Konten dari Pengguna

Ulama dan Politik Praktis: Dimana Batas Keterlibatan?

Mhd Alfahjri Sukri
Merupakan Dosen Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar - Founder Ranah Institute - Tim Centre for Global Studies (CGS) Rumah Produktif Indonesia (RPI)
29 Oktober 2024 18:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Alfahjri Sukri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pernyataan di atas disampaikan oleh Buya Gusrizal Gazahar yang dikutip dari Surau Minang TV. Hal itu merupakan respon dari penolakan MUI Payakumbuh terhadap kedatangan Ustad Abdul Somad (UAS) yang akan berceramah dalam tablig akbar di Payakumbuh. MUI Payakumbuh beralasan, ada dugaan unsur politik praktis atas kegiatan tersebut.
Memang UAS memiliki track record sebagai endorsement politik pasangan salah satu calon yang bertarung dalam pilkada 2024.
Di Payakumbuh UAS secara terang-terangan mendukung pada pasangan calon lmaisyar-Joni Hendri. Di Provinsi Riau, UAS mendukung Abdul Wahid-SF Hariyanto. Dukungan UAS juga terjadi di Pilkada Batam, Meranti dan lainnya. Dukung mendukung calon ini, sudah dilakukan UAS pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Sumber : diambil dari kumparan.com
Permasalahan ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan komunikasi yang intens antar pihak-pihak yang terlibat. Namun, penolakan MUI Payakumbuh yang didukung oleh Buya Gusrizal selaku ketua MUI Sumatera Barat, akhirnya menimbulkan polemik di Ranah Minang. Panasnya kontestasi politik di daerah menjelang pilkada, merambat kepada panasnya hubungan antar ulama dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, beragam respon masyarakat atas penolakan tersebut. Ada yang pro dan ada yang kontra. Kelompok yang pro berpandangan, ulama tidak boleh berpolitik praktis di atas mimbar. Adapun yang kontra melihat bahwa ulama harus terlibat dalam politik praktis.
Lalu bagaimana sebenarnya? Apakah ulama boleh terlibat dalam politik praktis? sejauh mana kerterlibatan ulama dalam politik praktis tersebut?
Ulama Minangkabau dan Politik
Bagi umat Islam, khususnya di Minangkabau, ulama memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat. Ini tercermin dalam konsep kepemipinan Tungku Tigo Sajarangan (niniak mamak, cadiak pandai, dan alim ulama).
Bagi masyarakat Minang, ulama menjadi tempat bertanya perihal keagamaan. Ia menjadi penjaga moral dan persatuan dalam masyarakat, termasuk di dalamnya juga memberikan pencerahan tentang masalah-masalah sosial dan politik. Ulama dapat membantu masyarakat dalam memilih pemimpin yang benar.
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarah Minangkabau, banyak ulama yang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Keterlibatan itu juga yang melahirkan falsafah hidup “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
Ulama Minangkabau masa dulu. Sumber dari Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. yang diupload ke http://commons.wikimedia.org/ dengan judul Ulama Minangkabau Guru Ummat.jpg
Pada masa perjuangan kemerdekaan, kita mengenal ulama seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Buya Hamka, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir dan banyak lainnya yang terlibat dalam politik praktis dan bahkan bergabung dalam partai politik.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871-1970) merupakan salah satu ulama besar yang ikut terlibat dalam pendirian Partai Islam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan menjadi anggota Konstituante dari Perti pada Pemilu 1955.
Sedangkan Haji Agus Salim (1884-1954) aktif sebagai politisi dan ulama. Ia terlibat dalam organisasi Sarekat Islam (SI) dan mempertahankan SI untuk tetap berhaluan Islam yang kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
ADVERTISEMENT
Adapun Buya Hamka dan Mohammad Natsir juga merupakan ulama yang aktif dalam dunia politik. Kedua tokoh tersebut, sama-sama terlibat dalam Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Bahkan Muhammad Natsir pernah menjabat sebagai ketua Partai Masyumi pada tahun 1949.
Dari beberapa contoh di atas, artinya, DNA ulama Minangkabau tidak bisa dilepaskan keterlibatannya dalam politik. Apalagi dengan sistem demokrasi saat ini, dimana setiap orang berhak untuk terlibat dalam politik. Namun, ada batasan etis yang perlu dipahami oleh ulama agar masyarakat tidak terpecah.
Batasan Keterlibatan
Penulis sepakat dengan pandangan Buya Gusrizal Gazahar, bahwa keterlibatan ulama dalam politik praktis harus ada batasannya. Salah satu batasan penting adalah jangan berkampanye di atas mimbar (ceramah). Karena di atas mimbar, seorang penceramah seharusnya menjadi pemersatu bagi masyarakat yang berbeda pilihan. Di atas mimbar, ulama juga dapat memberikan pendidikan politik tanpa harus mengarah pada kampanye salah satu pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Ketika seorang ulama sudah menjadikan mimbar sebagai tempat kampanye, maka potensi perpecahan di masyarakat sangatlah besar. Potensi perpecahan akan semakin besar ketika narasi surga neraka dimainkan. Dimana, kalau mendukung calon A akan masuk surga. Kalau tidak mendukung, akan masuk neraka.
Politik praktis di atas mimbar akan memunculkan polarisasi yang sangat kuat di masyarakat. Kita seharusnya sudah belajar dari kasus politik identitas di Pilpres 2014, Pilgub Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Bahkan, pada Pilgub Jakarta 2017 sampai ada kasus penolakan sholat jenazah atas masyarakat yang berbeda pilihan politik.
Masyarakat terpecah hanya kerena pilihan politik yang berbeda. Padahal politik di Indonesia sangat bersifat cair. Orang yang kita dukung saat ini, bisa saja berubah dikemudian hari. Silahkan lihat, wajah-wajah politisi saat ini. Korbannya tetap masyarakat yang sudah bertengkar satu sama lain karena perbedaan pilihan politik.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang perlu diperhatikan oleh ulama, siapapun dan dimanapun ulama itu berada. Jangan sampai, kredibiltas seorang ulama menjadi rusak hanya karena keterlibatan terlalu jauh dalam mendukung salah satu calon. Politik bersifat dinamis, adapun kerukunan masyarakat perlu dijaga agar tetap utuh.
Salah satu fungsi penting Ulama dalam kondisi Pilkada 2024 ini adalah menjadi perekat masyarakat. Ulama yang terlibat dalam politik praktis, dapat menyampaikan pandangan di luar masjid (mimbar). Di dalam mimbar, ia seharusnya menjadi penyejuk dan pemersatu masyarakat.
Jangan sampai Pilkada yang dilakukan satu kali dalam lima tahun menjadi penyebab rusaknya hubungan antar masyarakat yang sudah lama dibangun. Ulama, dengan kebijaksanannya, dapat menjadi jembatan yang mempertemukan segala perbedaan tersebut, bukan malah memperlebar jurang perpecahan. []
ADVERTISEMENT