Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Tumpang Tindih Aturan: Yang di Atas Kena Ombak, di Bawah Ketindih, Mati!
3 Juli 2021 12:55 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:47 WIB
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pembatasan Sosial Berskala Kecil dan Mikro (PPKM) Darurat, hari ini, 3 Juli 2021, resmi berlaku. Ini adalah aturan pembatasan kesekian kalinya yang diterapkan. Target Pak-pres di bulan Agustus distribusi vaksin sudah merata kini berubah menjadi target satu tahun satu juta vaksin.
ADVERTISEMENT
Itulah uraian ringkas aturan yang berubah bertahap disesuaikan dengan kondisi. Kondisi yang berorientasi pada masa kini. Targetnya juga sudah jelas. Tapi yang sudah-sudah, kenapa justru makin parah?
Belum lama aparat mengancam akan mempidanakan para pelanggar PPKM jilid ini dengan Undang-Undang Wabah. UU yang dibuat berdasarkan Reaction Rules oleh pembuat kebijakan. Apa sejak awal pandemi aturan ini dipertimbangkan untuk dibuat? Kita semua tahu jawabannya.
Dua tahun bukan waktu sebentar buat rakyat. Selama itu mereka harus beraktivitas di bawah ancaman buta. Selama itu pula mereka serba salah antara ikut aturan atau bertahan hidup.
Yang kita tahu, sejak awal pandemi negeri ini tidak mau mengkarantina negaranya. Impor manusia justru makin kencang. Mirisnya, para imigran itu berasal dari negara asal wabah.
ADVERTISEMENT
Wabah makin kencang, aturan baru dibuat. Dirasa gagal, Menkes Terawan diganti, Satgas dibentuk. Aturan PSBB keluar. Tim gabungan dibentuk, termasuk dari BIN dan BNPB. Hasilnya, lonjakan kasus makin gawat.
Dilema hadir, ekonomi tak berputar. Aturan baru pun disusun. Keluarlah istilah PPKM itu. Pusat ekonomi, mal, cafe, tempat keramaian, boleh beroperasi dengan protokol kesehatan yang begitu-begitu saja. Hasilnya, makin menjadi.
Masyarakat mulai tak peduli. Lonjakan kasus makin tinggi. Pembuat aturan mengeluarkan dekritnya. Mengancam warganya yang tak patuh dengan pidana dan denda. Tapi apa daya, mereka juga mau hidup.
Pembuat aturan mengendorkan aturan karena dinilai tak efektif. Mereka mengizinkan seluruh kegiatan ekonomi. Hanya sesekali menegur jika terlalu banyak kerumunan. Hasilnya kita sudah tau, terbitlah pembatasan kesekian kalinya ini.
ADVERTISEMENT
Yang disalahkan masyarakat. Padahal ada pejabat yang habis perjalanan dinas malah ikut rapat. Mirisnya lagi, justru karena pejabat itu barulah dibuat aturan (lagi). Pidana mengancam lagi. Denda makin besar. Tapi ancaman kematian justru makin dekat.
Padahal, mau aturan dan penerapan protokol yang bagaimanapun, ini susah dikendalikan. Masyarakat sudah terlalu banyak sumber informasi yang dijadikan rujukan sekadar untuk mereka bertahan hidup di tengah pandemi.
Lalu apa lagi? Siklus akan terus berulang. Aturan satu muncul, berusaha menahan terjangan ombak wabah, sementara aturan sebelumnya mati. Akhirnya, aturan baru juga tak kuat menahan ombak. Tanggul aturan tidak kuat karena fondasi Reaction Rules tadi, bukan analisa jangka panjang pra-present-pasca wabah.
Mari berandai jika negeri ini mau menekan ego dengan mengisolasi diri barang satu atau dua bulan di awal pandemi, yang harusnya ini sudah jadi program rencana Kemenkes, BIN, BNPB, dan lembaga terkait sejak awal mereka dilantik.
ADVERTISEMENT
Atau mari sejenak menjadi ekstremis pemberi saran dengan mengajukan pemisahan antara rakyat yang terinfeksi, berpotensi berat dan ringan terinfeksi, serta yang aman dari serangan wabah. Tiap daerah dibagi tiga bagian untuk masing-masing kategori. Peduli setan dengan keluarga, yang penting mereka selamat!