Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Narasi Pemilu Curang yang Tak Pernah Usang
18 Februari 2024 1:15 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kita dicurangi” “quick count sudah disetting” “ini konspirasi tersistematis”. Itu adalah beberapa kata kekecewaan setelah munculnya hasil quick count pemilihan presiden 2024. Ya, quick count menunjukkan keunggulan pasangan 02 dengan suara yang cukup jauh. Di luar prediksi pendukung pasangan 01 dan 03.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi juga tidak mengira Prabowo-Gibran akan unggul jauh di angka 57-59 persen versi quick count. Tadinya saya berharap pilpres akan berlangsung dua putaran, biar semakin menarik. Walaupun memang hasil survei terakhir sebelum pencoblosan, memperlihatkan Prabowo-Gibran punya potensi menang satu putaran. Dengan hasil quick count tersebut, kemungkinan besar pilpres memang satu putaran. Tinggal menunggu hasil real count dan keputusan KPU.
Hasil yang diperoleh 02 tentunya memunculkan kekecewaan bagi Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Kekecewaan sangat besar menimpa pendukung pasangan kedua calon. Kekecewaan melihat hasil quick count itu jugalah yang kembali memunculkan narasi lama “pemilu curang”. Narasi yang selalu muncul sesaat setelah pemilihan.
Narasi Lama
Bagi yang mengikuti pertarungan presiden dan wakil presiden, narasi pemilu curang bukanlah narasi baru. Narasi itu sudah ada sejak lama. Sudah muncul juga sejak pertama kali presiden dan wakil presiden diplih secara langsung oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Pada pemilihan presiden pertama kali tahun 2004, isu kecurangan sudah terdengar. Pada saat itu, putaran pertama diikuti oleh lima pasangan yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – JK (33,57%), Megawati-Hasyim (26,61%), Wiranto-Salahuddin, (22,15%), Amien-Siswono (14,66%), dan Hamza Haz-Agum (3,01%). Putaran kedua kemudian dimenangkan oleh SBY-Jusuf Kalla dengan suara 60,61 %, mengalahkan Megawati-Hasyim (29,38%).
Putaran pertama pilpres 2004, SBY disokong Partai Demokrat dan PBB. Pada putaran kedua SBY-JK mendapatkan tambahan dukungan dari PKB, PKS, PAN, PBB, dan PKPI.
Pada masa itu, narasi kecurangan muncul. Alasan adanya kecurangan inilah yang kemudian membuat Megawati dan Wiranto melakukan gugatan ke MK atas kemenangan SBY-JK. Pada putaran pertama Megawati disokong oleh PDI-P dan PDS. Pada putaran kedua ditambah dengan dukung dari Golkar, PPP, PBR, PKPB, dan PNIM. Hasilnya, MK menolak gugatan mereka karena dianggap tidak dapat membuktikan tuduhan.
ADVERTISEMENT
Pada pilpres 2004 ini, quick count dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). LP3ES bahkan dianggap melakukan kebohongan karena hasil quick count yang dimunculkan. Namun, ternyata hasil quick count LP3ES tidak jauh berbeda dari hasil KPU. LP3ES memprediksi SBY-JK memperoleh 62,2% suara. Adapun KPU menetapkan 60,62%.
Narasi yang sama juga kembali muncul pada pilpres 2009. SBY-Boediono memperoleh 60,80% suara. Mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (26,79%) dan JK-Wiranto (12,41%). SBY-Boediono disokong oleh 23 partai.
Kemenangan SBY-Boediono dianggap merupakan hasil kecurangan. Tuduhan kecurangan berkaitan dengan surat suara yang sudah tercoblos, penggelembungan suara, dan lainnya. Baik Megawati dan JK mengajukan gugatan ke MK untuk membatalkan kemenangan SBY-Boediono. Namun, gugatan tersebut ditolak. Megawati merasakan kekalahan keduanya dalam pilpres langsung.
ADVERTISEMENT
Pada pilpres 2009, quick count dari dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut, SBY-Boediono akan memperoleh 60,85% suara. Tidak jauh berbeda dengan hasil penetapan dari KPU sebesar 60,80% suara. Dan lagi-lagi, terdapat tuduhan tentang kevalidan quick count pada pilpres tersebut.
Pilpres 2014 dan 2019, narasi pemilu curang kembali menggema. Narasi muncul dari Prabowo dan tim yang menolak kekalahan pada kedua pilpres tersebut. Prabowo, kalah oleh orang yang sama yaitu Joko Widodo yang didukung oleh Megawati.
Prabowo menolak kedua hasil pilpres tersebut dan menganggap terdapat kecurangan yang massif dan terstruktur. Prabowo dan tim juga menolak hasil quick count yang menunjukkan dirinya kalah. Namun, menariknya pada pilpres 2014 terdapat lembaga yang menujukkan hasil quick count berbeda, dengan kemenangan Prabowo.
Pilpres 2014, terdapat 4 hasil quick count yang memenangkan Prabowo-Hatta yaitu Puskaptis (52,05%), Indonesia Research Center (51,11%), Lembaga Survei Nasional (50,13%), dan Jaringan Survei Nasional (50,13%). Berdasarkan quick count dari lembaga tersebut, kubu Prabowo mendeklarasikan kemenangan dengan sujud syukur.
ADVERTISEMENT
Namun, 8 survei lainnya memprediksi Jokowi-JK yang memenangkan pilpres. Presentase dari lembaga tersebut yaitu Populi Centre (50,95%), CSIS (51,9%), Litbang Kompas (52,33%), Indikator Politik Indonesia (52,95%), Lingkaran Survei Indonesia (53,37%), Radio Republik Indonesia (52,68%), Saiful Munjani Research Center (52,91%), dan Poltraking (52,91%).
Hasilnya? Jokowi-JK menang berdasarkan hasil hitung KPU dengan memperoleh 53,15% suara dan Prabowo-Hatta mendapatkan 46,85% suara. Hasil hitung KPU mendekati hasil quick count dari 8 lembaga yang memenangkan Jokowi-JK.
Hal yang sama juga terjadi pada Pilpres 2019, di mana Prabowo-Sandi hanya memperoleh 44,5% suara (turun dari pilpres 2014), kalah oleh Jokowi-Maruf Amin yang mendapatkan 55,5% suara. Pada masa itu beberapa lembaga survei juga menunjukkan hasil quick count yang memperlihatkan Jokowi-Maruf Amin menang.
ADVERTISEMENT
Beberapa lembaga itu (untuk suara Jokowi-Amin) seperti CSIS-Cyrus Network (55,62%), Saiful Munjani Research Consulting (54,85%), Charta Politika (54,34%), Poltraking (54,98%), Litbang Kompas (54,43%), dan lembaga survei lainnya. Tidak ada quick count yang memenangkan Prabowo-Sandi. Berbeda dengan Pilpres 2014, di mana ada lembaga yang memenangkan Prabowo.
Seperti biasa kubu Prabowo menolak hasil quick count dan menuding lembaga quick count didanai oleh kubu Jokowi. Kubu Prabowo kembali mengklaim dirinya menang dan kembali melakukan sujud syukur untuk kedua kalinya.
Selanjutnya muncul narasi pilpres yang penuh kecurangan. Informasi tersebut dengan cepat menyebar di masyarakat. Para pendukung capres yang kalah menuduh telah terjadi kecurangan yang masih pada pilpres tersebut.
Hasil akhirnya? Ya, lagi-lagi Jokowi menang pemilu dengan hasil akhir KPU sebesar 55,5%. Tak jauh dari hasil quick count yang sudah muncul. Gugatan Prabowo ke MK juga ditolak untuk kesekian kalinya, karena tidak punya bukti yang kuat.
ADVERTISEMENT
Narasi kecurangan kembali muncul pada pilpres 2024. Kali ini, tidak datang dari kubu Prabowo, namun dari kubu yang kalah. Giliran Prabowo-Gibran yang merasakan kemenangan berdasarkan quick count dari berbagai lembaga survei dengan kisaran angka 57-59%.
Pendukung 01 maupun 03 sangat tidak puas dengan hasil quick count yang tampil. Sehingga muncul berbagai narasi pemilu curang atas kemenangan 02. Bahkan, lebih parahnya sudah sampai pada teori konspirasi dan teori nyeleneh lainnya. Narasi tersebut sangat getol disampaikan oleh pendukung kedua kubu diberbagai media social dan group-group WA.
Mangapa Narasi ini Bertahan?
Menurut saya, ada dua hal yang menyebabkan narasi “pemilu curang” ini tetap bertahan dan bahkan semakin besar dengan perkembangan media sosial saat ini. Pertama, peran dari pendukung emosional. Dan kedua, kenyataan pemilu kita yang tidak bisa 100% dilepaskan dari praktik kotor.
ADVERTISEMENT
Bagi yang sudah mengikuti pemilu sejak lama dan mencermati bagaimana proses pilpres berjalan, mungkin sudah bosan dengan narasi kecurangan, tepat setelah quick count dimunculkan. Namun, tidak bagi pendukung yang merasa memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan calon mereka.
Para pendukung memiliki harapan yang sangat besar terhadap calon mereka. Harapan untuk menang dalam pilpres. Harapan yang besar akan selalu berkolerasi dengan kekecewaan yang muncul belakangan. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Itulah yang dirasakan pendukung emosional. Pendukung yang ada di ketiga calon tersebut. Bagi mereka, calon merekalah yang paling baik, “suci”, dan harus memimpin Indonesia.
Pendukung emosional yang kalah, akan dengan sangat mudah menerima informasi “kecurangan pemilu”. Karena informasi itulah yang mereka butuhkan untuk mendukung isi pikiran mereka. Berbagai informasi yang didapat di group-group atau media sosial, dengan sangat cepat disebarkan ke group lain atau teman dengan narasi “pemilu curang tersistematis”.
Contoh sederhana ketika informasi data yang salah di website pemilu2024.kpu.go.id. Yang disebar hanya kesalahan data dari calon yang didukung. Tetapi menutup mata dengan kesalahan data dari calon lainnya. Seolah-olah, hanya data calonnya saja yang salah.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya, bagaimana penolakan terhadap hasil dari berbagai lembaga quick count yang memenangkan Prabowo-Gibran. Muncul narasi yang sama seperti dulu, bahwa lembaga quick count tidak valid, atau bayaran, atau ada juga anggapan hasil quick count sudah disetting untuk memenangkan calon tertentu.
Padahal sejarah munculnya quick count justru untuk mengawal hasil pemilu yang bersih, serta memiliki metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau seperti itu, apakah semua lembaga yang melakukan quick count sepakat untuk berbohong? Silahkan pikirkan sendiri.
Narasi “pemilu yang curang” semakin bertahan dengan adanya media sosial. Berbagai informasi yang belum pasti, dimakan mentah-mentah oleh pendukung yang emosional. Kemudian juga disebarkan secara emosional. Hal ini menyebabkan narasi pemilu curang bertahan hingga sekarang. Maka tak heran Drone Emprit mencatat, “percakapan mengenai Pilpres 2024”, “hitung cepat”, dan “kecurangan pemilu” menjadi topik paling hangat dibicarakan dalm pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, bertahannya “narasi pemilu curang” mungkin juga berkorelasi dengan praktik kotor dalam pemilu kita. Kasus politik uang, intimidasi terhadap petugas, dan lainnya menyebabkan kekecewaan atas penyelanggaraan pemilu kita. Kita bisa lihat data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan lembaga sipil lainnya tentang praktik kotor tersebut yang terjadi tiap pemilu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof Mahfud pada video lawasnya tahun 2019, isu kecurangan akan cepat muncul dari kelompok yang kalah. Ia mengatakan, curang pasti ada, tetapi apakah signifikan atau tidak. Dan semua calon punya potensi melakukan kecurangan oleh pendukungnya.
Menurut Mahfud, hasil pemilu dapat dibatalkan apabila terbukti kuat terjadi pelanggaran dan berdampak signifikan terhadap jumlah suara semua calon. Pembatalan tersebut pernah terjadi, akan tetapi dalam konteks pilkada atau pemilihan kepala daerah lewat jalur konstitusional, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Artinya, jalur untuk membuktikan kecurangan dalam pemilu itu sudah ada. Tinggal kita lihat di MK dengan data-data yang dibawah oleh masing-masing penggugat. Narasi “pemilu curang” akan terus muncul di pemilu-pemilu selanjutnya.
Untuk saat ini, mari kita tunggu hasil final hitung dari KPU. Siapapun presidennya nanti, kita dukung dan doakan kebaikan. Kita hilangkan narasi-narasi negatif yang dapat memecah bangsa ini. Narasi yang dapat membuat kembali masyarakat terpolarisasi. Bisa kita renungi ciutan prof Mahfud dibawah ini
Semoga dengan pemilu semakin membuat kita dewasa dalam berdemokrasi. Yang calonnya menang tidak usah membully yang kalah. Yang calonnya kalah, tak perlu pula menuduh calon yang menang dengan tuduhan yang tidak-tidak, serta tak perlu larut dalam kekecewaan. Siap menang, siap juga untuk kalah. Jangan hanya menyiapkan mental untuk menang. Beda pilihan, jangan membuat kita pecah. []
ADVERTISEMENT