Konten dari Pengguna

Terimakasih Kumpulan Para Mantan, Saatnya Kita Dolan!

Fajar Widi
Ex Tech Journalist to Martech, Startup to Enterprise. Stock Market Enthusiast. Was viral at 2017, 1st man that use bitcoin as marriage dowry.
27 Agustus 2020 8:43 WIB
clock
Diperbarui 3 September 2020 16:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
My last year - before COVID19
zoom-in-whitePerbesar
My last year - before COVID19
ADVERTISEMENT
"Sudah ga di kumparan mas? " sebuah notifikasi pesan WA muncul di hape tatkala menanyakan status saya beberapa minggu ini.
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda yang membaca ini juga menanyakan hal yang sama. Mungkin beberapa puluh pesan WA yang belum saya balas sampai sekarang pun juga menanyakan pesan yang sama.
Sebelum saya tulis panjang, intro dulu.
Tak terasa sudah 3.7 tahun saya terdampar di sebuah media startup bernama kumparan.com . Dari posisi awal sebagai Head Of User Acquisition (waktu itu karyawan masih 50-an saya ingat) hingga berada di posisi corporate startegy (orangnya udah 400-an) tentu merupakan memori yang indah buat saya.
Saya dulu memang pernah berjanji takkan lagi kembali ke industri media setelah keluar dari detik.com . Namun berkat penjelasan para senior saya, Hugo Diba (CEO), Andrias Ekoyuono (CMO) dan Ine Yordenaya (COO) pikiran saya berubah.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan membahas kenapa waktu itu saya menerima ajakan senior-senior saya itu. Selengkapnya baca di sini:
Exit
Langsung ke pertanyaan intinya saja. Kenapa exit dari media bernama kumparan.com?
Begini, mungkin ada hal yang tidak saya ceritakan saat saya membangun kumparan.com bersama para kumpulan mantan lain hampir 4 tahun lalu. Diskusi ini terjadi dengan senior-senior saya tersebut. Kenapa saya sampai menerima ajakan mereka alasannya karena sesuai dengan roadmap hidup saya.
Sebagai lulusan mahasiswa komunikasi, saya memiliki pathway (jalur hidup) sendiri dalam bekerja di industri media. Berawal sebagai seorang wartawan saya belajar mengenal industri media. Sebagai wartawan skill menulis dan produksi konten kita berkembang pesat. Nulis doang, bukan yang lain waktu itu kondisinya.
ADVERTISEMENT
Karena waktu itu gajinya dikit -jujur nih- makanya saya banting setir jadi marketer di industri telekomunikasi yang gaji dan tunjangannya lebih fantastis. Dari situ saya mulai bisa belajar nabung dan investasi.
Waktu terus berjalan. Saya pun belajar banyak hal-hal seru di luar industri media. Matang sebagai seorang marketer ternyata malah membawa kembali ke industri media --tepatnya startup media. Mungkin inilah takdir semesta.
Jika dilihat berikut adalah beberapa skill growth saya di industri media:
See, journey saya sebagai mahasiswa lulusan komunikasi sudah lengkap. Jurnalis udah, marketing udah, pengembangan bisnis media udah, cari iklan udah. Ya udah ngapain saya berlama-lama di kumparan?
ADVERTISEMENT
Jika Anda seorang lulusan komunikasi atau sastra, tentunya Anda paham rencana kedepan saya. Sewaktu kuliah saya adalah pembaca karya sastra Pram yakni Tetralogi Pulau Buru. Tokoh Minke sangat menginsipirasi pribumi termarginalkan seperti saya ditengah budaya feodal yang tak terlihat.
Sejarah panjang saya di sebuah kota bernama Jogja membuat saya cukup idealis dalam mengembangakan bisnis media. Terkadang pun saya punya pikiran sendiri yang tak sejalan juga dengan perkembangan bisnis.
Only Dead Fish Go With The Flow
Kembali ke tahun 2016, sebelum saya menerima ajakan para senior saya tersebut, saya memang berjanji untuk membantu mereka hingga exit. Lantas saya tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk IPO? Masih segar jawaban mereka di ingatan saya, empat atau lima tahun.
ADVERTISEMENT
Empat tahun kemudian adalah tahun 2020 ini, berbarengan dengan pandemi global, serta buruknya kondisi bisnis akibat pandemi (termasuk media). Kenyataannya kumparan belum juga IPO. Saya pernah bilang ke bos saya bahwa kayaknya ini tahun terakhir saya mengabdi di perusahaan ini.
Selalu membuat perencanaan adalah salah satu sifat warisan bapak saya. Dalam karir pun saya begitu. Saya sebenarnya ga mau juga berlama-lama di industri media. Buat saya membangun sebuah bisnis media itu mengasyikan. Tapi semakin ke sini saya memiliki cara pandang sendiri di industri ini.
Saya ga mau hidup cuman ngalir aja. Singkatnya media bagi saya udah di tahap gitu-gitu doang. Hanya ikan mati yang ngalir mengikuti arus sungai kata Andy Hunt.
ADVERTISEMENT
Selain investasi ilmu dan materi, bekerja di startup media memberi banyak keuntungan pelajaran hidup buat saya. Saya pun memiliki rencana hidup sendiri setelah ini. Bukan saja dalam hal karir namun kehidupan pribadi juga.
Singkat cerita semesta membuka jalan. Melalui sebuah peristiwa pengurangan karyawan, saya beneran "exit" dari kumparan dengan membawa hasil keringat selama 3.7 tahun ini. Terimakasih kumparan!
Jangan salah sangka. Tidak ada yang salah dengan bisnis kumparan. Semua berjalan bagus. Covid ini cuma kendala kecil dalam bisnis. Saya yakin senior-senior saya jago dalam hal ini.
Yang jelas tugas saya sudah paripurna dalam mengembangkan kumparan mulai dari ga ada namanya hingga menjadi salah satu top-publisher di Indonesia.
Jika ada yang membaca tulisan ini dan pengen ngajak kolaborasi media project ke depannya silakan :) tangan saya terbuka lebar. Mumpung saya masih doyan mainan media.
ADVERTISEMENT
Lesson Learning
Ada ilmu yang bisa dishare mas?
Adalah. Jadi begini kalau Anda kenal dekat dengan saya, saya ini orangnya idealis. Dan terkadang idealis itu juga ndak bagus buat bisnis. Bisnis itu soal solving people's problem.
Begitu juga dengan bisnis media. Di Indonesia bisnis model media cuma ada dua: model advertising (hidup dari iklan) dan subscription (berlangganan).
Yang mana yang paling banyak cuan? Tentu advertising model. Tapi banyak cuan belum berarti kualitas bagus. Saya sering mengkritik media-media sampah yang isinya cuman copas, wartawannya tidak melakukan check and re-check di lapangan, data journalism dibuat sekenanya aja.
Ndak usah sebuat nama, tapi model "portal iklan yang diisi konten" (ini sarkas ya) bikin saya eneg. Anda bisnisnya bagus, tapi kalau literasi masyarakat kita rendah, ujungnya buat apa?
ADVERTISEMENT
Ingat media itu pilar keempat demokrasi kita. Fungsi media itu bukan memprovokasi tetapi mencerahkan masyarakat dengan konten yang credible dan trustable. Anda harus fokus ke audience Anda. Karena itu adalah koentji.
Jadi saya punya dua hipotesa soal bisnis media
Menurut saya bisnis media itu masih bagus kok. Tapi ingat jangan jadikan media itu ujung revenue sebuah grup bisnis karena pasti yang dikorbankan adalah kontennya.
ADVERTISEMENT
Itulah alasan kenapa masih banyak media baru tumbuh di Indonesia. Buat saya kunci growth media itu cuma ada tiga:
Jika Anda berniat membangun sebuah media, ketiga unsur itu harus bisa di scale-up. Timpang satu pasti roda bisnis Anda goyang. Udah itu aja saya ga akan banyak share soal ini. No things such as FREE lunch dude.
Ini quote sarkas. Tapi coba Anda renungkan. Saya ini marketing technologist yang 3.7 tahun building media. Saya masih lihat ada gap antara demand vs supply. Ekspektasi vs realita tidak berjalan.
Sabattical Leave
Terus mau ngapain mas?
10 tahun sudah saya berlari di industri ini. Malang melintang dari media, telco, retail, hingga startup. Semua on track dan sudah saya program di otak. Saya tau kapan harus berhenti dan memulai lagi.
Beberapa rencana selama sabaticcal leave:
ADVERTISEMENT
Itu aja. Karena hidup tak hanya melulu seputar ROAS, ROI, LTV, CAC, tapi juga menikmati waktu. Singkat cerita genap 10 tahun saya bekerja keras dan menabung di ibukota, saatnya menikmati hasilnya.
Lantas apakah ini bisa disebut pensiun dini? ..will see :)