Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Praktik Money Politic yang Semakin Telanjang
30 Maret 2024 18:50 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 sudah selesai. KPU sudah menetapkan orang-orang terpilih di eksekutif maupun legislatif. Euforia pemilu mulai berlalu. Namun, satu narasi yang masih bertahan, yaitu narasi pemilu “curang”.
ADVERTISEMENT
Salah satu praktiknya adalah politik uang beberapa saat sebelum pencoblosan. Lebih parahnya lagi, praktik ini dilakukan secara terang-terangan oleh para politisi. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Minsdset Masyarakat dan Otak Oknum Politisi Kita
Siapa yang tak kenal dengan Sumedi Madasik? Salah satu caleg gagal yang viral karena dianggap memutus saluran air ke masyarakat tempat ia tinggal. Netizen di media sosial berbondong-bondong mencaci sikap Sumedi.
Setelah ditelisik, cerita sebenarnya justru membuat netizen berbalik membela sikap Sumedi. Ia ternyata sudah mensubsidi air bersih untuk warga sejak tahun 2019, jauh sebelum pemilu. Air tersebut berasal dari sumur bor miliknya. Ia harus meronggoh kocek sekitar 2-2,5 juta satu bulan untuk subsidi air tersebut.
Sumedi kemudian mencalonkan diri sebagai caleg untuk pemilu 2024 DPRD Kota Cilegon. Ia berharap dari suara masyarakat yang ia bantu. Masyarakatpun sepakat untuk memilihnya. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Suara yang ia peroleh tidak sampai 50 persen.
ADVERTISEMENT
Menurut pengakuan Sumedi, salah satu sebab beralihnya dukungan masyarakat karena adanya praktik politik uang. Akibatnya, beberapa masyarakat berputar haluan memilih calon yang memberikan uang. Menurut Sumedi, broker dari politik uang itu adalah salah satu RT di sana.
Tentunya Sumedi kecewa. Ia mengaku tidak bermain money politic. Sudah banyak biaya yang ia habiskan untuk membantu masyarakat. Dananyapun habis untuk kampanye. Alasan tidak adanya dana, membuat Sumedi memutus saluran air bersih tersebut.
Masalah yang menimpa Sumedi bukanlah barang baru dalam pemilu kita. Ini menujukkan bagaimana politik uang dapat mempengaruhi preferensi memilih masyarakat. Masyarakat kita dengan sangat mudah melupakan pengorbanan atau pengabdian satu tokoh politik, dan beralih ke tokoh lain hanya karena uang 100 – 300 ribu per calon.
ADVERTISEMENT
Praktik tersebut terjadi, tidak lepas dari beberapa mindset pemikiran di masyarakat kita. Mindset pertama, masyarakat akan menganggap orang baik akan tetap baik, walaupun disakiti. “Bapak itu kalau tidak terpilih, juga akan tetap membantu kita. Ya, kita pilih calon lain aja yang ngasih uang ke kita”. Mungkin begitulah kira-kira isi pikiran masyarakat kita.
Jadi kebaikan yang dilakukan berulang-ulang, lama-lama akan dianggap menjadi kewajiban oleh masyarakat. Maka jangan heran, orang yang dulunya suka melakukan kebaikan, kemudan tiba-tiba menghentikan kebaikannya, justru dianggap sebagai penjahat oleh masyarakat dengan tipikal di atas. Agak aneh memang. Sudahlah hidup susah, kemudian dibantu, tapi malah banyak tingkah. Tipikal masyarakat seperti ini memang bikin sakit kepala.
Mindet kedua yaitu masyarakat yang berpikir terpilih atau tidaknya si calon legislatif, tidak akan berdampak ke kehidupannya. Bagi mereka, yang penting kebutuhan hidup terpenuhi. Jadi, lebih baik mengambil uang si caleg, dari pada tidak dapat apa-apa sama sekali.
ADVERTISEMENT
Apa yang menyebabkan munculnya cara pikir seperti ini? Salah satu penyebanya adalah tidak terbangunnya kedekatan antara anggota yang sudah duduk di legislatif dengan konstituennya (masyarakat di wilayah pemilihannya). Sehingga masyarakat berpikiran, siapapun anggota legislatif yang terpilih, akan sama saja dan tidak berdampak kekehidupan mereka.
Golongan masyarakat ini biasanya berasal dari masyarakat yang tidak mau ribet dengan pemilu, yang kecewa dengan anggota legislatif, dan yang memang tujuannya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari caleg karena aji mumpung 1 kali 5 tahun.
Masyarakat yang tidak mau rugi, lebih memilih mengambil uang dari politisi tertentu, bahkan uang dari beberapa politisi. Ada yang memang memilih calon yang memberikan uang, ada juga yang tidak. Dari sini kita bisa melihat bagaimana masyarakat tidak peduli dengan sistem politik kita atau bahkan sudah kecewa dengan kondisi politik saat ini.
ADVERTISEMENT
Mindset masyarakat tersebut menyebabkan semakin bertumbuhnya politik uang. Masyarakat sepertinya tidak peduli dengan ancaman hukum bagi yang melakukan politik uang. Dan mengabaikan fatwa ulama yang mengharamkan praktik politik uang. Ini diperparah dengan otak politisi yang hanya berfokus pada kursi empuk kekuasaan.
Otak dari oknum politisi pemain politik uang, hanyalah kekuasaan. Untuk mendapatkan itu, dilakukan berbagai macam cara. Bagi yang punya modal banyak, ia tinggal sebar uang yang dimiliki. Bagi yang tidak punya modal, biasanya berhutang. Berhutang untuk melakukan politik uang.
Praktik tersebut dilakukan tidak bisa dilepaskan dari biaya politik yang besar. Untuk mencalonkan diri menjadi caleg DPRD saja bisa habiskan uang ratusan juta. Bagi yang sudah banyak mengeluarkan modal, tentu mereka tidak mau kalah. Kalau kalah, ya rugi. Maka, untuk membuat peluang menang semakin besar, dilakukanlah politik uang. Walaupun tidak semua yang memainkan politik uang terpilih. Minimal kalau kalah, ya stress.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana uang disalurkan?
Ward Berenschot, penulis buku Democracy for Sale Bersama Edward Aspinall, menemukan praktik transaksinal di Indonesia, tidak hanya dilakukan oleh partai politik, tetapi juga oleh jaringan si calon termasuk tim sukses maupun broker politik. Dan RT adalah salah satu jaringan yang bisa dipakai oleh si calon untuk melakukan politik uang.
Ward mengatakan praktik ini tidak terjadi di India maupun Argentina. Ia melihat, para politisi di Indonesia akan mendekat ke masyarakat “hanya” ketika akan dilakukannya pemilu. Hubungan masyarakat dengan partai sangatlah lemah.
Politik Uang menjadi Budaya
Praktik politik uang di tahun 2024 ini semakin gila. Beberapa kawan bercerita bagaimana praktik ‘siram-menyiram’ yang dilakukan oleh politisi menyebabkan terjadi perubahan suara pemilih. Beberapa mahasiswa saya juga bercerita tentang pengalamannya mendapatkan politik uang. Praktik, yang dilakukan semakin telanjang oleh oknum politisi.
ADVERTISEMENT
Padahal Islam sangat mengecam politik uang. Dalil yang biasanya dijadikan pijakan soal haramnya politik uang adalah hadist Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud yang berbunyi "Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap."
Adapun aturan hukum secara tegas mengancam para pelaku politik uang. Dalam Pasal 523 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan "Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).”
ADVERTISEMENT
Namun, ancaman-ancaman tersebut tidak diindahkan. Praktik politik uang sudah menjadi semacam budaya permanen masyarakat kita. Itu terbentuk karena kolaborasi apik dari politisi dengan masyarakat yang tidak peduli dengan demokrasi Indonesia. Masyarakat dan politisi memikirkan kepentingan pribadi. Partai politik sibuk mengejar kekuasaan. Dan penegak hukum tak serius menindak praktik kotor ini.
Ancaman hukuman saja tidak dihiraukan, apalagi ancaman neraka!