Gelas Aneh

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2021 17:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah gelas bukan hanya tentang wadah untuk minum. Foto: Free Photos from Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah gelas bukan hanya tentang wadah untuk minum. Foto: Free Photos from Pixabay.
ADVERTISEMENT
Hal yang biasa saya lakukan ketika sampai di kantor setelah melalui perjalanan satu jam lebih sedikit dari rumah adalah menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Setalah itu menuju pantry yang berada tepat di hadapan pintu utama kamar mandi. Saya mengambil gelas serta sendok, baik logam atau plastik, tergantung persediaan, untuk menyantap sarapan yang dibawa dari rumah.
ADVERTISEMENT
Suatu hari saya menyantap sarapan yang dibuatkan oleh kakak berisi ayam kecap dua potong, tahu putih dua potong yang warnanya sudah kecoklatan sebab pengaruh kecap, serta sayur capcay ditambah nasi secukupnya. Walaupun kakak yang masak, tapi ibu saya yang menyiapkannya ke dalam tempat bekal. Hal itu karena kakak sudah menikah dan saat itu keluarganya; dirinya, suami dan seorang bayi; sedang berada di rumah keluarga, sehingga ia harus menyediakan bekal buat sang suami yang juga akan pergi ke kantor.
Gaya makan saya amat dipengaruhi oleh sebuah artikel kedokteran yang menyatakan bahwa setelah makan jangan langsung minum untuk memberi kesempatan perut “bernapas”. Tapi terkadang ini jadi masalah buat saya, karena seringkali justru membuat lupa meneguk air putih setelahnya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti di pagi itu. Beres sarapan, saya dengan sigap menyalakan komputer lalu melanjutkan mengetik naskah yang sedang saya susun. Gelas yang tadi dibawa pun terbengkalai. Tanpa sadar, satu jam setengah lebih saya tidak minum setelah menyantap sarapan tadi.
Merasa ada yang janggal, saya menanyakan pada teman yang sedang duduk di hadapan saya, di belakang monitor komputer, menghadap meja paling besar dalam ruangan kantor. Tapi saya tak berterus terang dengan keanehan tersebut. Sebelum bertanya, saya meneliti lagi ke sekitar. Betul saja, ternyata gelas saya sudah raib dari hadapan, tanpa tahu siapa yang mengambilnya.
Kejadian itu makin meyakinkan saya untuk bertanya pada teman tadi. Dengan sedikit filosofis, saya bilang, “Gelas yang gua bawa udah berubah jadi apaan, ya? Tau kagak?”
ADVERTISEMENT
Tapi bukan jawaban yang saya dapatkan, melainkan gerakan tangan. Betul, tak lain teman saya itulah yang memakai gelasnya, dengan sisa teh manis di dalamnya, mungkin tinggal satu tegukkan. Saya tertawa. Bisa-bisanya “maling” yang ada di hadapan saya dan tidak kabur itu leluasa menggunakan gelas yang kerap saya bilas lagi dengan air putih ketika baru diambil dari pantry tersebut.
Untungnya saya bukan orang yang ribet. Mungkin karena pengaruh pengalaman mondok yang serba urakan. Tak perlu lagi saya cuci ulang. Cukup bilas dengan air panas dispenser, gelas itu bisa digunakan kembali.
Saya ambil kopi saset yang berada di atas meja, di sebelah kulkas mini yang ada di dalam kantor. Saya kembali ke meja, melewati teman yang memakai gelas tadi. Kembali sedikit berfilosofi, saya bilang, “Nah, kan, sekarang tehnya bisa jadi kopi.”
ADVERTISEMENT
Kami hanya tertawa renyah, kemudian melanjutkan kesibukan masing-masing.
Sebuah gelas menyimpan filosofi tersendiri, mulai bahan, kegunaan, hingga pengaruh terhadap sekitarnya. Foto: Dokumen pribadi.
Belum cukup sampai situ, gelas itu bisa “sulap” lagi. Setelah kopi ludes, saya kembali ke dispenser, melakukan kegiatan yang sama seperti beberapa saat lalu. Sim salabim! Kopi yang tinggal seteguk tadi sekarang berubah jadi air putih.
Lagi-lagi saya tak peduli dengan keadaan gelas di mana masih ada aroma dan rasa kopi yang amat tipis. Lebih seperti air putih ketetesan kopi ketimbang kopi yang diseduh dengan air putih. Air putih itu saya tenggak habis. Satu kemudian gelas kedua.
Gelas yang saya gunakan berkali-kali itu berbahan plastik. Tapi yang kita tahu juga ada yang berbahan alumunium, kaca, dan inovasi-inovasi bahan lainnya.
Dalam satu kesempatan, gelas itu bisa mengisi tiga bahan sekaligus, teh, kopi, hingga air putih. Ia bisa menampung tiga rasa yang berbeda, bahkan dengan suhu air yang berbeda-beda pula. Ketika mengambil air putih, saya menekan tombol “cold” yang ada di dispenser. Sementara ketika membuat kopi, saya lebih suka menekan tombol “hot”. Saya pun yakin teman saya melakukan hal serupa ketika ia membuat teh tadi.
ADVERTISEMENT
Gelas yang saya pakai itu juga punya kemampuan aneh yakni memanipulasi kegiatan “mencuci piring” yang tadinya identik dengan air keran dan sabun cuci piring menjadi cukup dengan air minum panas dispenser. Hebatnya lagi, meskipun yang masuk ke dalamnya punya bahan dan suhu berbeda, ia tetap konsisten dengan bentuknya. Ia bahkan “memaksa” bahan yang masuk ke dalamnya untuk mengikuti bentuk tubuhnya.
Gelas tak pernah setuju jika tubuhnya dimasuki jenis bahan yang tidak sesuai dengannya. Ia konsisten. Yang boleh masuk adalah yang mampu mengikuti tubuhnya, atau minimal yang masih cukup untuk masuk ke dalamnya. Ia tidak sok tahu dan sok bisa, melakukan segalanya padahal bukan bidang keahliannya.
Maka, jadilah seperti gelas!