Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tantangan Recep Tayyip Erdogan
3 Juni 2023 15:55 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kemenangan ini semakin memperkuat posisi Erdogan sebagai “orang kuat” di Turki. Ia telah berkuasa sejak 2003-2014 dengan menjabat Perdana Menteri, dan berlanjut menjadi presiden dari 2014 hingga 2028 nanti.
Tentunya akan ada berbagai tantangan bagi Erdogan ke depannya, terutama stabilitas ekonomi. Namun, penulis melihat terdapat tiga tantangan besar yang harus ia hadapi, yaitu stabilitas ekonomi Turki, berakhirnya Perjanjian Lausanne, dan Suksesor Erdogan.
Stabilitas Ekonomi
Erdogan adalah politisi ulung yang banyak mengubah wajah Turki . Ia membuat kembali Turki memainkan peranan penting dalam geopolitik dunia, menyelamatkan Turki dari keterpurukan, serta membuat militer kembali ke barak.
Sosoknya mulai semakin terkenal ketika ia menjabat wali kota Istanbul pada 1994-1998. Erdogan mampu mengeluarkan Istanbul meningkatkan perekonomian, menyelamatkan dari kebangkrutan, dan mengatasi berbagai permasalahan kota seperti tata kota, air bersih, listrik dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Kepiawaiannya semakin terlihat ketika menjadi Perdana Menteri (2003-2014). Metin Herper dalam tulisannya “The Justice and Development Party Government and the Military in Turkey” menyebutkan, untuk pertama kalinya pada 2004, Erdogan mampu menekan inflasi Turki berada di bawah 10 persen.
Dalam survei yang dilakukan the Social and Economic Foundation of Turkey (TUSES) pada tahun 2004 menunjukkan tingkat kepuasan yang cukup tinggi pada pemerintahan saat itu, di angka 64 persen. Selanjutnya, Turki mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen tiap tahunnya. Angka pertumbuhan ini mencapai 10 persen pada 2011, sehingga Erdogan menjadi semakin populer. Pada 2013 mampu melunasi hutang Turki kepada IMF (Internastional Monetary Fund).
Namun, Erdogan mulai dihadapi oleh instabilitas ekonomi Turki. Krisis kembali melanda ketika pandemi Covid-19 serta invansi Rusia pada Ukraina. Saat ini Turki menghadapi inflasi yang cukup parah. Pada Juni 2022, Turki mengalami Inflasi 78 persen, mengakibatkan melambungnya harga kebutuhan pokok, dan mahalnya biaya hidup. Namun, angka ini dapat ditekan menjadi 43,6 persen pada April 2023.
ADVERTISEMENT
Nilai Lira juga jatuh atas mata uang lainnya. Pada Juni 2018, nilai 1 dolar adalah 4,6 lira, namun Juni 2023 1 dolar senilai 20,8 lira. Hal tersebut berdampak pada kondisi perekonomian dalam negeri, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar. Juga berimbas pada harga barang-barang dari luar negeri.
Erdogan sendiri sebelumnya telah meminta masyarakat untuk memanfaatkan model ekonomi baru. Masyarakat diminta menggunakan lira dan membuang dolar, serta menggunakan produk dalam negeri. Di saat Erdogan berusaha memulihkan ekonomi Turki, gempa dahsyat melanda Turki. Menelan ribuan korban dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 2 triliun lira.
Pasca kemenangan Erdogan pada 28 Mei 2023 lalu, tentu menarik untuk melihat bagaimana langkah yang akan diambil Erdogan dalam memulihkan ekonomi Turki. Karena untuk inflasi sendiri terus mengalami penurunan sejak Oktober 2022 dengan angka inflasi 85,51 persen menjadi 43, 68 persen pada April 2023.
ADVERTISEMENT
Berakhirnya Perjanjian Lausanne?
Di saat banyak orang yang menyoroti tentang kondisi ekonomi Turki, justru yang menarik adalah anggapan akan berakhirnya perjanjian Lausanne pada Juli 2023. Perjanjian ini adalah kesepakatan damai yang ditandatangani di Swiss pada 24 Juli 1923 antara Kesultanan Utsmaniyah dengan sekutu ketika Turki kalah dalam Perang Dunia 1.
Perjanjian yang berisi 141 pasal tersebut berisi poin-poin penting seperti, pengakuan perbatasan Turki modern di bawah Mustafa Kemal (lahirnya Republik Turki); penghapusan kekhalifahan dan pembentukan Republik Turki; Suriah di bawah Prancis; Mesir, Sudan, Irak, dan Palestina di bawah Inggris; dan selat antara Laut Aegea dan Laut Hitam dinyatakan sebagai jalur sipil dan terbuka untuk semua pelayaran; dan Turki dilarang melakukan pengeboran untuk kegiatan minyak dan gas di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam perjanjian internasional, ada anggapan bahwa perjanjian berakhir setelah 100 tahun berjalan. Anggapan ini masih menjadi perdebatan, karena tidak ada tenggat waktu dalam pernjanjian tersebut. Namun, perjanjian dapat diubah dan diperbarui sesuai kesepakatan yang terlibat.
Dalam survei terbaru Turki 2023 menyebutkan, hampir setengah populasi di Turki dan sekitar 43 persen yang berpendidikan percaya bahwa Perjanjian Lausanne akan dan harus berakhir pada Juli 2023 ini.
Kalau perjanjian tersebut dianggap berakhir, maka Turki memiliki kewenangan dalam melakukan pengeboran minyak dan gas seperti di Laut Hitam yang memiliki 10 milliar barel minyak mentah dan 2 triliun kubik gas alam, pemungutan biaya atas kapal yang lewat Selat Bosporhus, kontrol penuh atas militer, penguasaan Laut Aegea dan lainnya. Bahkan konflik sudah lama terjadi antara Turki dan Yunani mengenai Laut Aegea yang memiliki sumber daya alam yang besar.
ADVERTISEMENT
Momentum 100 tahun perjanjian Lassaune, sebelumnya sudah disambut dengan kampanye Erdogan dan AKP yaitu TURKIYE HAZIR HEDEF 2023. Slogan tersebut sebagai cerminan target Turki untuk meraih kebangkitannya dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi, teknologi, pendidikan, infrastruktur dan pertahanan, serta peranan dalam politik global. Dalam pidato kemenangan, Erdogan juga menggaungkan sambutan atas “Abad Baru Turki”.
Maka langkah apa yang akan diambil oleh Erdogan ketika merespon anggapan berakhirnya Perjanjian Lausanne pada Juli 2023 nanti? Mengingat Erdogan adalah sosok dengan ambisi tinggi.
Suksesor Erdogan?
Salah satu tantangan “orang kuat” adalah mencari sosok pengantinya yang sepadan. Tantangan itu tak hanya dihadapi oleh Erdogan, tetapi juga presiden lain yang sudah lama berkuasa seperti Putin di Rusia, dan Xi Jinping di China.
ADVERTISEMENT
Untuk memperpanjang kekuasaannya, Erdogan mampu mendorong perubahan konstitusi. Pada 2007, konstitusi diubah dengan Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya, presiden sebagai simbol negara dipilih oleh parlemen. Pemilihan tersebut baru dilakukan pada 2014, ketika Erdogan mencalonkan diri sebagai presiden.
Pada 2017, Turki melakukan referendum untuk menentukan perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial. Hasilnya, sistem presidensial disetujui, posisi Perdana Menteri dihapuskan, dan presiden berfungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Sesuai dengan konstitusi Turki pasal 101 (2) menyatakan bahwa “Masa jabatan Presiden Republik adalah lima tahun. Seseorang dapat dipilih sebagai Presiden Republik untuk paling banyak dua periode”. Artinya, setelah 2028 nanti, Erdogan sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri, kecuali ia kembali mengubah konstitusi Turki.
ADVERTISEMENT
Saat ini Erdogan sudah berumur 69 tahun. Di akhir masa jabatannya pada 2028, ia akan berumur 74 tahun dan tidak bisa mencalonkan diri. Maka, tantangan selanjutnya adalah siapa pengganti kuat dari sosok Erdogan di pemerintahan dan AKP?
Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi/AKP) sudah sangat lekat dengan sosok Erdogan. Ketika menyebut AKP, maka pikiran orang-orang akan tertuju oleh Erdogan. Ibaratnya, AKP adalah anak kandung Erdogan.
Kondisi saat ini, elektabilitas AKP mengalami penurunan, walaupun tetap menjadi pemenang. Sejak berdiri pada tahun 2001, AKP sudah mengikuti berbagai pemilu. Pada pemilu 2002, AKP berhasil memperoleh 34,38 persen suara. Mengalami kenaikan pada pemilu 2007 dengan 46,58 persen. Kembali naik pada Pemilu 2011 dengan 49,83 persen.
ADVERTISEMENT
Barulah pada 2015, suara AKP mulai mengalami sedikit penurunan dengan 49,50 persen. Dan tren ini terus berlanjut pada Pemilu 2018 dengan 42,56 persen suara, dan pada pemilu 2023 mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan perolehan 35,6 persen.
Sedangkan dalam pemilihan presiden, Erdogan yang sebelumnya selalu menang langsung dalam pilpres 2014 (51,79 persen suara) dan pilpres 2018 (52,59 persen suara), pada pilpres 2023 dipaksa untuk lanjut menjadi dua putaran. Pada putaran pertama ia memperoleh 49,5 persen, dan pada putaran kedua dengan 52,18.
Artinya, hasil pemilu Turki 2023 sudah menjadi peringatan untuk Erdogan maupun AKP. Kalau Erdogan tak mampu memperbaiki ekonomi Turki hingga 2028 nanti dan belum ada sosok yang dapat menggantikannya, maka bisa jadi kekuasaan akan lepas dari tangan AKP.
ADVERTISEMENT
Maka menarik untuk melihat, langkah apa yang akan diambil oleh Erdogan untuk mempertahankan kekuasaannya, minimal mengamankan agar AKP tak tercampak dari kekuasaan. Kita tau Erdogan adalah politisi cerdas dengan berbagai langkah dalam pikirannya. Menarik untuk di tunggu!.