Konten dari Pengguna

Digital Mum 2025: Teknologi yang Menguatkan atau Membebani Ibu?

Fajrul Khairati
Dosen Universitas Adzkia Padang, Konselor Keluarga dan Founder Komunitas Rumah Cahaya
10 Mei 2025 16:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajrul Khairati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ibu dan Dunia Digital

ADVERTISEMENT
Ibu hari ini tak bisa dilepaskan dari teknologi. Gawai ada di tangan sejak pagi hingga malam. Mereka mencari resep, memantau tumbuh kembang anak, berkomunikasi dengan guru, hingga berbelanja kebutuhan rumah tangga. Dunia digital menjadi ruang hidup baru. Tapi juga membawa tantangan baru. Semakin banyak pilihan, semakin besar tekanan.
Sumber gambar: Ilustrasi generatif oleh AI (OpenAI, melalui ChatGPT - DALL·E)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Ilustrasi generatif oleh AI (OpenAI, melalui ChatGPT - DALL·E)

Angka yang Mencerminkan Realitas

ADVERTISEMENT
Survei Digital Mum 2025 dari The Parent Inc mengungkap lebih dari 50 persen ibu Indonesia aktif menggunakan aplikasi parenting. Bahkan 70 persen dari mereka berbelanja lewat tautan afiliasi media sosial. Sementara 6 dari 10 ibu mengandalkan rekomendasi influencer untuk membeli produk anak. Ini bukan sekadar perubahan kebiasaan. Tapi pergeseran cara ibu membuat keputusan. Dulu bertanya ke orang tua atau tetangga. Sekarang bertanya ke mesin pencari, akun parenting, dan ulasan daring. Yang populer, dipercaya. Yang sering muncul, dianggap benar.
Padahal tak semua informasi itu aman. Banyak yang sekadar promosi. Banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ada yang menyarankan terapi mahal tanpa bukti ilmiah. Ada pula yang mengampanyekan metode ekstrem yang belum teruji. Ibu menjadi target. Tapi sering kali tidak dibekali kemampuan memilih.
ADVERTISEMENT

Antara Manfaat dan Tekanan

Teknologi seharusnya membantu. Tapi di dunia parenting, ia juga bisa menjadi sumber tekanan. Informasi datang dari segala arah. Metode A. Teknik B. Stimulasi C. Semua mengklaim paling tepat. Ibu pun merasa harus mengikuti semuanya. Kalau anak belum bicara, dianggap kurang stimulasi. Kalau belum les ini itu, dianggap tertinggal. Akibatnya, ibu merasa bersalah. Merasa gagal. Padahal tiap anak berbeda. Tiap keluarga punya konteks.
Satu artikel menyarankan mainan sensorik. Artikel lain menganjurkan screen time 0 menit. Konten yang satu bertolak belakang dengan yang lain. Ibu terjebak. Bukannya terbantu, justru bingung. Belum lagi tekanan sosial. Dari grup WhatsApp sekolah. Dari media sosial. Dari tetangga yang "sekadar bertanya".

Algoritma yang Tak Ramah Ibu

Yang tampil di layar bukan kebetulan. Itu dikendalikan algoritma. Konten parenting, iklan susu, mainan edukatif, kursus anak—semuanya terus muncul. Ibu disasar sebagai pasar. Bukan sebagai pribadi yang butuh ruang aman. Banyak aplikasi tak punya filter usia. Tak punya panduan kesehatan. Bahkan tak bisa membedakan konten edukatif dan sekadar hiburan.
ADVERTISEMENT
Anak-anak pun jadi korban. Jejak digital mereka tersebar sejak bayi. Dari foto pertama saat lahir. Sampai video tantrum yang lucu tapi tidak etis. Tanpa disadari, ibu turut menyebarkannya. Tak ada edukasi soal dampaknya. Tak ada kontrol atas penyalahgunaan.

Komunitas atau Kompetisi?

Media sosial dan grup parenting bisa menjadi tempat berbagi. Tapi juga bisa berubah jadi ajang pembanding. Anak A sudah bisa ini. Anak B sudah les itu. Lalu ada yang bertanya, “Anakmu belum?” Tekanan muncul dari komentar sederhana. Ibu pun merasa minder. Enggan bercerita. Enggan terbuka. Padahal seharusnya teknologi menciptakan ruang aman. Tempat saling menguatkan, bukan menghakimi.

Regulasi Masih Lemah

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital. Ini langkah maju. Tapi pelaksanaan di lapangan belum terasa. Belum ada pengawasan ketat atas konten parenting. Belum ada perlindungan kuat bagi ibu dari konten manipulatif. Platform digital masih bebas menayangkan iklan dengan klaim berlebihan. Tanpa ada sanksi. Tanpa pendampingan. Padahal ibu adalah pengguna paling rentan.
ADVERTISEMENT
Banyak konten yang menjanjikan anak jadi pintar dalam 7 hari. Banyak akun yang menjual obat herbal tanpa izin. Belum ada sistem laporan yang efektif. Belum ada literasi digital yang masif untuk para ibu.

Teknologi yang Mengerti Ibu

Di sisi lain, ada harapan. Beberapa platform mulai menyediakan fitur konsultasi psikolog. Ada komunitas daring yang ramah. Ada materi parenting berbasis riset, bukan sekadar viral. Ini arah yang benar. Ibu tak butuh aplikasi canggih. Ia butuh panduan yang jelas. Ia butuh fitur yang membantu, bukan membingungkan. Ia butuh teknologi yang memahami ritme harian. Bukan justru memicu stres.
Pemerintah, pengembang, dan komunitas harus duduk bersama. Mendesain teknologi yang empatik. Yang hadir tidak untuk menggurui. Tapi untuk mendengar.
ADVERTISEMENT

Penutup: Ibu Adalah Kunci

Ibu adalah fondasi rumah. Ia bekerja tanpa henti. Ia belajar tanpa jadwal. Ia berjuang di balik layar. Teknologi bisa menjadi penopang. Tapi hanya jika dirancang dengan empati. Bukan sekadar untuk kepentingan bisnis.
Saat kita bicara transformasi digital, jangan lupakan peran ibu. Bukan hanya sebagai pengguna. Tapi sebagai penggerak keluarga. Pengasuh generasi. Dan penjaga masa depan.
Teknologi yang berpihak pada ibu, adalah teknologi yang berpihak pada peradaban.