Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Haji, Anjing, dan Revolusi
5 Februari 2017 1:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Fakhrizal Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1816 hingga 1819 Eropa melewati tahun-tahun tanpa musim panas. Salju terus-menerus turun berwarna cokelat pekat bercampur debu. Di Jenewa, Swiss hujan lebat disertai angin terus menerus meluluh lantakan pertanian. London, Inggris terjadi kericuhan dan wabah Kolera. Amerika Serikat juga dilanda krisis pangan karena suhu di negara tersebut sangat dingin. Migrasi secara besar-besaran terjadi.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama gereja dan penjara penuh sesak. Orang-orang berfikir bahwa saat itu zaman telah berada dalam takdir terakhirnya. Gereja bertugas berdoa agar ‘manusia generasi terakhir’ dapat dimudahkan ketika menemui ajalnya. Seorang Pastor dari Belanda, Hubbert Borret mengisahkan bagaimana manusia mencari pertolongan di tengah kekacauan dan krisis yang terjadi.
Di tengah tanah Amerika yang terus mendingin, bahkan tahun-tahun itu di juluki sebagai eighteen hundred and froze to death. Warga Amerika berduyun untuk mencari tempat yang lebih hangat. Akibat migrasi secara besar-besaran tersebut, menjadi faktor utama terbentuknya negara-negara baru seperti Ohio, Illinois, dan Iowa.
Perubahan iklim ekstrim, kekerasan, krisis pangan, dan terbentuknya negara bagian baru di Amerika dan Eropa disinyalir sebagai dampak dari meletusnya Gunung Tambora di Sumbawa. Gunung yang menyisakan tinggi 2.851 meter tersebut adalah gong bagi peradaban di dunia. Bahkan di Bern Swiss, diadakan International Converence on Volcanoes, Climate and Society, Bictenary of Great Tambora Eruption. Tambora menjadi sala satu hal yang paling serius karena telah membawa manusia kepada titik refleksi dan pembaruan peradaban manusia.
ADVERTISEMENT
Cerita mengenai meletusnya Gunung Tambora termaktub di manuskrip kuno yang tersmpan di Museum Samparaja Kota Bima. Manuskrip berbahasa arab dan melayu kuno itu mengisahkan tentang meletusnya Gunung Tambora. Pada sajak “Alamat Pecah Gunug Tambora 1230”. Penggalan sajak itu berbunyi “berkat Iradat Allah, ...Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam.”
Selain manuskrip tersebut, beberapa buku juga menceritakan terjadinya penyebab meletusnya gunung Tambora. Dua diantaranya adalah buku dari Philppus Pieter Roorda Van Eysinga berjudul Handboek der Land-en Volkunde, Geschied Taal Aardijks- en Staatkunde van Nederlandsh Indie Volume II cetakan pertama terbit tahun 1841. Lalu ada karangan Muslimin Hamzah yang terdeskripsikan pada di Ensklopedia Bima tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Jika di tarik benang merah dari sumber-sumber tersebut. Cerita lokal mengenai Tambora tidak bisa dilepaskan dari peran seorang Haji keturunan Arab dan seekor anjing. Dalam cerita Van Eysinga, seorang Haji bernama Said disuguhkan masakan berbahan daging anjing oleh Sultan. Lalu, Said terbunuh di atas gunung Tambora. Setelah kematian Said, Tambora meletus, apinya mengejar pembunuh ke segala arah.
Lain, dengan Muslimin Hamzah yang bercerita mengenai Syekh Saleh Al-Bagdadi yang berdakwah di tengah masyarakat Tambora. Kedatangan Syekh Saleh disambut baik oleh warga. Sampai suatau saat Syeh ditawari jamuan makan malam. Sehabis makan dengan lahap, Syekh Saleh ditanyai oleh warga tentang masakan yang habis dilahapnya. Syekh memanjatkan pujiannya terhadap Tuhan sambil memuji lezatnya makanan. Ternyata warga menipu karena masakan yang dihidangkan adalah daging anjing. Syekh Terkejut dan marah, lantas pergi ke barat arah pesisir kerajaan Dompu. Lalu terjadilah letusan gunung yang menggetarkan sepertiga badan seorang Gubernur Batavia bernama Sir Thomas Stamrofd Bingley.
ADVERTISEMENT
Cerita tersebut seakan menarik kesimpulan adanya ras yang diunggulkan, yakni keturunan Arab. Seolah ras tersebut paling dekat dan memiliki hubungan emosional tersendiri dengan Tuhan. Tertipu dengan hidangan bisa menjadikan kekacauan di mana-mana. Tidak saja di Tambora tetapi berdampak luar biasa secara Global. Selain berdampak pada perubahan sosial dan iklim di dunia. Tambora memberikan sumbangsih terhadap pengaruh sastra di Eropa. Setidaknya Mary Shelley menulis buku Frankestein, Bram Stroker Menulis Buku Dracula, dan Jhon Polidori menulis cerita pendek berjudul Vampyre. Marry Sheley menuliskan dalam bukunya bahwa Eropa saat itu seperti “kertas berselimutkan api’’ segalanya jadi abu dan layu. Begitupun dengan lukisan karya Caspar David Friedrich. Di mana warna awan selalu gelap pada lukisannya.
ADVERTISEMENT
Hari ini di Indonesia, hampir mengulang cerita serupa dengan kisah penyebab Tambora meletus. Beberapa mempunyai kemiripan seperti hidangan yang dalam Al-Qur,an menjadi nama salah satu surat yakni Al-Maidah, Tokoh Keturunan Arab dan Sultan. Menyoal Hidangan (Al-Maidah) yang seharusnya menjadi makanan (ranah) para ulama namun secara tidak sengaja tercicipi oleh sang Sultan (Gubernur). hingga saat ini Doa dan makian sampai hari ini terus dipanjatkan untuk menjerat sang Sultan. Salah seorang tokoh bertitel Haji dari faksi arab juga sedang banyak dicibir. Bedanya, Ketika tokoh Haji yang diceritakan oleh Van Eysinga dan Muslimin Hamzah sama-sama tertipu, namun bereasksi dengan memanjatkan doa. Tapi Haji keturunan arab versi ini lebih banyak menduga, melapor, Serta di laporkan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia hanya tinggal menunggu apakah pelecehan terhadap ras yang memiliki temali emosional dengan Tuhan akan berbuah revolusi? Tetapi kekacauan sosial sudah terjadi di mana-mana. Semoga Bangsa kita tak terbelah hanya karena cibiran dan hidangan. Cukup Haji Said dan Syekh Saleh yang menjadi ‘suksesor’ tidak langsung terciptanya negara-negara bagian di Amerika.