Konten dari Pengguna

Walau Bagaimanapun, di Mata Ibu Kita Adalah Anak Kecil

Fakhri Adzhar
Writer @pesantrendaqu
14 Juli 2021 10:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhri Adzhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Kesuksesan seorang suami bisa dilihat dari sosok istrinya. Sebagai pemimpin rumah tangga, jika ia berhasil menerapkan misinya pada sang istri, bisa ditasbihkan bahwa dirinya berhasil.
ADVERTISEMENT
Begitu yang ibu kami ajarkan pada anak-anaknya. Ia mengakui bahwa karirnya di dunia tak lepas dari peran ayah kami. Sampai saat ajal memisahkan keduanya.
Usianya tak lagi muda. Ketiga anaknya, alhamdulillah, sudah berpenghasilan, meski si bontot belum lulus tingkat kuliah. Namun, dalam keadaan demikian, ibu masih memperlakukan kami as a kid, seperti anak kecil.
Ia mulai dengan membuka toko. “Yang penting mamah, mah, mau jualan,” katanya. Kami bisa menerka lebih jauh dari sorot matanya. Nun jauh dari tujuannya itu, ia masih ingin menafkahi anaknya.
Dalam bisnis, ia harus menghadapi benturan antara prinsip dengan niat tulusnya. Tak patah arang, ia terus mengupayakan agar keduanya bisa berjalan. Hasilnya, sistem penjualan yang bertolak dengan prinsipnya itu pun bisa diakali dengan nego yang jitu.
ADVERTISEMENT
Sampai sini, tiga sikap tersebut juga hasil didikan sang suami; ulet, berprinsip, dan negosiator ulung. Tentu juga didasari background seperti keturunan dan pendidikan. Namun, aplikasinya, hampir semua ayah kami yang mencontohkan.
Kaki ibu kami sudah tak kuat berjalan lama. Ibu juga punya beberapa penyakit dalam bawaan seperti masalah pada livernya. Ibu juga pernah mengidap kista dan radang usus buntu di mana proses operasinya dilakukan bersamaan.
Pada kondisi seperti itu, ia masih merelakan naik motor untuk membeli sayuran saat anaknya asyik bekerja. Tanpa sadar, seusai bekerja berbagai masakan sudah dihidangkan. Meski kita tau, memasak juga butuh waktu berdiri yang cukup lama.
Perhatiannya pada si bontot juga mengenyuhkan. Ujian review skripsi yang akan ditempuh si bontot mengharuskannya memakai pakaian rapi; kemeja, jas, celana panjang hitam, serta pantofel.
ADVERTISEMENT
Satu per satu perlengkapan itu diabsen oleh ibu kami. Ketika ia tahu si bontot belum punya pantofel, ia pun memesankannya dari toko terdekat tempat sekolah adik kami itu. Sambal sedikit khawatir, ibu kami bertanya, “kalau yang kayak gini boleh ga, ya?”
Sedetail itu kekhawatirannya. Seperti yang dibilang di awal, ia masih memperlakukan kami seperti anak kecil. Begitu juga pada anak sulungnya yang bahkan sudah berumah tangga.
Tak segan-segan ia membelikan beberapa peralatan untuk cucu pertamanya yang baru lahir. Ia rela ikut begadang, bergantian posisi dengan kakak kami. Padahal kakak kami pun tak meminta, apalagi memaksa.
Kala si bayi rewel dan ga berhenti nangis, ibu kami ikut cemas. Ia lalu menghubungi ibunya, yaitu nenek kami, untuk mencari tahu penyebab si bayi rewel, tetap dengan rasa cemas yang kian tergambar.
ADVERTISEMENT
Dengan mimik iba yang tinggi, ia juga berkata, “mamah udah gabisa ngurut, jadi gabisa ngurut si dedek.” Meskipun sekarang sudah banyak jasa urut bayi, ia tetap mengupayakan dirinya sendiri yang membantu.
Begitulah ibu kami. Bagaimana pendidikan dan kelembutan seorang wanita bertemu dengan sandaran yang nyaman, ayah kami. Kenyamanan itu yang memudahkan ayah menjalankan visi misinya dalam berkeluarga. Jadilah rumah kecil namun indan nan asri: keluarga kami.
Kini, jika melihat ketidakpantasan yang dilakukan anak keturunannya, percayalah, itu bukan ulah kedua orang tua kami. Kami juga manusia yang punya rasa penasaran pada berbagai sendi kehidupan.
Kadang kala, terjermusnya kami pada rasa penasaran itu ada pada hal yang tidak tepat. Kami pun akan kembali ke pangkuan ibu dan ke pusara ayah, meminta maaf pada mereka, dan memohon ampun pada yang Maha Kuasa.
ADVERTISEMENT