Sudahlah, Kita Langkahi Saja Darwis Triadi

Fakhrizal Haq
Penulis di Ruang Lampu Rtudio I Jouissance: 2022
Konten dari Pengguna
22 Februari 2024 12:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fakhrizal Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fotografer Darwis Triadi memeragakan pemotretan fashion menggunakan kamera handphone di Museum Nasional. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Fotografer Darwis Triadi memeragakan pemotretan fashion menggunakan kamera handphone di Museum Nasional. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di buku berjudul ‘Srengenge; Biografi Darwis Triadi’ yang ditulis oleh Atok Sugiarto, Darwis Triadi dijuluki sebagai mercusuar fotografi Indonesia, bahkan di paragraf lain dalam buku yang sama, Darwis Triadi disebut oleh penulis sebagai matahari dunia fotografi. Sebagai peminat dan pembelajar fotografi, saya mencurigai dua pujian Atok Sugiarto untuk Darwis Triadi. Kecurigaan itu tidak datang secara tiba-tiba pada tempurung kepala saya, melainkan karena si pemberi pujian tidak secara terperinci menguraikan alasan kenapa Darwis Triadi layak disebut mercusuar dan matahari bagai dunia fotografi –setidaknya di Indonesia. Oleh karenanya, saya mencoba melacak secara mandiri alasan-alasan yang menguatkan pujian Atok Sugiarto kepada Darwis Triadi.
ADVERTISEMENT
Setelah membaca beberapa buku serta artikel yang pernah ditulis oleh Darwis, dan dua buku yang mengulas hidup Darwis yang ditulis oleh Atok Sugiarto. Saya berkesimpulan bahwa Darwis hanyalah fotografer narsis. Tak lebih dari itu. Saya akan menguraikan tiga alasan untuk membantah julukan yang diberikan Atok Sugiarto bagi Darwis Triadi.

Datang dari Mana dan Mau ke Mana?

Tak seperti banyak teman sejawat Darwis Triadi yang memulai penjelajahan fotografi dari peristiwa dan jalanan, Darwis mulai menekuni fotografi dari fashion dan beauty photography. Tak aneh jika foto Darwis selalu menampilkan kemolekan rupa dan raga manusia. Darwis memiliki pengalaman mengeksplorasi sisi indah dan kantong uang dari subjek fotonya. Sangat tidak apa-apa menjadi komersil di dunia yang teramat kapitalistik ini. Banyak selebriti, tokoh penting, dan negarawan pernah dipotret oleh Darwis.
ADVERTISEMENT
Jadi, jangan terlalu heran ketika mencari karya Darwis di mesin pencarian internet, banyak menghasilkan foto selebriti dan petinggi negeri. Padahal, Darwis pernah memotret di luar pej, misal foto seorang balita yang menangis di dekap payudara ibunya, potret itu diambil oleh Darwis di pedalaman Papua. Syukur bisa menemui beberapa foto Darwis yang memotret pemandangan alam dan beberapa foto bergaya salon photo bertemakan human interest.
Saya menduga apa yang dikerjakan Darwis Triadi selama ini, karena kekaguman dia pada fotografer asal Inggris, David Hamilton. Darwis mengagumi karya-karya David Hamilton yang menurutnya “menerawang”. Sial bagi pembaca seperti saya, lagi-lagi Atok Sugiarto dan Darwis tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan karya David Hamilton yang menerawang. Hal itu menyulitkan saya untuk membandingkan atau melacak keterpengaruhan karya David Hamilton pada Darwis Triadi.
ADVERTISEMENT
Di beberapa ‘foto cantik’ karya Darwis, penggunaan fokus yang lembut atau menghindari penajaman pada subjek foto, terasa begitu dekat dengan foto-foto yang dikerjakan David Hamilton untuk parfum Nina Ricci di tahun 1960. Lalu apa bedanya? David Hamilton berhasil memberikan wawasan pada penikmat fotonya menyoal Cultural Zeitgeist. Lebih dari itu David Hamilton berhasil mempengaruhi produk budaya dari periklanan pada masa itu. Darwis Triadi berhasil mengadopsi secara teknis, tapi tidak secara capaian.
Saya teringat sebuah wawancara Anton Ismael di laman pophariini.com. Penggagas Kelas Pagi itu mengakui bahwa foto-foto Darwis dalam 'Kembang Setaman' begitu berkesan baginya. Kembang Setaman adalah satu projek Darwis yang memotret 150 perempuan dalam rentang tahun 1990 hingga 1996. Buku itu adalah ungkapan Darwis soal gairah pria dan selebrasi atas kecantikan perempuan. Jika kita beranjak dari wawancara Anton Ismael, mungkin keterpengaruhan Darwis, mulai mungkin untuk diselidiki.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jika foto Darwis hari ini diperbandingkan banyak foto yang berserakan di media sosial, foto-foto Darwis nyaris tak lagi memiliki kekhasan. Sulit membedakan mana foto Darwis dengan foto-foto yang datang dari rumah produksi iklan. Banyak fotografer muda nan profesional yang menawarkan banyak eksplorasi pada pose, ruang, dan aneka medium.
Saya sangat meyakini bakat yang dimiliki fotografer hari ini, bukan karena adanya keterpengaruhan Darwis, melainkan mudahnya akses pada aparatus dan banyak referensi di ruang digital. Jadi siapa yang mempengaruhi dan dipengaruhi? Darwis yang mempengaruhi fotografer muda hari ini atau justru sebaliknya? Atok Sugiarto harus mulai berpikir siapa yang menjadi matahari di antara kami.

Buku dan Tulisan yang Sangat Apa?

Mungkin saya gagal melacak kebaruan atau pencapaian Darwis Triadi hari ini. Sekarang kita lihat bagaimana Darwis membangun wacana fotografi dengan membaca buku dan artikel yang pernah ia tulis. Pada buku Kembang Setaman, Darwis menyuguhkan eksplorasi di luar kamera, Catatan dalam bukunya cukup mampu merepresentasikan pikiran Darwis soal keindahan perempuan. Cukup bukan berarti baik. Di dua buku lainnya Darwis banyak berbicara soal teknis, berbagi cara menghasilkan foto yang impresif dengan memainkan cahaya.
ADVERTISEMENT
Begitu juga artikel fotografi yang ditulis di banyak media cetak, lagi-lagi Darwis hanya berbicara teknis, mulai dari ISO hingga penggunaan lensa. Tak ada jejak pikiran Darwis yang bisa dibaca setelah Kembang Setaman. Teramat disayangkan, Darwis melewati kisah-kisah di setiap wajah yang pernah ia foto. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma, dalam Kisah Mata, “Fotografi bukan hanya instrumen, melainkan sekaligus metode untuk menangkap realitas.”
Saya berharap buku atau artikel yang ditulis oleh Darwis menyamai tulisan fotografer lainnya. Berbicara tafsir visual seperti Taufan Wijaya, membangun wacana seperti Erik Prasetya, Etnografi seperti Don Hasman, atau apa pun itu yang mengandung kedalaman. Jika Darwis terus berbicara soal teknis, menulislah di buku paduan yang selalu ada di paket pembelian kamera dan lensa.
ADVERTISEMENT
Kesungguhan saya mendalami Darwis Triadi tidak terhenti pada artikel dan bukunya, saya juga membaca ulasan mengenai Darwis yang ditulis oleh Atok Sugiarto. Buku pertama kali saya baca adalah berjudul ‘Sejuta Mata’, saat itu saya masih kuliah, sebagai pelajar rantau saya menyisihkan uang untuk membeli buku itu. Awalnya saya cukup puas, karena di bagian pertama buku Sejuta Mata membahas Fine Art, relasi emosi antara fotografer dan model, sisanya hanya berisi motivasi.
Lalu saya membaca buku 'Srengenge; Biografi Darwis Triadi', Alih-alih bisa menemui pergulatan Darwis dengan karyanya, Atok dan Darwis secara kompak berbicara semangat pantang menyerah dan filosofi matahari. Jujur saya kecewa dan masih menyimpan kekesalan. Uang makan saya dihamburkan untuk membeli buku motivasi, dengan harga yang sama, lebih baik beli buku sastra.
ADVERTISEMENT

Darwis Triadi Sebagai Pendiri Akademi dan Pengajar

Selain, membangun ekosistem fotografi melalui kekaryaan, Darwis juga membangun Darwis Triadi School of Photography. Atok Sugiarto boleh menjadikan ini sebagai alasan untuk menguatkan pujian ‘mercusuar fotografi Indonesia’ kepada Darwis. Walaupun sekolah ini adalah bagian dari bisnis Darwis, tetapi membangun lembaga pendidikan tidaklah mudah, harus memiliki kesungguhan dan integritas. Sialnya Moral Darwis Triadi sebagai pendidik dan pembangun sekolah fotografi rubuh setelah kemarin ikut mencemooh Aksi Kamisan. Padahal, Darwis sendiri yang menulis di bukunya bahwa fotografer harus memiliki kepekaan, tapi dia sendiri mengingkari tulisannya.
Saya mengerti, Darwis bukanlah fotografer yang terbiasa berhadapan dengan peristiwa, dia adalah fotografer kemolekan dan kemapanan. Mungkin aneh bagi Darwis melihat ibu-ibu berbaju hitam menuntut keadilan di muka istana setiap kamis sore. Darwis, di saat anda memotret perempuan-perempuan untuk Kembang Setaman, di tahun itu Rezim Orde Baru melakukan banyak kejahatan.
ADVERTISEMENT
Rasanya tak elok bila seorang pengajar minim pengetahuan. Saya sangat yakin bahwa satu pengajar fotografi andal bisa menghasilkan seribu Darwis Triadi dalam satu malam, tapi seribu Darwis Triadi tidak bisa mengembalikan kembali Wawan pada pangkuan Ibu Sumarsih.
Untuk menjadi fotografer tidak cukup bermodal kreativitas, kamera, dan peralatan penunjang paling mutakhir, karena foto tidak hanya hadir pada lapisan keindahan. Penting bagi setiap fotografer menyadari bahwa foto yang dihasilkan memiliki banyak lapisan yang bisa digali untuk menemukan makna dan nilai, seperti apa yang dikatakan Roland Barthes dalam Camera Lucida. Oleh karenanya dalam menganalisa sebuah foto diperlukan pisau bernama semiotika. Mengapa fotografi tidak mudah disederhanakan? Mengutip tulisan Susan Sontag dalam buku On Photography;
ADVERTISEMENT
“All photographs are memento. To take a photograph is to participate in another person's (or thing's) mortality, vulnerability, mutability”
Terakhir untuk menutup artikel ini, saya akan meminjam twit Dandhy Laksono pada 17 Februari 2024, “untuk menjadi tripod aja gak layak,” apalagi jadi mercusuar, bahkan matahari. Artikel ini tidak didasari kebencian pada Darwis Triadi atau Atok Sugiarto, melainkan catatan biasa bagi saya untuk mengingat bahaya laten kultus individu.