Mencari Politisi 'Ideal', Memang Ada?

Mhd Alfahjri Sukri
Merupakan Dosen Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar - Founder Ranah Institute - Tim Centre for Global Studies (CGS) Rumah Produktif Indonesia (RPI)
Konten dari Pengguna
29 Januari 2024 7:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kurang dari satu bulan lagi, kita akan menyongsong pemilu 2024. Aura pesta demokrasi yang sudah terasa sejak beberapa bulan belakangan. Tampak jalanan di penuhi baliho dan spanduk para politisi dengan gaya kepalan tangan dan senyuman mereka yang khas. Tidak lupa pula kata-kata pamungkas seperti “mohon doa restu”, “coblos saya”, “bersama rakyat” dan jargon-jargon lainnya yang sangat klise.
ADVERTISEMENT
Narasi-narasi itu bertebaran di mana-mana. Mereka berjanji untuk terus bersama rakyat dan membela kepentingan masyarakat. Padahal, para calon ini juga belum tentu pernah turun ke masyarakat. Ketika akan pemilu, tiba-tiba “merasa” dekat dengan rakyat.
Bahkan, ada juga calon yang “merasa” terpanggil untuk pulang ke kampung halaman. Katanya, ingin berkontribusi bagi masyarakat. Loh, ingin berkontribusi harus menunggu untuk menjadi anggota legislatif dahulu?
Juga ada calon-calon legislatif yang mendompleng nama bapak atau keluarganya yang menjadi pejabat dan tokoh terpandang. Kemudian memainkan narasi, anak si A akan mengabdi pada masyarakat. Padahal, ia tidak pernah turun ke masyarakat. Fenomena satu keluarga mencalonkan diri, bukanlah hal baru. Namanya juga aji mumpung.
Tipikal-tipikal calon seperti di atas, saya yakin mereka tidak paham apa beda legislatif dan eksekutif. Saking tidak pahamnya, ada calon anggota legislatif yang berjanji ingin membangun jalan. Ini janjinya udah kejauhan. Kelihatan tidak paham dengan tugas dan fungsi anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
Permasalahan di atas, pada akhirnya memunculkan pertanyaan di benak kita yang akan menjadi pemilih pada pemilu 2024 nanti. Apakah masih ada politisi “ideal” yang dapat kita pilih?

Menyoal Politisi “Ideal”

Tentunya tidak mudah untuk mengartikan kata “ideal” dalam melihat seorang politisi. Kapan seorang politisi dikatakan ideal? Dan apakah politisi ideal ada di Indonesia?
Sebelumnya, marilah kita coba untuk memahami tujuan dari politik itu sendiri. Miriam Budiardjo, pakar Ilmu Politik dari Indonesia, menyatakan politik memiliki tujuan yang sangat baik yaitu untuk menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Maka tak heran Aristoteles dan Plato, filsuf Yunani, memberikan nama politik sebagai en dam onia atau the good life.
Artinya, politisi yang ideal sudah seharusnya memiliki tujuan dalam bentuk tindakan untuk kesejahteraan masyarakat. Politisi ideal adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukan orang yang mencari uang untuk memperkaya diri.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghazali dalam terjemahan buku Adab Berpolitik, bahwa orang-orang yang berambisi atas duniawi tidak akan pernah mampu mengurus rakyat kecil. Imam al-Ghazali juga menekankan, seorang pemimpin harusnya amanah, menggunakan kekuasaannya untuk kesejahteraan masyarakat, dan dekat dengan masyarakat.
Para politisi yang berhasil terpilih di legislatif maupun eksekutif adalah pemimpin bagi masyarakat. Sudah seharusnya, politisi yang ideal adalah politisi yang memiliki sifat-sifat seperti yang disampaikan tokoh-tokoh tersebut.

Namun, apakah politisi seperti itu ada di Indonesia?

Berbicara politisi ideal di Indonesia seperti jabaran di atas, bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Di tambah dengan berbagai macam perangai para politisi kita. Mulai dari korupsi, minta sarana dan prasarana mewah, ingin diperlakukan istimewa, dan perangai lainnya yang jauh dari kata politisi ideal.
ADVERTISEMENT
Perangai politisi kita ini berbanding terbalik dengan politisi di Swedia. Di sana, anggota DPR nya mendapatkan gaji yang tidak tinggi, tidak mendapatkan tunjangan mobil, rumah dinas yang sempit, tidak memiliki tenaga ahli, dan tidak mendapatkan fasilitas mewah lainnya. Ini berbeda dengan Indonesia.
Anggota DPR tertidur. Sumber Foto : Fanny Kusumawardhani/kumparan
Memang, tidak ada politisi yang sempurna. Yang ada hanya politisi yang mendekati karakter ideal. Ini disebabkan para politisi juga manusia biasa. Karakter manusia dapat berubah kapan saja ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Dacher Keltner, profesor dari Universitas California pakar dalam psikologi kekuasaan, mengatakan orang yang mendapatkan kekuasaan, cenderung mengalami gangguan kepribadian. Tak heran, ketika sebelum berkuasa dulunya baik, tapi setelah berkuasa menjadi berkelakuan buruk.
Pandangan Keltner, diperkuat oleh Sukhvinder Obhi, Jeremy Hogeveen dan Michael Inzlicht dalam penelitiannya berjudul "Power Changes How the Brain Reponds to Others". Mereka melihat, kekuasaan dapat mengubah perilaku seseorang menjadi kurang empati terhadap orang lain
ADVERTISEMENT
Maka, jangan heran kalau ada politisi yang saat ini “mengemis” suara kepada rakyat. Tetapi ketika terpilih nanti, seakan lupa dengan rakyat.
Sulit untuk melihat politisi ideal dengan kondisi politik mahal di Indonesia saat ini. Dahulu, kita memiliki politisi seperti H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir dan lainnya. Para politisi yang hidup sederhana, mengesampingkan kehidupan pribadi, dan bekerja untuk rakyat. Sosok-sosok yang saat ini sulit untuk dicari.
Namun, saya yakin, politisi yang mendekati karakter ideal itu masih ada. Dan tugas kitalah sebagai pemilih yang mencari sosok politisi itu.

Sikap Kita

Ahmad Maulana Jabbar pada tulisan yang berjudul “Baliho Kampanye Legislatif: Sampah Visual Miskin Gagasan” mengkritik keras model kampanye politisi kita yang minim akan gagasan. Model kampanyenya masih menggunakan gaya lama dengan baliho atau spanduk yang bertebaran di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Itulah salah satu kelemahan dari model kampanye yang dimainkan oleh politisi kita. Terutama para polisi yang banyak uang. Ya, untuk menyebarkan begitu bapak baliho, tentunya butuh banyak uang. Tujuannya, yang penting terpilih.
Baliho caleg yang dapat membahayakan pengguna jalan. Sumber Foto: Kumparan.com
Tetapi, kita lah yang menentukan keterpilihan mereka. Oleh karena itu, masyarakat harus pandai-pandai dalam mencari sosok politisi yang mendekati kata ideal. Sosok politisi tersebut tidak akan tampak dari baliho-baliho, akan tetapi dari penelusuran atas track record, kinerja, serta latar belakang para calon.
Kita lah yang melakukan penelusuran. Lakukan tracking secara langsung ataupun online melalui media sosial dan sumber lainnya. Kita tingkatkan literasi politik.
Dibanding kita marah-marah dengan para politisi saat ini, alangkah baiknya kita mencoba untuk mencari sendiri calon politisi yang mendekati ideal. Butuh usaha dan kesabaran tentunya. Tapi itulah risiko menjadi pemilih yang rasional. Golongan pemilih yang mulai tumbuh di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tugas kita, bukan hanya memilih mereka, tetapi juga mengawasi dan terus menilai kinerja para politisi.
Jadi, mencari politisi ideal? Tentunya sulit. Mencari politisi yang mendekati ideal? Tentunya ada. Dan bukan hanya tugas politisi untuk tampil, tetapi juga tugas kita sebagai masyarakat untuk mencarinya. Semoga pada pemilu 2024 ini, kita semua menemukan sosok politisi tersebut []