Standar Ganda dan Akal Bulus Bangsa Barat, Berkaca dari Kasus Idrissa Gueye

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
Konten dari Pengguna
21 Mei 2022 12:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan gelap dan berliku dalam kebebasan HAM. Foto: pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Jalan gelap dan berliku dalam kebebasan HAM. Foto: pribadi
ADVERTISEMENT
Barat itu memang licik. Sejarah mencatat bagaimana masa kelam Eropa yang penuh tabiat rimba. Perseteruan gereja dengan cendekiawan pun dituntaskan dengan pemenggalan kepala.
ADVERTISEMENT
Belum lagi riwayat penjajahan oleh bangsa mereka yang memanfaatkan kemunduran bangsa lain. Itupun sebab akal bulus para teolog dan ilmuwan barat masa lalu. Kebobrokan bangsa mereka dibentangkan pada bangsa lain, lalu menawarkan sebuah solusi yang disebut selaras dengan nalar manusia.
Nalar yang dimaksud menyesuaikan kondisi yang ada. Kondisi kebobrokan mereka dijadikan gambaran realita dunia. Bangsa lain yang sedang menikmati hidup akhirnya terjerumus sebab mereka sendiri tak punya cukup kuat landasan dan pengaruh untuk mengcounter pemikir-pemikir barat itu.
Bangsa Negro yang menghuni Benua Amerika tersingkir. Ironisnya, Amerika Serikat yang sebagian besar penduduknya bukan penghuni asli daratan tersebut justru disebut negara adidaya dan menjadi kiblat dunia. Karena bagi mereka menguasai dunia artinya menguasai bangsa lain pula. Dengan begitu segala cara dihalalkan.
Barat bahkan lebih menyeramkan dari tokoh wayang paling seram. Foto: pribadi.
Maka kalau sekarang barat menjadi tolak ukur kebebasan HAM, jangan kaget jika dalam praktiknya kebebasan yang dimaksud adalah sesuai kehendak mereka.
ADVERTISEMENT
Standar ganda bukan hal yang aneh. Idrissa Gueye yang bereaksi sesuai dengan keyakinannya (Islam) pun dianggap menolak eksistensi HAM. Padahal kebebasan berpendapat sesuai keyakinan sendiri dijamin HAM.
Lalu uang, senjata, dan kekuasaan yang menjadi tuhannya. Jika Gueye benar-benar dihukum karena tindakannya, itu sebab apa yang ia lakukan mengancam pemasukan Liga Prancis yang notabene banyak disokong duit dari Timur Tengah (yang mayoritas berkeyakinan sama dengan Gueye).
Ingat, aset PSG (klub terkaya Liga Prancis dan salah satu klub terkaya dunia, juga klub Gueye sendiri) jika digabungkan bisa menjalankan satu musim kompetisi Liga Prancis dengan biaya akomodasi setiap tim ditanggung olehnya. Dan pemiliknya ialah Nasser Al-Khelaifi, seorang konglomerat asal Timur Tengah, tepatnya Qatar.
Muslim pun terpecah karena sikap Gueye. Lagi-lagi barat tertawa. Foto: pribadi.
Kemudian uang dan kekuasaan menjadi pintu negosiasi antara Prancis dan Timur Tengah agar kampanye yang sedang mereka gaungkan tidak diganggu oleh para investor tersebut. Dalih HAM kembali dimainkan dalam negosiasi ini (hal ini mudah dimenangkan barat sebab Timur Tengah sendiri sudah terkontaminasi liberalisme). Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan agar sang investor bungkam.
ADVERTISEMENT
Namun, jika Timur Tengah bereaksi mendukung tindakan Gueye, skema lain terpampang di atas meja. Seluruh investasi digagalkan. Bayangkan, mereka rela miliaran poundsterling melayang. Jika masih terus mengintervensi, tak kurang seratus tank dan panser akan dikerahkan. Sekali lagi, segala cara dihalalkan untuk mempermulus misi mereka.
Liberalisme dalam kampanye LGBT ini memang berujung pada sikap kapitalisme masyarakat yang materialistis. Dalih “suka-suka gue, hidup-hidup gue” itu dimanfaatkan menjadi keuntungan sebab sifat tersebut pun akan mati jikalau mereka tak punya uang.
Konsep zuhud dalam islam maupun hidup sederhana yang dicanangkan tiap agama tak lagi berlaku. Sifat materialistis, kapitalis dalam bungkus liberalisme ini berakar dari pluralisme ala cendekiawan yang bertentangan dengan gereja terdahulu.
Berawal dari pemelintiran kitab suci dalam beberapa perjanjian. Ajaran gereja ini dinilai para cendekiawan yang menyebabkan bangsa barat tidak pernah maju. Karena itu, banyak konsep beragama dari gereja yang ditentang oleh mereka, yang sekarang dikenal dengan pluralisme.
Seluruh produk barat kini menjadi kiblat. Foto: pribadi.
Sayangnya, gereja pun tak punya cukup petinggi agama yang mampu menyebarkan dan mempertahankan ajaran asli. Mereka sudah kalah dengan ajaran baru, ditambah kalah pula dengan paham pluralisme agama yang dicanangkan para petinggi dunia dengan moncong cendekiawan.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi multiple-triliyuner macam Elon Musk dan sekutunya yang dimenangkan. Para domba yang berlindung di balik organisasi dunia kenyang dan uncang-uncang kaki. Para aktivis LGBT yang sejatinya buruh potong rumput menikmati kehidupan serba bebas dengan uang lepehan tuan-tuannya. Sementara idealisme, apa pun kendaraannya, matilah sudah.