Konten dari Pengguna

Memahami Sejarah Suro di Tanah Jawa

Fajar Widi
Ex Tech Journalist to Martech, Startup to Enterprise. Stock Market Enthusiast. Was viral at 2017, 1st man that use bitcoin as marriage dowry.
29 September 2018 9:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oke. Awal September saya menjanjikan di IG story saya untuk membahas sejarah suro versi Jawa. Karena kesibukan startup baru sempet nulis sekarang. Yah telat gapapa daripada tidak.
ADVERTISEMENT
Terkadang saya merasa prihatin terhadap generasi muda Indonesia saat ini. Apa yang ada di benak kalian saat mendengar malam 1 Suro? Mungkin tidak semua orang mengerti sejarah Suro (Tahun baru Jawa / tahun baru Islam). Kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai hal itu.
Tentunya tidak semua suku/bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang, memiliki kalender sendiri, dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Berdasar diskusi dari beberapa rekan penghayat / kejawen yang cukup aktif di Facebook / blog, saya akan sedikit cerita tentang awal Kalender Jawa.
Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi, dan pada tahun 50 SM Raja/ Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa diibuat berdasarkan ‘Sangkan Paraning Bawana’ (=asal usul/isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (=Solar System).
ADVERTISEMENT
Jawa Masa Aji Saka
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, iaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol (‘Das’=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa ‘baru’, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (- Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M.
Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/ Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa bahwa:
1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
ADVERTISEMENT
2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno. Mereka adalah :
DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR. Bila dibaca sebagai Duro (seperti bunyi huruf O pada kata ” Sidoarjo”), artinya = ‘bohong’, sangat jauh berrbeda dengan aslinya.
SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, iaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti “mampu” atau ‘sesuai’.
DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti “pengati-ati’ atau ‘adab’.
ADVERTISEMENT
PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah “ANGIN”, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti ‘sebaiknya/ seyogyanya”. Keempat unsur/anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/bawana Ageng) serta dalam tubuh manusia (Jagad/ bawana Alit).
3. Nama Ajisaka ( Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/ Aji yang Saka (=mengereti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula.
Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, iaitu Jawa/ Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, iaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon).
Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan), yang digunakan sekarang.
Dengan demikian, apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2013) adalah tahun 2924 Jawa (asli, bukan Saka, Jowo kini, atau Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.
ADVERTISEMENT
Budaya Spiritual Jawa merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan makro bangsa Indonesia. Pengaruh Budha Hindu sampai sekitar tahun 1500 masehi yang ditandai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dalam hal ini pengaruh budaya Hindu masih dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia umumnya dan orang Jawa khususnya. Pengaruh kebudayaan Islam di Jawa kemudian berkembang seiring runtuhnya Majapahit.
Namun, bukan berarti pengaruh Hindu menjadi hilang begitu saja,melainkan malah teradaptasi dan membentuk suatu budaya Jawa. Di jawa sendiri terdapat suatu Ideologi kawula gusti saat itu yang nerupakan suatu alat legitimasi raja untuk mengontrol rakyatnya dalam rangka mengatur negara.
Dengan ideologi inilah yang mendorong Sultan Agung sebagai Raja waktu itu untuk merubah system kalender SAKA (perpaduan Jawa Asli dan Hindu), menjadi kalender yang merupakan perpaduan antara kalender SAKA dan kalender Hijriah (Islam).
ADVERTISEMENT
Perubahan tersebut dimulai pada tanggal 1 Sura tahun ALIP 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam Tahun 1043 Hijriah atau pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Nah, uang menarik di sini menurut tulisan dari H Zahid Hussein adalah hari Jumat Legi dimana bagi bangsa Indonesia mempunyai nilai historis yang tinggi karena Hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekan Bangsa Indonesia.
“Sugeng Mahargyo Warsa Enggal” – 10 September 2018. | Wening ing cipta pasrah ing rasa, kanthi sumunarning budhi. Mugya kita sami tansah manggih ing karaharjan. Hamemayu Hayuning Bawana, Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Wilujeng rahayu kang tinemu banda lan beja kang teka – Rahayu
Terus mistiknya dimana?
ADVERTISEMENT
Bagi saya yang sudah meninggalkan dunia hitam --literally-- sepertinya di zaman digital age ini kita sudah ndak perlu membahasnya lagi. Mistik merupakan bagian dari keselarasan alam menurut saya. Hanya saja ilmunya belum bisa sinkron dengan sains modern. Di bawah ini adalah kenang-kenangan ketika saya masih berada di ranah dark forces lengkap dengan makhluk-makhluk frekuensi rendah yang cukup eksotik ketika purnama tiba.