Konten dari Pengguna

Fear and Political Will

Fajar Widi
Ex Tech Journalist to Martech, Startup to Enterprise. Stock Market Enthusiast. Was viral at 2017, 1st man that use bitcoin as marriage dowry.
26 April 2017 11:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fear and Political Will
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Maukah kita melawan rasa takut atas kehendak bebas para politisi? Mau tidak mau, itu bakal meneror kita dalam 3 tahun (2017-2019). Sudah siap?
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas kenapa dalam 3 tahun kita dihinggapi teror, ada dua kata kunci yang perlu ditekankan di awal. Pertama adalah ‘fear’. Kedua adalah political will
Fear
Berdasar wikipedia, "Fear is a feeling induced by perceived danger or threat that occurs in certain types of organisms, which causes a change in metabolic and organ functions and ultimately a change in behavior, such as fleeing, hiding, or freezing from perceived traumatic events".
ADVERTISEMENT
Fear dialami umat manusia akibat stimulus yang dirasakan terhadap sesatu. Fear ini muncul dari proses pembelajaran dan kognitif kita sendiri.
Masing-masing manusia pasti punya fear yang berbeda-beda. Saya masih ingat sabda sang mahaguru Jedi, Yoda dalam film StarWars.
“Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering.”
Jadi intinya, untuk melawan rasa takut kita harus mencari tahu akar permasalahan yang membuat kita takut sendiri. Sehingga ketika kita sudah bisa memetakan konsep kenapa kita takut di saat yang sama kekhawatiran kita bakal sirna. Karena pada dasarnya, if we fear, we fear of unknown things. Rasa takut kita itu muncul karena hal-hal yang tidak kita ketahui. Mau bukti?
ADVERTISEMENT
Coba nonton film horor. Rasa takut kita sedikit hilang ketika menutup mata, atau menutup telinga. Kenapa? Karena otak kita berhenti mempertanyakan adegan yang tiba-tiba muncul (unknown things).
Apa hubungannya antara Fear dan Politik? Jelas ada! Fear adalah kunci terbesar, terefektif untuk memperoleh raihan suara terbanyak. Teori ini sudah terbukti dari abad 19 era kebangkitan komunisme di Rusia hingga Adolf Hitler di Jerman.
Bambang WS menjelaskan delapan tipe propaganda yang paling berbahaya pada sebuah artikel di Seword.
8 Tipe Propaganda Politik
1. Bandwagon, meyakinkan orang bahwa semua orang setuju/suka terhadap sebuah ide/tokoh. Contoh paling efektif adalah konser 2 jari saat pilpres 2014, dengan timing tepat dan liputan media yang luas ini berhasil menciptakan gema bahwa Jokowi JK didukung sedemikian banyak orang.
ADVERTISEMENT
2. Testimonial/Endorsement. Ini saya sudah tak perlu jelaskan lagi, lah. Di sisi ini Basuki Djarot menang, tokoh tokoh yang mengendorse, atau bertestimoni positif lebih banyak dan lebih kredibel dibanding Anies Sandi.
3. Just Plain Folks, membuat pemilih/orang biasa merasa bahwa si kandidat itu sama dengan mereka. Ini dilakukan dengan natural dan efektif oleh Jokowi tanpa mungkin dia sendiri sadari, gaya blusukan dan slogan Jokowi Adalah Kita itu adalah propaganda jenis ini.
Tentu politisi lain bisa melakukan hal yang sama, tetapi efektivitasnya bisa berbeda karena pribadi si politisi sendiri juga berbeda satu sama lain, ada yang memang dia berasal dari kalangan biasa sehingga tidak canggung ada yang terlahir sudah di kalangan elite sehingga untuk menggunakan cara ini malah bisa membangkitkan tuduhan pencitraan. Ingat kasus Sandiaga makan di warteg tapi bawa bekal itu? Contoh sempurna untuk propaganda jenis ini yang gagal, karena Sandiaga sendiri memang tidak bisa/terbiasa hidup seperti itu.
ADVERTISEMENT
4. Transfer, menggunakan simbol-simbol, quotes, atau orang terkenal/otoritatif yang seringkali tidak terkait langsung untuk menguatkan ide/pesan yang disampaikan. Contoh, menggunakan MUI untuk menjatuhkan vonis penistaan agama terhadap Basuki, serta menggunakan nama GNPF MUI untuk aksi aksi demo jalanan. Keduanya masuk propaganda kategori ini.
5. Logical Fallacies, penggunaan logika yang seolah olah/aspal berdasarkan dari 2 pernyataan berbeda yang benar, tapi dibuat kesimpulan yang sebenarnya salah. Contoh, 1. Ahok setuju reklamasi. 2. Sanusi, anggota DPRD yang setuju reklamasi korupsi. 3. Ahok korupsi. Contoh lain. 1. BPK mengatakan kasus pembelian RS Sumber Waras berindikasi korupsi. 2. Ahok yang memerintahkan membeli lahan RS Sumber Waras. 3. Ahok korupsi.
6. Glittering Generalities, sebuah pernyataan yang kelihatan/terdengar bagus tetapi sesungguhnya tidak berarti apa apa. Sebuah kata yang mengandung arti kebajikan tapi digunakan untuk membangkitkan emosi yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, seringkali kata kata ini mengandung arti berbeda untuk orang yang berbeda pula dan dimanipulasi untuk kepentingan pembuat propaganda. Contoh, "Maju Kotanya, Bahagia Warganya". Bahagia itu mengandung arti yang berbeda bagi tiap orang, kota yang maju juga berarti berbeda beda bagi tiap orang. Contoh lain, "Menata Kota Tanpa Menggusur", dan lain-lain. Anies paling jago menggunakan propaganda jenis ini.
7. Name Calling, seperti kebalikan dari yang sebelumnya, mengasosiasikan lawan politik dengan kata yang merendahkan/bersifat negatif. Contoh sempurna propaganda jenis ini, "penista agama".
8. Stacked Card, menampilkan satu sisi saja dari suatu isu dengan jika perlu mengubah fakta atau statistic. Contoh, isu reklamasi pantai utara Jakarta yang kompleks itu diangkat dari sisi negatifnya saja, menggunakan fakta dan statistic yang tidak benar.
ADVERTISEMENT
9. Fear, rasa takut, sengaja saya tebalkan hurufnya karena strategi inilah yang paling berbahaya dan berhasil dimainkan Eep dengan sangat lihay. Membuat takut pemilih Jakarta untuk memilih Ahok lewat berbagai macam teknik dan intimidasi, sudah banyak dibahas oleh penulis lain. Contoh tidak usah saya ulas. Inilah faktor terbesar kekalahan Ahok dan kemenangan Anies.
Fear dapat bekerja jauh lebih kuat karena fear menstimulasi dorongan alami kita untuk menjauhi resiko, bahaya dan penderitaan.Fear inilah yang berhasil mendudukkan Trump di kursi presiden USA, membuat rakyat Inggris memilih keluar dari UE (Brexit), dan membuat Ahok tidak dipilih lagi padahal hasil kerjanya memuaskan >70% warga Jakarta.
Fear yang membuat sebagian orang menjauh dari Ahok karena persepsi penderitaan yang dibangun apabila mereka memilih Ahok, lewat sentimen agama yang dibangun terus menerus. Penderitaan kekal di neraka, dan penderitaan keluarga mereka yang kesulitan menshalatkan jenazah.
ADVERTISEMENT
Jika tidak ingin menjadi korban politik kita harus bisa mengendalikan atau bahkan menghilangkan fear. Karena fear tidak bisa bekerja jika warga negara tidak terpengaruh teror ketakutan.
Political Will
Berdasar Charney Research, political will adalah "the ghost in the machine of politics, the motive force that generates political action. Yet for those who want to evaluate efforts to generate change – funders, government, and advocacy groups themselves – political will can seem like a will o' the wisp".
Sebagai mantan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, political will menurut saya adalah salah satu senjata paling berbahaya dalam strategi politik di dunia. Political will bagaikan hantu dalan mesin politik dunia. Secara bawah sadar ini bisa menggerakan bawah sadar sesuai arahan kepentingan politik kita. Teknisnya tentu bermacam-macam.
ADVERTISEMENT
Dalam teorinya, political will ini merupakan kombinasi dari tiga faktor: opini, intensitas, dan ciri khas.
Pertama adalah opini. Opini itu merupakan pendapat pribadi yang dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman manusia terhadap peristiwa tertentu. Dalam Pilkada Jakarta bebrapa pemilih memiliki opini bahwa Ahok adalah penista agama.
Kedua adalah intensitas. Kita tahu bahwa ada aksi secara intens yang dilakukan untuk menurunkan market share suara Ahok. Sebut saja rangkaian demo penista agama, aksi bela islam 212, 131, 411. Poinnya adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara intens dan terus-terusan pun bisa berakibat kita meng-unfriend teman di Facebook.
Ketiga adalah ciri khas. Dalam political will, ciri khas suatu calon bakal mempengaruhi suara pemilih. Coba kita bandingkan Ahok dengan ciri khas suara lantang bagai knalpot racing tanpa filter versus Anies dengan ciri khas bak dosen dengan nada-nada akadamis dan retorika natural tapi halus.
ADVERTISEMENT
Teror 3 Tahun
Sebenarnya saya sudah lelah ngomongin ini berkali-kali baik di social media, blog, maupun artikel di kumparan. Tapi saya juga merasa gerah sekaligus —mengutip SBY— prihatin. Yang bisa saya lakukan hanya menggugah kesadaran individu lewat tulisan.
Kenapa banyak di antara teman-teman saya yang notabene sekolahnya pada pinter-pinter masih saja termakan isu politik?
Itu baru Pilkada Jakarta 2017, kita lihat aja sebentar lagi ada Pilkada Jabar 2018, hingga Pilpres 2019. Bagi para politisi jelas fear bakal diexploitasi habis-habisan. Baru Ridwan Kamil join Nasdem untuk calon kursi jabatan Jabar-1, isue penyerangan melalui agama langsung terjadi.
ADVERTISEMENT
Beribu panah fitnah yang selama ini melanda Presiden Jokowi dan Ahok mulai berhembus juga kepada Kang RK. Malah tuduhannya sangat absurd. Misalnya, dituduhkan bahwa ia adalah penganut Syiah, dan istrinya memliki kedekatan dengan tokoh-tokoh Syiah di Bandung. Tuduhan ini sudah dibantah Kang Emil, namun para haters tidak akan berhenti. Dan mungkin ke depannya tuduhan-tuduhan lainnya bakalan terus dialamatkan kepada Walikota Bandung satu ini.
Belum cukup 2018 ekploitasi selesai, kita langsung dihajar eksploitasi fear 2019. Apalagi kalau bukan pelemahan kepada Jokowi. Mungkin isu-siu asing, aseng, cina, kafir, hingga kelemahan Jokowi di sektor ekonomi bakal dimainkan.
Bayangkan dalam kurun 3 tahun 2017-2019 kita hidup dalam drama politik yang melelahkan. Belum lagi afek samping yang menyebabkan hubungan pertemanan renggang bagi beberapa orang karena beda aliran politik.
ADVERTISEMENT
Di akhir tulisan saya hanya ingin menyampaikan sebuah quote singkat.
“Politik adalah sia-sia jika tidak melakukan apapun untuk meningkatkan keindahan hidup kita (Howard Zinn)
Jadi, maukah kita bernafas dalam teror politik?