Serba-serbi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan Seks Bebas di Lingkungan Kampus

Mhd Alfahjri Sukri
Merupakan Dosen Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar - Founder Ranah Institute - Tim Centre for Global Studies (CGS) Rumah Produktif Indonesia (RPI)
Konten dari Pengguna
18 November 2021 17:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pro dan kontra masih saja mengiringi terbitnya Permendikbud nomor 30 tahun 2021. Melalui aturan tersebut, pemerintah berupaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Kelompok yang pro mendukung kebijakan ini karena dapat melindungi perempuan. Di sisi lain, terdapat kelompok kontra dari beberapa ormas Islam, seperti Muhammadiyah, IKADI, dan ormas lainnya.
ADVERTISEMENT
Pihak kontra mempersoalkan frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat dalam Pasal 5. Frasa tersebut dianggap dapat melegalkan seks bebas atau zina di kalangan mahasiswa. Tuduhan itu ramai-ramai dibantah oleh pemerintah. Nadiem Makarim selaku Mendikbud-Ristek menyebutkan aturan tersebut berfokus pada melindungi korban, dan bukan berarti melegalkan zina.
Sumber: https://pixabay.com/photos/gavel-auction-law-hammer-symbol-2492011/
Terlepas dari pro dan kontra akan Permendikbud tersebut, langkah yang diambil oleh pemerintah perlu diapresiasi. Hal ini tak lepas dari fakta, pengakuan 77 persen dosen di 79 kampus di Indonesia, bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus mereka. Akan tetapi, penting juga bagi pemerintah untuk menyerap aspirasi dari pihak yang kontra. Keresahan dari ormas-ormas Islam tersebut tentu beralasan, karena maraknya seks bebas yang juga terjadi di kampus-kampus di Indonesia. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi, bagaimana “ayam kampus” subur di lingkungan pendidikan kita.
ADVERTISEMENT
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017, menunjukkan terdapat delapan persen laki-laki dan dua persen Wanita umur 15 sampai 24 tahun yang telah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 11% hamil diluar nikah. Data dari Reckitt Benckiser Indonesia yang melakukan survei pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. Mahasiswa sendiri dapat masuk ke dalam kategori remaja, karena secara umum rentang umur mahasiswa adalah 18 hingga 25 tahun. Adapun yang disebut remaja adalah umur 10 sampai 24 tahun.
Data di atas memperlihatkan bagaimana mirisnya degradasi moral yang terjadi pada generasi muda Indonesia. Walaupun, tidak secara gamblang menunjukkan data seks bebas di lingkungan mahasiswa, namun perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa sendiri bukanlah menjadi rahasia umum.
Sumber: https://pixabay.com/photos/university-lecture-campus-education-105709/
Penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan untuk melihat perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa. Wahyu Rahardjo dkk (2017) melakukan riset untuk melihat perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa di daerah Jakarta, Bekasi, Cengkareng, Karawaci dan Depok, dengan 287 orang sampel. Hasilnya menunjukkan, sebanyak 33 orang (11,49%) terlibat dalam seks pranikah. Penelitian Septiani Wulandari (2014) menemukan 24% mahasiswa Fakultas Teknis Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2011 sampai 2013 telah melakukan hubungan seksual dan 21% mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana sedang terjadi degradasi moral di generasi muda. Belum lagi “ayam kampus”, yaitu mahasiswa yang menjajakan diri untuk memperoleh uang secara instan. “Ayam kampus” sendiri bukanlah hal yang baru, terutama di kampus-kampus yang berlokasi di kota-kota besar. Bahkan juga menjangkit kampus-kampus Islam.
Berbagai alasan diutarakan untuk pembenaran perilaku tersebut, mulai dari salah pergaulan, keuntungan ekonomi dan lainnya. Dampaknya, terjadi kasus kehamilan luar nikah, aborsi, pernikahan dini, bahkan dapat meningkatkan HIV/AIDS.
Agent of change
Melihat bagaimana fenomena seks bebas di kalangan mahasiswa, wajar kemudian ormas-ormas Islam melakukan protes atas Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Itu hanyalah bentuk keprihatinan ormas-ormas tersebut, karena mereka yakin mahasiswa adalah agent of change, ujung tombak perubahan Indonesia ke arah yang positif. Namun, bagaimana jadinya, kalau mahasiswa yang seharusnya menjadi agent of change, justru terlibat masalah moral.
Sumber: Pixabay.com
Kampus menjadi salah satu unsur penting dalam pembentukan generasi yang bermoral. Ini karena, generasi yang unggul tidak hanya bicara soal IQ yang tinggi, tetapi kualitas EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). EQ penekanan pada pentingnya kecerdasan emosional dan SQ pada kecerdasan spiritual.
ADVERTISEMENT
Menurut Mudjia Rahardjo (2010,) Guru Besar UIN Malang, SQ berkaitan dengan kesadaran kita sebagai makhluk Allah dengan tugas dan kewajiban yang kita emban. Wujud dari SQ tersebut adalah menjadi manusia yang sholeh dan dorongan untuk terus beramal sholeh. Masalah moral di kalangan mahasiswa dapat diselesaikan dengan peningkatan SQ.
Sumber: https://pixabay.com/photos/graduation-teen-high-school-student-995042/
Di sisi lain, peran pemerintah sangatlah penting untuk mengatasi masalah seks bebas di kalangan mahasiswa ini. Langkah maju sudah dikeluarkan dengan Permendikbud 30 /2021. Kita tinggal menunggu langkah selanjutnya dari Menteri Nadiem Makarim untuk menyelesaikan masalah perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa ini, agar terlahir agent of change yang ber IQ, EQ, dan SQ. []