Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Gejolak Ancaman Perang Asimetris di Indonesia
19 Desember 2017 10:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Fajarudin Shodiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia kini telah menjelma menjadi sebuah kampung kecil. Teknologi satelit telah menembus batas-batas negara. Status negara bangsa kini telah semakin kehilangan makna digerus oleh eksistensi organisasi-organisasi internasional yang semakin arogan dan bahkan cenderung otoriter.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi satelit komunikasi, menguatnya peran WTO dalam Era Globalisasi serta tampilnya Cina sebagai Super Power baru dengan kekuatan ekonomi yang dahsyat merupakan fenomena yang menarik di abad 21.
Indonesia sendiri, sejak awal tahun 1970-an sudah aktif memasuki dunia antariksa dengan satelit Palapa. Membangun industri dalam negeri, sempat surplus beras pada tahun 1984, bahkan siap tinggal landas di abad 21. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Satelit dijual, ekonomi nasional dikuasai asing, justeru Cina yang menyalip untuk tinggal landas di abad 21. Apa yang terjadi dengan pembagunan ekonomi Indonesia sesungguhnya? Untuk menjawabnya, penulis mencoba untuk melihat dari pendekatan skema Perang Asimetris melalui isu Indosat, WTO dan Laut China Selatan.
TEMPO Interaktif, Jum’at, 13 Desember 2002: Dari 4 calon investor yang ada, hanya 2 investor saja yang telah memasukkan penawaran akhir (final bid) penawaran tender pembelian saham PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (INDOSAT) sesuai waktu yang ditentukan. Kedua penawar tersebut adalah Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Telekom Malaysia Bhd. Sedangkan kandidat lainnya, Desa Mahir Sdn. Bhd (dari Malaysia) dan Gilbert Global Equity Partner (dari Hongkong), kemungkinan besar dipastikan gugur.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan Gita Wirjawan dari Goldman Sach, penasehat keuangan (financial adviser) STT kepada wartawan yang mencegatnya, usai bertemu dengan pihak kantor menteri negara BUMN, pihak Indosat, dan PT Danareksa sebagai penasehat divestasi Indosat, di gedung Danareksa Jakarta. ….
Dalam proses penjualan saham Indosat kepada Temasek, Gita Wiryawan adalah konsultan perusahaan Singapura itu, pada waktu itu Gita masih mengasah ilmu di Goldman Sach, perusahaan hedgefund dari Amerika Serikat (AS), masih diluar struktur kabinet pemerintahan SBY. Setelah sukses mengambil alih INDOSAT, karir Gita Wirjawan pun melesat semakin cemerlang sebagai spesialis jual beli aset negara. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila AS sangat berkepentingan menempatkan “sang spesialis” dalam struktur pemerintahan Indonesia. Bahkan kalau perlu mendudukkannya sebagai Presiden RI.
ADVERTISEMENT
Salahkah Gita Wirjawan sebagai seorang konsultan mengatur pembelian Indosat oleh Temasek? Tentu saja tidak. Gita hanya bekerja secara profesional sesuai dengan keahliannya. Dan dibayar mahal tentunya. Dan masih banyak Gita-Gita Wirjawan yang lain di negeri kita tercinta ini yang bekerja secara profesional dengan gaji yang menggiurkan.
Abad 21 adalah abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya. Satelit telah menjadi teknologi strategis karena memiliki fungsi sebagai indera pendengaran, indera komunikasi, juga indera pengelihatan, bahkan bisa menjadi kaki dan tangan sebuah negara bangsa. Satelit merupakan aset strategis dunia masa depan – bahkan dengan teknologi militer bisa menjadi alutsista yang mematikan. Seperti program “Star Wars” AS dan Uni Soviet dimasa Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Tidak mengherankan bila pada 1969, Presiden Soeharto sudah memiliki visi yang jauh kedepan dengan membangun “Stasiun Bumi” di Jatiluhur, Jawa Barat, sebagai infrastruktur pendukung satelit. Bukan itu saja, dengan memberi nama “PALAPA” kepada satelit geostasioner Indonesia jelas menunjukkan bahwa Presiden Soeharto adalah seorang visioner, seorang negarawan ahli strategi yang berpikir jauh melampaui zamannya dalam membangun masa depan NKRI. Sumber/Continue/AS
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 20:26 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini