Konten dari Pengguna

Pekerja yang Hilang

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
5 Januari 2021 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
foto: metro.tempo.co
zoom-in-whitePerbesar
foto: metro.tempo.co
#Cerpen
“Hati-hati, pintu akan ditutup...”
Tak seperti biasanya, pagi ini begitu sepi. “Kemana para pekerja ini?” batinku. Seolah tak peduli dengan keadaan, aku terus melaju, meskti tak melangkah dalam arti sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Di sudut ruangan, kakek bertopi golf asyik dengan Walkmannya. Setelannya cocok dengan jidat yang mulai mengkerut. Barang 3 kursi disampingnya, seorang anak tengah asyik bermain robot-robotan bersama ibunya. Dihadapannya duduk lelaki berkaus yang hampir terlelap.
Aku terus saja memperhatikan sekelilingku. Kiranya ada yang aneh, tapi aku tak sadar kalau aku pun ada dalam keanehan itu.
Ruangan yang terus melaju ini biasanya sumuk, sumpek, berdesakan tak karuan. Ekspresi muka beremosi, bahagia dan murka, ada didalamnya. Lagi-lagi, aku masih tak sadar keadaan. Seolah kakiku mematung, entah kemana raga ini akan berujung.
Ingatanku berkeliaran kala melihat wajah para penumpang. Sang anak tampak cerah, matahari bergelayut disekelilingnya. Bapak yang terlelap di hadapan anak itu terlihat keletihan. Oh, padahal ini masih pagi, loh. Awan hitam terus mengikutinya.
ADVERTISEMENT
Hai kakek bertopi golf, sungguh, aku penasaran dengan keadaanmu sekarang. Apa rasanya menikmati hidup? Hingga kau tampak punya dunia sendiri. Wajahmu bersih seakan beban hidup terangkat. Dan terkadang akupun memikirkan masa depan.
Tiba-tiba kami berhenti. Pemberhentian yang tak direncanakan. Pemberhentian yang aku pun tak memprediksi. Tak ada dalam papan pengumuman. Oh iya, tampaknya aku terlalu lama memperhatikan sekeliling hingga aku lupa ini pemberhentian ketiga.
“Loh, kemana para pekerja itu?” pikirku lagi.
Tak ada yang masuk. Tak ada mimik terburu-buru itu. Tapi, mereka digantikan oleh beberapa orang, yang tampak sama. Mau apa mereka? Apa gerangan yang terjadi pada pekerja itu?
Semerbak keriuhan di luar mulai tercium. Bau kebisingan. Semakin dekat orang-orang yang tampak sama itu, semakin kencang derau keriuhan tadi.
ADVERTISEMENT
“Angkat tangan.”
“Loh, kenapa?”
Aku masih tak paham apa mau mereka.
“Kami perintahkan untuk segera keluar dari wilayah ini.”
Aku heran. Apa yang ada dalam pikiran mereka?
“Pak, saya gak bisa seenaknya memberhentikan gerbong ini. Lagian, saya juga belum sampai tujuan. Sebetulnya sebentar lagi, tapi ini bukan tujuan saya. Kenapa, sih?”
Kulihat kembali sekelilingku. Si anak dan ibunya makin memojok. Bapak yang keletihan itu melonjak, heran dan kaget. Sementara si kakek, ah siapa juga yang mau merusak dunianya?
Semakin dalam aku pandangi si kakek, semakin aku sadar. Oh, selama ini dia memakai topeng!
“Kalau kamu tak mau keluar dari wilayah ini, baiklah, ikut saja dengan mereka,” sambil menunjuk ke sumber keriuhan tadi, dengan ujung laras panjangnya.
ADVERTISEMENT
“Hei pak. Saya bilang saya belum sampai tujuan. Bapak ini kenapa, sih?”
“Kamu mau ke mana?”
“Pak, ada apa sih?”
“Kamu lihat di sana? Semua orang menuju ke tempat itu. Barangkali 100 orang kami gagalkan untuk tidak bergabung. Riuh, ramai, bising, hampir anarkis.”
“Loh, pak. Apa bapak kira semua orang akan ke sana? Saya butuh makan pak. Saya mau kerja.”
Mendengar keluhanku, bukannya dilepaskan, sedetik kemudian tanganku telah ditali. Aku masih belum paham.
Aku masih memperhatikan sekelilingku. Anak tadi, ibunya, bapak didepannya dan si kakek...
Ambruklah aku di ruangan sebelah gerbong ini. Desir kereta kalah dengan umpatan dan keluhan. Sesekali aku mendengar, “Pak tolong lah....”
“Dik...” kata kakek itu. Terkejutlah diri ini tetiba si kakek ada di sebelahku.
ADVERTISEMENT
“Coba perhatikan lagi sekitarmu,” pintanya.
Seperti kataku, gerbong ini sepi. Sesekali aku hanya mendengar keluhan, “Pak, kami mau makan...”
Loh, memang apa salahnya kalau mau makan? Tapi seorang pemuda langsung menimpali. “Ah, betapa malangnya kami. Suka tidak suka, ikut tidak ikut bersuara, kami hanyalah pekerja. Ya tuhan, lalu untuk apa niat kami beribadah kalau akhirnya hak kami disama ratakan? Akankah engkau juga berbuat demikian?”
Sang kakek segera menurunkan topengnya. “Dik, topeng ini lambang kelemahan. Kita terpaksa memakainya karena kita juga diperintah. Dengan ini kita akan aman. Kamu mau tau cara kerjanya?”
Demi tuhan, aku tak paham semua ini. “Bagaimana, kek?” lirihku pelan.
“Pakai terus topeng ini dan buat duniamu sendiri. Tapi ingat, jangan ganggu dunia mereka,” ucapnya berbisik, karena kepala kami sejajar dengan tapak kaki orang-orang yang tampak sama tadi.
ADVERTISEMENT
Aku terus mendengar teriakan. Tapi perhatianku tertuju pada 3 manusia yang sedari tadi bersamaku di gerbong sebelah.
Sebelum naik tadi, si ibu bilang pada sang anak, “Nak, nanti jangan nakal ya, pegang terus tangan ibu. Kita beli ikan, sayur sama telur.”
Dan si bapak yang tampak letih tadi, ternyata bukan tampaknya saja, itu asli. Tergopoh-gopoh dia masuk ke gerbong. Setelah terlelap, ragaku ikut masuk dalam mimpinya.
“Ayolah, cepat sampai,” batin bapak itu sambil terus melangkahkan kakinya.
“Hey, jangan lari. Kau akan terpisah atau kau akan dipisahkan mereka yang berseragam,” ujar temannya. Temannya yang bergabung dalam perkumpulan. Yang membuat kebisingan di depan gedung sang jendral.
“Ah, andai saja dia mengikuti apa kata temannya. Tak akan dia bernasib sama sepertiku,” ujarku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Aku tersadar dari lamunanku. Samar-samar aku mendengar pekikan, “Keluarkan hak kami. Jangan halangi. Kami mau makan!!!”
Ya, suara itu. Pekikan teman bapak yang keletihan tadi. Aku baru menyadari kalau suaranya sama seperti kami di sini. Nasibnya pun sama, mau makan tapi ditahan. Setidaknya sampai aku tahu kalau ia bersama kumpulan pekerja yang hilang itu.
Sejurus kemudian suara ledakan meletus, memekakkan telinga…