok Masjid Al Azhar ini juga punya 'iggah yang sangat laziz. 'Iggah adalah telur dadar yang dicampur dengan bahan dasar tha'meyah. Meskipun, ukuran warung yang relatif kecil, antrian pelanggan yang mau makan selalu panjang. Godaan rasa 'Iggah di warung ini, kadang-kadang saya harus masuk terlambat untuk kuliah jam kedua. Tapi ini, jangan sampai diikuti adik-adik Masisir (mahasiswa Mesir) ya!
Akhirnya, kerinduan saya tentang Kairo telah terobati. Tapi sayang, saya lupa minum air sungai Nil langsung dari keran, dalam kunjungan terakhir. El la’nah ma tirga’sy tani leya? Kutukan (Nil) gak bakal terjadi lagi kepada saya? Wallahu A’lam wa Aqdar.
ADVERTISEMENT