Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Aksi Kamisan: 15 Tahun Keadilan Korban Digadaikan
21 Januari 2022 17:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fakhris Lutfianto Hapsoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap Kamis, keluarga korban pelanggaran HAM berat serta masyarakat sipil yang mendukung penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melakukan aksi damai dengan berdiri dengan pakaian hitam dan payung hitam di depan Istana Negara. Aksi tersebut biasanya diisi dengan aksi diam sembari membuka payung hitam yang bertuliskan tuntutan-tuntutan kepada negara untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Setelah aksi diam tersebut dilakukan beberapa menit, aksi dilanjutkan dengan melakukan refleksi terhadap sikap negara yang kerap mengabaikan prinsip-prinsip HAM.
ADVERTISEMENT
Tepat pada tanggal 18 Januari 2022, aksi damai tersebut sudah berlangsung 15 tahun. Sudah 15 tahun, di setiap Kamis para keluarga korban berdiri menanti keadilan dari negara. Sudah 15 tahun, keadilan korban digadaikan. Pertanyaannya, apakah dengan aksi di depan Istana Negara pada setiap Kamis sepanjang 15 tahun ini sudah menyentuh hati nurani Presiden untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat?
Resistensi Negara Terhadap Massa Aksi
Alih-alih negara memberikan keadilan kepada para korban dan keluarganya, negara justru bersikap resisten terhadap aksi kamisan. Ada dua contoh sikap resisten negara terhadap aksi kamisan ditemukan pada peringatan 15 tahun aksi kamisan, yaitu pertama, negara melalui aparat kepolisian mempersulit massa aksi untuk membawa dan menggunakan pengeras suara di lapangan aksi. Penghalangan yang dilakukan oleh aparat tersebut menjadi hal yang diperdebatkan ketika peringatan 15 tahun aksi kamisan hendak dimulai. Pihak kepolisian beralasan bahwa lokasi aksi merupakan area Ring 1 dimana tidak boleh menggunakan pengeras suara. Dalam perdebatan tersebut, sebenarnya pihak kepolisian kalah debat dengan pegiat kamisan karena ketika pegiat kamisan mempertanyakan apa dasar hukum yang tidak membolehkan massa aksi membawa dan menggunakan pengeras suara, pihak kepolisian tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Meskipun begitu, pihak kepolisian tetap menyita alat pengeras suara agar tidak digunakan oleh massa aksi di peringatan 15 tahun aksi kamisan. Hal ini membuat pegiat kamisan lelah. Lelah bukan karena harus membawa perlengkapan atau mengatur massa aksi, melainkan lelah menghadapi pihak kepolisian yang tidak mampu berargumentasi dengan baik. Geram dengan sikap kepolisian, keluarga korban akhirnya memutuskan untuk tetap melakukan peringatan 15 tahun aksi kamisan meskipun tidak menggunakan pengeras suara.
ADVERTISEMENT
Sikap resisten yang kedua adalah ketika jam aksi belum selesai, aparat kepolisian sibuk mengganggu jalannya aksi. Padahal, jika aksi dimulai sesuai jadwal semula tanpa adanya perdebatan terkait pengeras suara, aksi dapat berjalan lebih cepat. Ironisnya, ketika mengusir massa aksi, pihak kepolisian menggunakan pengeras suara yang justru lebih kencang suaranya. Padahal, sebelumnya pihak kepolisian melarang penggunaan pengeras suara di lokasi aksi karena lokasi tersebut merupakan area Ring 1.
Lip Service Presiden
Selain sikap resisten negara yang ditemukan langsung di hadapan massa aksi, sikap pengabaian negara akan adanya kasus-kasus pelanggaran HAM berat kerap tercermin dalam tindakan Presiden Jokowi dalam mengangkat para (terduga) pelanggar HAM berat menjadi pejabat strategis di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, hal ini sudah dapat diprediksi ketika di awal periode pertama pemerintahan Jokowi di mana Hendropriyono berperan sebagai tim sukses Jokowi-Jusuf Kalla dalam kontestasi Pilpres 2014.
Kemudian setelah terpilih sebagai Presiden di periode pertama, Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menkopolhukam. Mengulangi kesalahan yang sama, pada periode kedua, Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Para (terduga) pelanggar HAM lainnya yang menduduki jabatan strategis, yaitu Djaka Budhi Utama sebagai Deputi Bidang Koordinasi Dalam Negeri Kemenkopolhukam, Dadang Hendrayudha, sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kementerian Pertahanan, dan Untung Budiharto yang baru saja resmi menjabat sebagai Pangdam Jaya.
Presiden juga mengacuhkan korban pelanggaran HAM berat di Timor Leste dengan memberikan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres, Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi dan Komandan milisi Aitarak, yang diduga terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor-Timur, karena Guterres menjadi pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca referendum provinsi Timor-Timur.
ADVERTISEMENT
Tindakan-tindakan Presiden di atas menunjukkan nihilnya perwujudan komitmen Presiden dalam penuntasan pelanggaran HAM berat. Padahal, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu adalah salah satu isu utama yang diusung oleh Presiden Jokowi dalam momen Pilpres dengan mengusung janji kampanye dan program kerja yang dirajut dalam Nawacita.
Denial dan Arogansi Negara
Salah dua inisiator dari aksi kamisan adalah Bu Sumarsih, Ibu dari Wawan, Korban Tragedi Semanggi I dan Mbak Suci, Istri dari Cak Munir. Alih-alih negara menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh Wawan dan Cak Munir, negara malah bersikap denial dan arogan terhadap kasus-kasus tersebut.
Sikap denial dan arogansi negara yang diterima oleh keluarga Wawan, yakni Bu Sumarsih adalah sikap denial yang diberikan oleh Jaksa Agung dalam hal ini berwenang sebagai Penyidik Pelanggaran HAM berat. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI menyebutkan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Merespon hal tersebut, keluarga korban dan Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II mengajukan gugatan ke PTUN. Gugatan tersebut dimenangkan oleh keluarga korban dan koalisi, dimana hasil putusan PTUN tersebut memutuskan bahwa pernyataan Jaksa Agung yang mengatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melawan hukum. Akan tetapi, Jaksa Agung tetap bersikap denial dan malah mengajukan upaya hukum lanjutan, yaitu banding. Pada tahap banding, permohonan banding Jaksa Agung dikabulkan oleh PT TUN. Tidak sependapat dengan hasil putusan banding tersebut, keluarga korban dan koalisi mengajukan upaya hukum yang lebih tinggi, yaitu kasasi. Sayangnya, permohonan kasasi ini ditolak oleh Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Sikap denial dan arogansi negara juga diterima oleh Mbak Suci, Istri Cak Munir, dapat dilihat dengan lambatnya penetapan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Memang, penyelesaian kasus Munir sudah diselesaikan secara pidana biasa. Namun, yang terbongkar di pengadilan hanya aktor lapangannya saja, bukan aktor intelektualnya. Sehingga masih perlu diusut siapa dalang penyebab kematian Munir. Lambatnya penetapan kasus Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat ini masih terhambat di Komnas HAM hingga saat ini, padahal tahun ini kasus Munir sudah kedaluwarsa menurut KUHP. Jika tidak segera ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat, maka kasus Munir tidak akan ditindaklanjuti dan keluarga Cak Munir serta kita semua tidak mengetahui secara pasti siapa aktor intelektual dibalik pembunuhan Munir.
ADVERTISEMENT