Konten dari Pengguna
Scroll Terus, Tapi Kosong: Saat Media Sosial Menggerus Kesehatan Mental
6 Juni 2025 22:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Scroll Terus, Tapi Kosong: Saat Media Sosial Menggerus Kesehatan Mental
Setiap pagi, sebelum benar-benar membuka mata, tangan kita sudah lebih dulu menggenggam ponsel. Bukan untuk menelepon atau membaca berita, tapi untuk mengecek notifikasi.Fajrul Khairati
Tulisan dari Fajrul Khairati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi ruang utama kehidupan banyak orang, terutama generasi muda. Di ruang itu, segala sesuatu tampak bergerak cepat: tren berubah tiap hari, standar sukses makin tinggi, dan eksistensi terasa ditentukan oleh algoritma.
Namun, di balik layar yang terus menyala, semakin banyak orang merasa kosong.
Dunia yang Terus Membandingkan
Media sosial semula diciptakan sebagai alat berbagi. Kini, ia berubah menjadi panggung kompetisi sunyi. Unggahan liburan mewah, tubuh ideal, pasangan romantis, atau pencapaian akademik, menjadi tolok ukur kehidupan yang tidak semua orang punya. Di situlah jebakan dimulai: comparison trap.
Dalam jebakan ini, seseorang terus-menerus membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih baik. Padahal, yang terlihat hanyalah potongan terbaik dari kenyataan. Tidak ada yang mengunggah detik-detik kegagalan, kecemasan, atau kesepian.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, otak kita tidak membedakan kenyataan dan kurasi. Semua dianggap nyata. Semua dibandingkan.
Perlahan, muncul rasa tidak cukup. Tidak cukup menarik. Tidak cukup sukses. Tidak cukup bahagia. Padahal mungkin, semua itu hanya persepsi yang dibentuk dari sorotan layar lima inci.
Kesehatan Mental di Ujung Jari
Efeknya tidak main-main. Laporan We Are Social (2024) mencatat bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial. Ini belum termasuk waktu “mengintip” tanpa sadar—di sela belajar, kerja, atau bahkan ketika sedang makan bersama keluarga.
WHO bahkan menyebutkan bahwa gangguan kecemasan dan depresi meningkat hingga 25% sejak pandemi, dan kelompok usia 15–29 tahun menjadi yang paling terdampak. Ini bukan statistik kosong. Ini adalah gambaran nyata dari generasi yang hidup dalam tekanan eksistensial digital.
ADVERTISEMENT
Gejala umumnya tersebar di sekitar kita: sulit tidur, mudah marah, gelisah tanpa sebab, merasa tidak cukup, dan kehilangan motivasi. Semua ini terjadi diam-diam, karena tidak semua luka tampak di permukaan.
Fenomena doomscrolling—kebiasaan terus menggulir layar meski merasa lelah—menjadi refleksi dari mental yang butuh istirahat, tapi tidak tahu caranya.
Saat Detoks Digital Menjadi Pilihan
Berangkat dari kelelahan itu, tren detoks digital mulai muncul. Banyak orang mulai menyadari bahwa mereka butuh jeda. Beberapa menghapus aplikasi selama seminggu. Ada yang mengatur screen time. Ada pula yang memilih untuk tidak mempublikasikan apa pun untuk sementara.
Tagar seperti #DetoksDigital, #DigitalMinimalism, atau #OfflineIsOkay muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan algoritma. Di TikTok dan X (Twitter), semakin banyak orang yang berbagi pengalaman “puasa media sosial” demi menjaga kewarasan.
ADVERTISEMENT
Di kampus-kampus dan ruang kerja, detoks digital mulai dibicarakan sebagai langkah sadar untuk merawat diri. Beberapa institusi bahkan menyediakan ruang "tanpa layar" untuk sekadar membaca buku atau menulis tangan. Detoks bukan soal teknologi, tapi tentang relasi manusia dengan dirinya sendiri.
Namun, detoks bukan sekadar meninggalkan layar. Detoks adalah proses menyadari bahwa dunia digital tak seharusnya menjadi tolok ukur hidup. Bahwa kita boleh gagal tanpa perlu minta maaf. Bahwa tidak semua hal perlu dibagikan untuk diakui.
Media Sosial Bukan Musuh
Kita tidak sedang memusuhi teknologi. Media sosial, jika digunakan secara sadar, bisa jadi alat berdaya yang luar biasa. Kita bisa belajar, terkoneksi, bahkan bergerak sosial lewat ruang-ruang digital itu.
Namun, kendalinya harus tetap di tangan kita. Jangan sampai media sosial berubah dari alat bantu menjadi alat ukur harga diri.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita tidak bisa berhenti sepenuhnya dari media sosial. Dunia sudah terhubung terlalu dalam. Tapi kita bisa memilih: untuk apa kita membuka layar, sejauh apa kita ingin terlibat, dan demi siapa kita tampil.
Kewarasan bukan sesuatu yang bisa dicari di feed orang lain. Ia tumbuh dari jeda, dari refleksi, dan dari keberanian untuk tidak ikut-ikutan ketika dunia ramai-ramai membandingkan.
Di era yang serba online ini, mungkin waras adalah bentuk pemberontakan paling penting.

