Balada New Normal, Bukan Ikuti Tapi Sadari

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
Konten dari Pengguna
1 Januari 2021 15:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Balada New Normal, Bukan Ikuti Tapi Sadari
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini adalah pengalaman dan pendapat pribadi penulis. Tulisan ini dibuat kala pandemi Covid-19 belum lama masuk ke Indonesia. Dengan perkembangannya, situasi mungkin saja berbeda dengan apa yang dipaparkan. Tulisan ini berupaya memiliki perspektif garis besar menyoal pandemi yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Sebagai penulis di sebuah lembaga pendidikan, tepatnya pesantren, saya kerap merasa berseberangan dengan tugas kantor, utamanya kala pandemi Covid-19 mulai menerpa. Di media sosial sering mengkritik pemerintah, tapi sekarang harus kuat-kuat mengikuti apa kata mereka. Tulisan-tulisan saya di kantor agaknya mendukung kalimat-kalimat ajaib pemangku kekuasaan terkait penanganan Covid-19 ini.
Bagi sebagian orang, istilah New Normal hanya bualan belaka. Keputusan pemerintah menerapkan itu pun dibangun tidak dengan dasar logika, hukum dan standar medis yang tepat. Beberapa aspek bisa dimaklumi mengingat ini adalah spesies virus baru di dunia.
Berbagai anjuran protokol kesehatan seperti physical distancing, pakai masker, cuci tangan dan sebagainya jadi anti-substan. Kalimat yang harusnya memiliki makna positif, tapi karena diatur dan dijalankan dengan dasar seperti itu, seperti lezat pada kulitnya saja.
ADVERTISEMENT
Standar yang ada juga tak memiliki instruksi yang jelas. Padahal kita bisa mencontoh pemerintah Selandia Baru. Mereka menerapkan sistem pelevelan dari 1 sampai 4. Di setiap level instruksinya jelas. Contohnya di level terendah, yaitu level 1, tentang pengendalian diri.
”Semua orang tahu harus ngapain sesuai dengan tingkatan bahayanya. Misalnya, saat level 4 atau lockdown, semua di rumah, kecuali yang penting, seperti supermarket, rumah sakit dan logistik,” ujar Aditya Gusman, ahli pemodelan tsunami dari Indonesia, yang bekerja di GNS Science, semacam pusat penelitian dan pemantauan geologi serta geofisika di Selandia Baru, seperti dilansir Kompas.com.
Suatu ketika penjadwalan kembalinya santri ke pesantren selepas liburan semester sempat tertunda, sebabnya kekhawatiran para wali santri terkait kesiapan pesantren dalam menghadapi New Normal ini. Sudah pasti, akar masalah harus dituntaskan. Jalan yang diambil adalah memasifkan kampanye kesiapan pesantren dalam menghadapi New Normal. Beberapa kalimat “marketingnya” tertera persis dengan apa yang pemerintah anjurkan. Sudah pasti saya termasuk salah satu orang di balik masifnya kampanye itu. Duh…
ADVERTISEMENT
Di situasi gamang itu, saya menemukan tulisan Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan, menanggapi pola New Normal yang diterapkan di Indonesia. Ada 2 aspek penting yang dibahas, yakni New Normal versi pemerintah dan New Normal dalam pandangan Islam.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara keduanya, terutama dari cara pandang dan dasar pemikirannya. New Normal dalam Islam harusnya sudah jadi darah daging umat muslim. Dalilnya hadits nabi, “siapa yang hari esok lebih baik dari hari ini maka dia beruntung....” dan seterusnya. Harusnya setiap hari adalah hari baru bagi seorang muslim.
Kurva kasus positif dan jumlah kematian akibat pandemi ini cukup menggambarkan bagaimana kinerja para pemangku jabatan di tiap harinya. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Ustadz Amir. Bahkan, bisa jadi berseberangan dengan perintah agama untuk “lebih baik dari hari ke hari” bukan?
ADVERTISEMENT
Saya harus menerima kenyataan bahwa di lingkungan saya ngantor, New Normal versi pemerintah disosialisasikan besar-besaran. Makin miris karena pesantren erat hubungannya dengan para ulama. Termasuk dengan MUI yang sudah dianggap merepresentasikan pendapat ulama di negeri ini. Hingga salah satu guru besar di tempat kerja saya itu menjelaskan makna sesungguhnya.
“Jadi yang kita ingin bangun adalah bagaimana semua aspeknya bersiap. Bukan cuma pesantrennya aja tapi santrinya juga, orangtuanya juga. Kita siap dengan protokol kesehatannya sementara santri siap dengan pengetahuan protokol kesehatan itu dan kapasitas dirinya. Orangtua, siap dengan motivasi dan uangnya. Ha ha ha”, begitu katanya.
Dan kalimat ajaibnya adalah, “kita ini harus sadar kalau pemerintah itu udah gagal. Mau apalagi yang diharapkan? Wong kalau nunggu ini selesai juga gak akan selesai. Jadi, semangatnya adalah bukan tentang jalanin New Normal tapi bagaimana kita siap secara mental dan fisik buat sekolah lagi. Kalau bergantung dengan penanganan pemerintah, gak akan sekolah lagi kita. Pertanyaannya, masih mau sekolah gak? Masih mau kerja gak? Kalau mau ya ayok siapin diri sendiri. Nih, pesantren udah kasih wadah, tinggal kamunya gimana manfaatin wadahnya.”
ADVERTISEMENT
Seketika perdebatan di pikiran ini berakhir. Penerapan New Normal di pesantren berdasarkan anjuran pemerintah ini justru juga jadi bentuk kritik terhadap kebijakan penguasa yang kurang tepat. Maka itu sesuai prinsip berjurnalisme, bahwa yang kita bawa adalah kebenaran, bukan sekedar informasi.