Ide-ide dari Jalanan

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
Konten dari Pengguna
2 September 2021 17:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: Arek Socha dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
foto: Arek Socha dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Hampir setahun saya pulang pergi kantor-rumah orang tua setelah sebelumnya menumpang di rumah nenek. Sejak ayah wafat, saya memutuskan kembali ke rumah orang tua sebab ibu terkadang sendirian di rumah. Toko di depan rumah lumayan bisa menghiburnya karena yang menjaga merupakan teman sekaligus guru ngaji di pengajian belakang rumah. Tapi, toko hanya buka sampai jam 8 malam. Terkadang yang menjaga pun sudah pulang selesai salat maghrib.
ADVERTISEMENT
Kakak saya perempuan dan sudah menikah. Ia juga harus mengikuti suaminya. Memang mereka lebih sering berada di rumah orang tua saya ketimbang di rumah mertua kakak saya. Tapi sekalinya ke sana bisa berminggu-minggu dan seringkali mendadak. Sebagai jaga-jaga, saya tetap memutuskan pulang ke rumah meski sedang ada keluarga kakak saya di sana.
Banyak pengalaman terbentang dari perbedaan jarak dan waktu tempuh antara dari rumah nenek ke kantor dengan dari rumah orang tua ke tujuan yang sama. Pastinya soal waktu, di mana kalau dari rumah nenek lebih cepat setengah jam ketimbang dari rumah orang tua yang memakan waktu satu jam. Masalah bensin sudah pasti membengkak dua kali lipat. Belum lagi kondisi badan yang juga dua kali lebih capek. Tapi diniatkan untuk berbakti pada orang tua, secara saya juga belum berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Perjalanan yang lebih jauh itu ternyata tak hanya menyisakan penat dan bau asap kendaraan. Seringkali saya merenung, menganalisis kehidupan, atau sekadar salawatan atau muroja’ah (serius, beneran!). Pekerjaan yang mengharuskan menuangkan ide, pada perjalanan tersebut, ternyata juga bisa jadi bahan relaksasi sekaligus menggali ide-ide baru.
Seperti di sebuah pagi, dua hari yang lalu. Setelah melewati tikungan putar balik dari arah Viktor, BSD, menuju jalur arteri BSD-Serpong, tiba-tiba sebuah motor menyalip dari sisi kiri. Kecepetannya standar saja, tapi lebih cepat dari motor saya yang dirasa sudah cukup cepat untuk ukuran tarikan gas yang biasa saya lakukan. Bising knalpotnya membangunkan kesadaran saya untuk kembali menuangkan ide di kanvas layar.
Maka lahirlah tulisan ini. Contoh sederhana bagaimana ide bisa datang dari mana saja.
ADVERTISEMENT
Ide, secara tak langsung, didasari dari apa yang seseorang sering lakukan. Orang akan senantiasa menerawang dari apa yang pernah mereka indera, melihat, mencium, meraba, dan sebagainya, ketika ia mencari sebuah ide untuk dituangkan.
Seperti kalau kita perhatikan, apa yang dipikirkan tukang pecel lele yang biasa mangkal dengan tenda-tenda di pinggir jalan pada malam hari, ketika mereka membuat kol goreng?
Keabsurdan pertama, kol itu sayuran. Di negara ini, sayuran saja tak populer. Lalu bagaimana bisa ia memikirkan untuk diolah lebih lanjut dengan dipanaskan di atas minyak panas? Meski banyak masakan khas Indonesia yang menggunakan sayuran, namun kol identik dengan lalapan, sayuran mentah yang disantap dengan padanan sambal terasi.
Yang kedua, ia secara terang benderang menghancurkan harkat dan martabat kol sebagai makanan sehat. Coba saja cek kandungan gizinya. Kol banyak mengandung serat, air yang dibutuhkan tubuh, serta ragam vitamin penambah imunitas. Eh, malah dikasih minyak panas yang penuh lemak jenuh. Vitamin pun hilang (karena ia rusak di suhu tinggi, apalagi mendidih).
ADVERTISEMENT
Yang paling bikin mikir, bagaimana tukang pecel lele tau kalau panganan kol goreng bisa seenak itu?! Paduan gurihnya minyak hasil gorengan yang kesekian kali dengan tekstur bunga kol yang telah melemas. Ajaib, dalam sekejap kol goreng laku dipesan para pelanggan pecel lele setelah sebelumnya banyak yang meminta untuk tidak menyertakan lalapan, di mana kol ada di dalamnya, ketika pesanan pecel lelenya dihidangkan.
Secara bisnis, apakah ini akan bertahan? Tentu saja. Selama pecel lele masih eksis. Bahkan kini banyak yang menyediakan menu khusus kol goreng yang harganya mulai tak masuk akal, jika bicara modal yang dikeluarkan untuk mengolahnya.
Kalau meminjam frasa “ide didasari pengalaman” tadi, bisa jadi ini karena banyak hal terjadi ketika si tukang pecel lele berjualan sejak puluhan tahun lalu. Misalnya, tukang pecel lele biasanya tak jauh dari tukang gorengan. Alasannya mungkin karena keduanya menyediakan makanan yang digoreng.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi si tukang pecel lele melihat pasar potensial dari gorengan yang dijual pedagang sebelah. Kol juga dipakai tukang gorengan untuk membuat bakwan atau bala-bala atau apa pun sebutannya. Gorengan ini paling simpel dibuat. Penggemarnya tak kalah banyak dengan tempe dan tahu goreng.
Kol ikut serta dengan wortel dan sayuran lain yang terbalut tepung kala digoreng dalam sebuah kuali besar. Terkadang ia memberontak, seolah ingin keluar dari adonan setelah si bakwan matang. Di situ ia mencoba show off dengan sebuah rasa yang ingin ia tawarkan.
Hasilnya? Bakwan jadi salah satu primadona gorengan. Tukang pecel lele pun melihat peluang dari kesamaan bahan antara bakwan dan pecel lele. Menurutnya, ketimbang wortel yang tak banyak berubah tekstur, ia memilih kol untuk digoreng dengan ciri khas lemas yang justru membuat mudah dikunyah dan dirasa.
ADVERTISEMENT
Ditelisik lebih jauh, bisa jadi si tukang pecel lele tak sengaja memasukkan kol dalam gorengan ikan atau ayam yang sedang dibuat, lalu ikut dalam sajian ketika dihidangkan. Bukannya protes, si pelanggan justru ketagihan lalu minta digorengkan kol lagi.
Esoknya ia coba ke pembeli lainnya. Hasilnya sama. Berulang kali ia coba dan tetap sama. Tak butuh data-data statistik, mana percobaan kol goreng yang gagal mana yang berhasil, pokoknya ketika kol itu habis lebih cepat dari biasanya, berarti enak.
Kejelian menggali ide itu membuat kol goreng eksis di tukang pecel lele yang ada di seluruh penjuru negeri. Pengalaman bersaing dengan tukang gorengan nyatanya justru menghasilkan ide dengan potensi pasar yang menggiurkan.
Dengan proses sederhana, ide tukang pecel lele berubah menjadi bisnis berekor sembilan. Kol goreng bisa diprospek menjadi hidangan lain yang tak kalah lezat. Hasil yang diperoleh dari ide yang tak sengaja mampir.
ADVERTISEMENT
Ini juga ada hubungannya karena si tukang pecel lele sering bertemu dengan pelanggan, lebih-lebih sering bertemu orang. Tangan dan kakinya bolak-balik dari meja bahan makanan ke penggorengan, hingga ke meja pemesan. Sementara mulut dan otaknya sibuk bekerja mengiyakan pesanan dari pelanggan yang baru datang.
foto: dokumen pribadi
Perpaduan kerja fisik dan otak seperti tukang pecel lele juga bisa diaplikasikan dan berujung manfaat. Frédéric Gros dalam bukunya “The Philosophy of Walking” mengatakan kalau dengan berjalan dan bertemu banyak orang otak kita akan semakin moncer. Fisik kita bergerak dengan berjalan, otak kita pun bekerja dengan menyapa banyak orang.
Karena itulah banyak yang menyarankan untuk aktif berorganisasi. Ikut organisasi untuk pengalaman bukan bualan belaka. Di sana kita bertemu berbagai karakteristik orang. Di sana pula ide-ide brilian lahir. Minimal kita jadi tau cara menghadapi orang yang menyebalkannya minta ampun.
ADVERTISEMENT
Ketika ide muncul, otak otomatis memproses sebagai sebuah informasi/pelajaran baru. Dan pelajaran tersebut juga bisa menghasilkan keahlian baru. Karena kehidupan terus berputar. Kita tak bisa menebak esok hari kita akan mengerjakan apa saja.
Ketika kita belajar mengangkat galon air, suatu saat akan berguna ketika atasan meminta mengganti galon di kantornya yang sedang penuh dengan tamu-tamu penting. Jika para tamu kehausan, boleh jadi kesepakatan bernilai triliunan rupiah gagal terwujud.
Ketika kita belajar memaku, mengebor, mengelas, dan segala kerja tukang, ini bermanfaat ketika badai baru saja menimpa kediaman kita. Atap-atap yang berterbangan harus segera diganti jika tak ingin kehujanan. Sementara para tetangga juga sibuk melakukan hal yang sama. Ketimbang menyewa hotel jutaan rupiah untuk menunggu perbaikan oleh tukang harian selama seminggu, lebih baik diperbaiki sendiri.
ADVERTISEMENT
Ide bukan kekuatan magis yang diinginkan segelintir orang, yang diperoleh dengan cara puasa seminggu full atau betapa di gua berbulan-bulan. Ia ada di jalanan. Ia mudah ditemui ketika kita berangkat kerja atau sekolah. Ia ada di berbagai sudut kota. Terkadang dengan hasil sebuah gambar berisi pesan yang membuat kebakaran jenggot para petinggi negeri.
Seorang teman kantor berkata, “selama antum di sini, pake, cobain aja yang ada,” ketika saya memiliki ide untuk mencoba mobil pimpinan yang sedang ia kendarai. Hitung-hitung melancarkan. Saya yakin, ide kecil tersebut akan menghasilkan skill yang berguna suatu saat nanti.