Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dulu #XLangkah Lebih Maju Sempat #Hypening Sesaat #sekarangkumparan Hi
10 Oktober 2017 21:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yang kenal saya silakan tersenyum. Judul di atas bukan clickbait. Itu adalah jawaban.
Sekitar akhir 2016 banyak rekan industri yang bertanya kepada saya. "Mas sekarang pindah ke mana? Bukannya telco udah nyaman? e-Commerce lagi banyak duit? Kala itu secara singkat saya cuman menjawab, "Saya kembali ke rumah".
ADVERTISEMENT
Ndak jelas memang jawaban saya. Ndak mutu juga. Saya masih ingat di sebuah libur akhir tahun banyak rekan-rekan yang menyayangkan resignation saya dari kapal terdahulu --yang kebanyakan dari mereka adalah teman-teman vendor. Ya iyalah.
Sebagai seorang performance marketers kita memang harus membina hubungan dengan banyak partner marketing technology kan? Gaptek sedikit saja. Cost kita bisa membengkak "dibodohi" pakai ayat agama eh dashbaord.
Lantas apa kaitannya dengan judul artikel di atas?
Baiklah langsung saya jelaskan. Tiga tagar di atas merupakan representasi dari tiga project besar saya di tiga industri yang berbeda. Saya ini pada dasarnya seorang builder. Semua karir path yang saya lalui hampir berwujud menciptakan sebuah inovasi produk. Saya suka tantangan. Saya suka eksplorasi yang tidak kaku. Tanpa inovasi otak kita bisa "mati".
ADVERTISEMENT
Sejak SD saya sangat mengagumi sosok Albert Einstain. Ada sebuah quotes menarik yang selalu saya jadikan pegangan dalam karir di industri ini, ketika saya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta.
Quote di atas mengajarkan hal bahwa kita harus senantiasa berinovasi. Bukan dalam teknologi namun juga pemikiran dan strategi. Itulah mengapa awalnya saya keluar dari media raksasa sekelas detik ke telco nomor dua kala itu di Indonesia. XL Axiata.
#XLangkah Lebih Maju
Kenapa kok ke telco nomor dua, bukan nomor satu? Jawaban saya simple. Nomor dua itu asik ngejarnya buat jadi nomor satu. Sementara nomor satu justru lebih deg-degan bisa keduluan nomor dua. Setidaknya itu kisah awalnya. Walaupun kenyataannya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang XL adalah kapal dimana saya banyak belajar soal bisnis digital telco di Indonesia. Sempat menjadi orang produk, kemudian mantab menjadi digital marketing. Saat itu praktisnya digital mungkin bisa dibilang cuma website dan social media.
Hingga dunia marketing mengenal apa yang disebut 360 digital marketing. Itu adalah era dimana saya bebas mengeksplorasi digital assets XL untuk meningkatkan brand awareness, brand engagement, kemudian conversion (subscribers) melalui ranah digital.
XL menggunakan strategi layaknya kota digital, dimana semua assetnya adalah gedung-gedung dan kota-kota. Sementara penduduk kota adalah para pengguna internet di Indonesia. Sebagai yang punya kota, kita tentu harus membuat betah dan nyaman para penduduk. Jangan sampai orangnya pada pergi. Di situlah peran penting apa yang disebut sebagai Trifecta Digital Marketing (own, earned, paid).
ADVERTISEMENT
Tahun pun berlalu, XL Axiata mendapat banyak social media achievement. Sementara saya banyak belajar hal-hal baru yang mungkin belum dilakukan kompetitor.
Achievements 2013-2014 (by socialbakers):
DNA brand XL waktu itu adalah 'explorative'. Alhasil saya pun dituntut untuk berpikir kreatif dalam mengerjakan campaign-campaign digital. Pelajaran ini bakal saya kembangkan di kapal selanjutnya.
#XLangkahLebihMaju adalah tagar yang selalu dibawa dalam setiap campaign apapun di XL. Di era keemasan social media, kami banyak sekali mencoba hal-hal baru yang bahkan measurement nya saja belum jelas. Untunya saya berada di brand besar sehingga budget bukan masalah berarti. Kalaupun gagal, kita masih bisa dapat lesson learningnya.
ADVERTISEMENT
#XLangkahLebihMaju adalah bentuk nyata dari perubahan mindset lama digital framework kala itu. Dari silo menjadi terintegerasi. Social media, SEO, website development, community, semua terintegerasi dalam sebuah campaign. Bagi tim digital ini adalah mahakarya luar biasa. Insight yang kami lakukan bisa dilihat pada video berikut.
#ThanXL #XLangkahLebihMaju
Those year all over...
Saya pun bosan dan haus akan pengalaman selanjutnya.
Inilah yang mengantar saya ke kapal berikutnya: eCommerce retail.
#HYPENING
Dalam hidup saya selalu takut untuk menjadi orang sales. Saya ini marketing. Tugasnya membuat orang jatuh hati pada brand. Walau bagaimanapun kalau cuma jatuh hati tapi orang gak beli, perusahaan pun tidak untung. Gimana ya caranya sebagai marketing tapi harus mengkontribusikan performance kita ke sales?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah eCommerce!
Jika ada kesempatan, saya akan coba. Kesempatan pun tiba saat raksasa retail terbesar di Indonesia, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) berencana melahirkan eCommerce sendiri. Kesempatan nih.
Ini adalah kawah candradimuka bagi semua marketers. Terlebih manajemen saya waktu itu agak masa bodoh amat dengan yang namanya: awareness, engagement, brand recall, brand equity. Mereka cuma peduli hal ini.
Jadi, sebagus-bagusnya marketing startegy yang saya bikin, sekeren-kerannya campaign yang bisa dinikmati, kalau tidak menghasilkan ROI (Return On Investement) yang positif, ya percuma saja.
Berada di perusahaan sekelas MAP yang kala itu sedang getol-getolnya melakukan digital transformation (offline to online) --karena retail lagi turun 4% YoY-- merupakan keunikan tersendiri. Saya bersama bos idola saya bernama Jasmina Nashya harus memutar otak. Gimana caranya orang bisa mengenal produk baru kami (mapemall.com) kalau cost branding pun ultra irit, sekali jalan campaign dengan brand yang belum terkenal langsung menghasilkan ROI.
ADVERTISEMENT
Untungnya bos saya adalah seorang shopaholic. Jadi dia sangat mengerti bagaimana komunikasi produk melalui brand-brand premium MAP. Maka lahirlah #HYPENING. Tagar inilah yang menjadi roh campaign campaign kami waktu itu. Kami banyak bekerja dengan para fashion stylist, buzzer, media untuk menebar virus #HYPENING dan disaat yang sama harus menghasilkan conversion.
Di situlah saya mengasah pisau tajam skill performance marketing. Saya pun membuka seluas-luasnya jaringan dengan industri. Belajar banyak dari para 'Zalora Mafia' yang sekarang udah pada jadi top level. Waktu itu rocket internet cukup sukses dengan growth hacking starteginya. Rasa dahaga pun terbayar dengan pelajaran-pelajaran berharga dari mereka. Rumus saya cuma ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).
Secara operasional keadaan waktu itu memaksa saya untuk bolak balik melakukan A/B testing semua keyword SEM. Beragam cara programatic buying pernah saya lakukan. Hingga saya menemukan titik stabil melalui dynamic remarketing. Titik stabil di SEM tidak diikuti dengan SEO. Alhasil saya memaksa tim untuk tetap menghitung ROI dari SEO dan partnership channel. Saya banyak belajar model dealing partnership dari punggawa-punggawa ZARA yang marketing costnya setahun konon under 5 M namun sales bisa berlipat-lipat.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang retail industri itu sama kerasnya dengan telco. Tapi sebagai eCommerce retail, rasanya telco belum ada apa-apanya. Jiwa saya pun berevolusi dari selembut sutra kepada semua vendor menjadi sekeras harga bitcoin.
Pasalnya target saya adalah mendeliver ROI media 0.80 dalam kurun tiga bulan sejak peluncuran. Saya pun menjadi lebih cina daripada teman-teman cina saya, lebih Yahudi daripada yahudi, dan yang paling penting lebih madura daripada teman-teman madura saya (senggol bacok!).
Stress? Jelas. Quit? No way!
Lucunya semua bentuk pressure eCommerce tidak membuat saya putus asa. Malah saya semakin bersemangat untuk belajar hal baru: CRM (Consumer Retention Management). MAP tidak hanya melahirkan toko online saja namuna juga kartu loyalty bernama MAP Club.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat ketemu dengan banyak orang baru di bidang CRM. Mulai dari orang China, India, Jawa, Sumatra, Sunda. Semua saling sikat untuk mensukseskan project tersebut. Mungkin kontribusi terbesar saya waktu itu adalah melakukan setup frame EDM dan merapikan database offline ke online 200++ brand MAP.
Waktu berlalu. Perlahan korban pun berjatuhan. Sejak diluncurkan, MAPEMALL mengalami churn rate karyawan yang cukup tinggi. Dan itu normal di dunia retail. Pegangan saya cuman satu. Selama masih menjadi seorang digital marketer it's oke boss.
Nasib berkata lain. Politik retail memang kencang. Pergeseran dinasti politik kantor membuat saya memutuskan untuk keluar beberapa bulan setelah re-organisasi. Dalam hal ini ada pelajaran berharga yang saya dapat. Sebuah pesan kepada semua retail yang memimpikan indahnya OMNI CHANNEL RETAIL.
ADVERTISEMENT
Thanks MAPEMALL yang selalu #HYPENING
#XLangkah Lebih Mundur
Tepat satu tahun saya berada di MAPEMALL akhirnya saya resign. Saya tersenyum puas karena sudah ikut melahirkan sebuah eCommerce bagi industri berbonus belajar CRM. "Ahh saatnya rehat sejenak dari industri. Sambil memikirkan rencana masa depan (baca: menikah).
Belum genap seminggu merasakan enaknya nganggur di rumah, sebuah pesan masuk WA saya. Namanya Dr. Masdiana Sulaiman ~ Head Of OTT Axiata. Beliau adalah orang Malaysia yang sudah sangat piawai dalam bisnis OTT di negeri Jiran. Beliau dikirim khusus dari Axiata ke XL. Dia sedang membangun tim OTT. XL sedang membutuhkan seorang Brand Manager.
Saya terima tawaran tersebut. Kembalinya saya ke XL tidak mudah, butuh approval CEO dahulu karena ini "special project" dari Axiata.
ADVERTISEMENT
7 bulan di XL bukannya merasa berkembang tapi malah #XLangkah Lebih Mundur. Ini bukan salah XL atau produk yang saya handle. Ini kesalahan saya sendiri. Menjadi brand manager itu enak. Asli enak. Hanya saja sepertinya saya mengalami titik jenuh di bisnis perusahaan skala enterprise.
Di sini saya sadar bahwa gameplay nya sudah berbeda. Pengalaman ini membuat saya berpikir lebih luas lagi. Jika dulu kerjaan saya koordinasi di level Manager-GM, sekarang saya dipush untuk koordinasi level group business (Axiata) dengan operational (XL). Di sini saya belajar business metrics yang lebih menguntungkan. Menguntungkan yang berkepentingan tentunya. If you know what i mean.
Disaat saya bosan saya curhat kepada career mentor saya. Seorang pinoy yang cukup mapan dan bekerja sebagai expatriat di salah satu top of brand negeri ini. Saya masih ingat dia berujar, "Jarvis (panggilan saya di XL) ...it's ok. You need to answer your inner question: What do you really wanted to?"
ADVERTISEMENT
Simple kan? Terus gimana ceritanya bisa sampai kumparan?
#sekarangkumparan
Perkataan dia itu sungguh mengganggu otak saya dalam beberapa minggu. Saya butuh refreshing. Saya penat. Alam semesta pun berkehendak lain. Mestakung terjadi.
Di sebuah sore yang cerah. Ceritanya saya lagi pergi ke Odaiba Park Tokyo, Jepang pada acara Ultra Music Festival. Sore itu dalam perhelatan festival music electornic terbesar ini rupanya hape saya bergetar tanpa saya tidak sadar.
Di tengah suasana party tropical house ternyata ada sebuah pesan di Facebook Messenger dari seseorang bernama Andrias Ekoyuono. Mas Andrias yang baru join kumparan sebagai CMO (http://andrias.id/saya-mengejar-mimpi-berikutnya/) ternyata mengirim sebuah pesan. Dalam kondisi 1/4 giting saya membacanya.
Mas Andrias ini adalah senior saya di industri. Dia yang 'menjerumuskan' saya awalnya dari wartawan teknologi ke industri marketing. Kalau dulu saya tidak menerima ajakannya ke XL. Mungkin saya masih di detik.com tanpa mengenal indahnya dunia marketing.
ADVERTISEMENT
Singkatnya pulang ajeb-ajeb dari Jepang saya pun menemui CMO kumparan tersebut, dilanjutkan ketemu CEO kumparan Hugo Diba, salah satu expert di bidang programatic ad yang pernah saya kenal, dan COO kumparan mbak Ine Yordenaya, yang sudah sukses melahirkan CNN Indonesia di sebuah bilangan Rasuna Said.
Ini menarik pikir saya. Banyak expert industri bergabung membentuk startup baru. Masih ingat quote Einstain yang selalu saya pegang?
Digital disruption tengah menghajar semua industri di muka bumi. Tau salah satu industri yang paling parah terkena imbas digital ini?
Yap media!
Sadar atau tidak, ternyata selama ini saya berada di top industri yang ancur-ancuran terkena dampak massive pertumbuhan digital. Retail 57%, Telco 64%. Sadar atau tidak, selama ini skill saya diasah oleh alam semesta langsung di level paling kusut. Tambah kusut lagi ternyata media angkanya paling gede 72%!
ADVERTISEMENT
Perubahan konsumen sudah pasti terjadi. Banyak bisnis tidak bisa mengikuti perubahan perilaku konsumen ini dan bangkrut. Prof Reinhard Khasali menyebutnya: Deadly Shift. Bagi saya ini challange baru.
1 Desember 2016 saya efektif bekerja di kumparan sebagai Head Of User Acquisition. Mungkin beberapa ada yang menganggap agak aneh. Kenapa media membutuhkan User Acquisition? Media kan traffic generator? Justru di sinilah peran saya. Saya berada di layer paling depan untuk mencari user-user berkualitas, sebelum ujungnya sales bekerja untuk mencari revenue. Jika ingin berubah mindset pun harus diubah.
Sebagai kepala akuisisi, dalam hal ini tugas pertama saya adalah membentuk tim User Acquisition yang cukup agile dalam sebuah project management. Karena ini startup, butuh lean framewrok yang scalable sebelum kita berlari kencang. Bagi saya tim work adalah hal yang sangat krusial. Dalam sebuah startup jika kita tidak dapat menyatukan visi secara internal akibatnya fatal. Ada sedikit hal-hal fundamental yang bisa saya share pada slide di bawah ini. Semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Bekerja dengan orang-orang hebat di industri sebelumnya membuat pandangan saya tentang bisnis media meluas. Setelah sekitar 5 tahun meninggalkan media, saya kembali ke rumah dengan energi baru. Setelah beberapa waktu tim growth hacker saya komplit. Kita siap melaju.
Sekarang ini rasannya industri media online sudah lebih matang. Saking matangnya sampai menyentuh titik nadir. Semua bermain di ranah yang sama. Hanya sedikit pebisnis media yang sadar akan adanya sesuatu yang salah dari dalam. Di kumparan, semua sadar akan itu dan bakal bergerak lebih cepat, massive dan efektif.
Mungkin belakangan ini saya agak kurang bergaul di lingkar industri. Banyak teman bertanya kenapa sekarang jarang aktif di seminar marketing atau workshop. Saya butuh fokus di dalam. Saya ga akan banyak ngomongi study case ini itu. Kalau Anda penasaran, boleh Anda cari sendiri bagaimana growth kumparan sekarang.
ADVERTISEMENT
Saya merasa perjalanan saya belajar di industri sudah ada yang mengatur. Kenapa saya dulu bekerja di media sebagai journos, telco sebagai brand guy, retail sebagai performance marketer, dan akhirnya kembali ke media sebagai growth hacker. Hidup adalah sebuah rangkaian pembelajaran.
Dulu #XLangkah Lebih Maju #Hypening Sesaat #sekarangkumparan
Ini adalah jawaban.