Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Jenglot Itu Tidak Menyeramkan Tapi Kasian
19 Oktober 2017 16:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini nama Jenglot kembali mencuat di social media. Ada kisah menarik yang saya alami soal sosok Jenglot ini.
Ketika pertama mendengar kata Jenglot, apa yang ada di benak kita? Sebagian besar dari kita mungkin akan menjawab 'seram'. Tapi tidak dengan saya. Saya malah memiliki perasaan kasian plus sedikit iba kepada sosok Jenglot yang ramai dibicarakan di social media ini.
ADVERTISEMENT
Loh kok malah kasian? Nanti saya jelaskan kenapa akhirnya saya merasa kasihan. Tapi sebelum ke arah sana kita beda dulu apa sih jenglot ini sebenarnya?
Apa sih Jenglot itu?
Ada dua versi. Yang pertama adalah versi sains dimana Jenglot merupakan mumi berukuran kecil. Kedua adalah versi klenik, dimana Jenglot adalah manusia yang menimba ilmu keabadian tapi caranya salah. Alhasil jasadnya tidak diterima alam semesta dan tetap hidup dalam ukuran mini.
Saya ini seorang rationalist yang memegang teguh filosofi kejawen. Terkait hal ini saya sendiri percaya bahwa Jenglot dulunya memang manusia yang terkena 'bad karma' dalam mengexplore keilmuannya.
Pencerahan Di Gunung Salak
Saya lupa tahun berapa kejadiannya mungkin awal 2012. Sebagai seorang Jawa yang selalu memegang prinsip 'Sangkan Paraning Dumadi' (mencari kesejatian hidup) saya mencari tahu sebenarnya apa sih Jenglot itu.
ADVERTISEMENT
Konon sih bisa untuk penglaris, bisa untuk santet, bisa untuk ngusir musuh bisnis dan lain-lain yang berbau energi negatif atau dark forces.
Singkat kata pada event malam suro, saya bersama rekan-rekan komunitas Spiritual Kaskus mengunjungi sesepuh di sebuah desa bertempat di gunung Salak. Kami bertemu sesepuh dari sebuah komunitas Sunda Wiwitan. Sebut saja namanya Mamang.
Setelah sujud agung suro tepat pukul 00:00, seperti biasa kami bercengkrama dan berdiskusi seputar perjalanan hidup manusia menuju Sang Pencipta. Standar saja tidak ada ilmu baru yang bisa saya pelajari. Hingga ada pembahasan soal Batara Karang.
Terminologi Jenglot ini tidak terlalu familiar di kalangan mereka. Mereka taunya Batara Karang. Wah menarik nih pikir saya, lumayan bisa dapat ilmu (pemahaman) baru soal Jenglot ini.
ADVERTISEMENT
Simbiosis Mutualisma Antar Dimensi
"Tahu berapa usia sesosok batara karang yang kadang dipamerkan di mal-mal itu," ujar Mamang kala itu seraya membuka diskusi. Saya langsung menjawab sekitar 1.000 tahun. Jawaban saya itu dibenarkan oleh Mamang.
Kenapa saya bisa jawab 1.000 tahun? Logikanya sederhana. Melalui past regression meditation, saya pernah mendapat wisik bahwa negeri kita di tahun 1.000 masehi pernah mencapai puncak teknologi spiritual. Di Jawa ini adalah jaman Pra Majapahit (1400 Masehi). Mungkin ini adalah jaman Prabu Airlangga dan Kerajaan Medang Kamulyan.
Orang jaman itu belum kenal Allah SWT , atau Allah Bapa, atau serangkaian konsep monotheism lain. Orang kenalnya adalah Sang Hyang Wening, Sang Hayang Wenang, Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Widi dan lain-lain. Dimana 'Sang Hyang' ini adalah wujud dari kekuatan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
ADVERTISEMENT
Lanjut ke cerita Mamang. Ia pun menjelaskan pada jaman itu orang-orang berotak cerdas adalah para Mpu. Mereka kalau sekarang ini adalah scientist mungkin. Dari kalangan Mpu ini banyak sekali mengeksplorasi soal keilmuan secara spirituall.
Hingga lahirlah ilmu Batara Karang. Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan mendapatkan hidup abadi. Namun secara tidak langsung ia melawan hukum semesta di dunia ini. Tubuhnya akan mengecil seukuran 5cm kira-kira. Jasanya tidak bisa mati. Ia hanya bisa mengkonsumsi darah (binatang dan manusia). Wow keren kan?
Tapi tunggu dulu, jasad Batara Karang bakal memadat sementara kesadarannya terpisah dari raga membentuk satu entitas tersendiri di alam Astral. Di alam Astral ia menjad superhuman, sementara di alam dunia ia hanya berwujud mumi mini yang terus harus 'dipelihara' oleh majikan.
ADVERTISEMENT
"Mang, untunge opo? (apa untungnya) ," tanya saya waktu itu.
Mamang pun menjelaskan bahwa ilmu ini merupakan simbiosis mutualisma antar dimensi. Orang yang memelihara Batara Karang bakal mendapatkan banyak sekali 'life cheating' ketika menjalani hidup. Ia bisa kaya dengan uang yang tidak halal, ia bisa mendapatkan politik dan kekuasaan (jaman dulu belum ada konsultan bisnis), dan sebagianya selama ia berada di kuasa kegelapan secara tidak halal.
Sementara Si Batara Karang akan mendapat 'keabadian' dengan cara tersebut. Namun ia harus rela untuk hidup di area dark forces. Memang banyak Mpu-mpu jaman itu yang menjadi Batara Karang. Diantara mereka banyak yang sudah sadar dan banyak yang belum sadar.
Tau kenapa sosok Jenglot itu hampir kebanyakan memiliki bentuk berdiri dengan tangan melipat di dada? Itu adalah kondisi terkahir mereka mawujud sebagai jalma (manusia). Itu adalah kondisi terakhir mereka meninggalkan badan wadag (fisik), untuk hidup di alam keabadian.
ADVERTISEMENT
"Nah, sudah jadi tugas kita ketika bertemu dengan mereka untuk menyadarkan mereka kembali ke jalan yang benar," ujar Mamang saat menutup diskusi satu suro di Gunung Salak.
Ketika turun dari Gunung Salak kemudian saya merenung. Alam Semesta memang luar biasa. Ada tatanan sistem yang sudah diatur agar manusia tidak bisa hidup secara abadi. Setelah saya pikir kasian juga mereka-mereka yang sudah terlanjur menjadi Batara Karang (Jenglot).
Hidup rendah dari frekuensi gelap. Meminum darah yang kotor. Rela harus dibuang terus menerus sampai ada majikan yang cocok. Belum lagi ditontonin alay-alay di mal-mal. Dijadikan objek foto di Instagram, masih dikatain hoax kerajinan kayu murahan oleh warganet.
Tapi hidup adalah sebuah pilihan bukan?
ADVERTISEMENT
Warisan Leluhur Kita
Saya harap kisah di atas mengingatkan kita akan kayanya budaya Nusantara. Jenglot walaupun orang bilang seram, dia adalah peninggalan leluhur kita. Mungkin Anda tidak tahu bahwa ketika Anda melihat Jenglot entah di mal-mal atau bahkan Anda beli di Kaskus, Anda sedang bertemu dengan senior Anda berusia ribuan tahun.
Yang menarik konsep teknologi spiritual ini tidak hanya ada di Indonesia. Di Thailand dan China ada juga. Di China, saya pernah mengunjungi sebuah relic kuno bangsa Han di Beijing nemu model ini juga. Di Thailand ada yang namanya Gumam Thong seperti Jenglot tapi 'OS' ya diisi spirit anak kecil yang meninggal tidak wajar.
Itu cuma teknologi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
ADVERTISEMENT