Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menilik Kembali Diskriminasi Ujian Nasional
15 Maret 2020 16:42 WIB
Tulisan dari Fakhrizal M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nadiem Makarim, menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia ini hadir di kanal YouTube Deddy Corbuzier beberapa hari lalu. Mereka berdua berbicara banyak tentang persoalan pendidikan di Indonesia. Tentunya sangat menarik melihat dua orang cerdas yang memiliki perhatian terhadap pendidikan ini saling bertukar pikiran.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri cukup tertarik dengan terobosan-terobosan dari menteri pendidikan yang satu ini. Meskipun ia berasal dari latar belakang seorang pengusaha, tetapi memiliki analisis yang cukup mendalam tentang pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan untuk menghapus Ujian Nasional (UN) di sekolah.
Soal penghapusan UN ini juga dibahas oleh mereka berdua. Deddy Corbuzier memulai obrolan itu dengan opininya, “UN itu adalah hal terbodoh yang pernah dilakukan di sekolah.” Nadiem hanya tersenyum, seolah membenarkan apa yang dikatakan Deddy.
Kemudian Deddy menyatakan bahwa UN itu bullshit, karena bagaimana bisa menilai hasil kinerja siswa yang belajar 6 tahun atau 9 tahun hanya dari menjawab pertanyaan UN. Jujur saja, saya sangat setuju dengan statement ini.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Deddy itu seolah mengingatkan saya pada beberapa tahun lalu, ketika masih duduk di bangku SMP dan SMA. Ketika UN menjadi suatu hal yang menakutkan karena menjadi satu-satunya indikator kelulusan. Bayangkan saja, sekolah harus menyediakan waktu khusus untuk “pemantapan” dalam menghadapi pelajaran UN, sehingga menyita waktu mata pelajaran yang lainnya.
Sampai saat ini, UN masih dinilai sebagai salah satu cara yang adil dalam mengukur hasil kinerja siswa ketika belajar di sekolah. Hingga nilai UN ini jadi indikator kepintaran siswa dan menjadi salah satu ukuran untuk siswa masuk sekolah yang favorit.
Nadiem kemudian berkata, “yang terjadi, secara tidak sengaja UN menjadi sangat diskriminatif.” Hmm, disini saya jadi makin tertarik sama opininya Nadiem. Selanjutnya, ia menjelaskan mengapa UN menjadi diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Nadiem menerangkan, konten UN yang begitu banyak memaksa metode pembelajaran siswa menjadi hafalan. Sehingga metode yang paling baik adalah dengan bimbel atau tutoring. Dan yang mampu menggunakan metode bimbel atau tutoring ini adalah kalangan menengah ke atas. Karena sekolah-sekolah negeri hanya menerima yang nilai UN-nya tinggi, maka yang masuk sekolah negeri itu orang yang tingkat ekonominya menengah ke atas, sedangkan yang menengah ke bawah hanya dapat masuk ke swasta.
Oke, sekarang kita coba cerna lebih dalam maksud pernyataan Nadiem. Yang pertama, saya sangat setuju dengan pernyataan konten UN hanya hafalan, dan itu sangat tidak efektif. Dulu, saya sebagai siswa merasa dipaksa untuk menerima begitu banyak informasi dari berbagai macam pelajaran. Hasilnya, saya hanya sekedar menghafalkan pelajaran, bukan memahami.
ADVERTISEMENT
Misalnya nih, dulu guru fisika saya sampai harus menugaskan siswa-siswanya untuk membuat catatan khusus rumus-rumus fisika, agar dapat menghafalkannya. Pada akhirnya, kami hanya sekedar menghafal, bukan memahami rumus-rumus itu. Padahal, percuma saja jika hanya sekedar menghafal, ketika diberi soal atau kasus fisika yang tidak sesuai dengan rumus yang sudah dihafalkan, tetap saja tidak bisa mengerjakan.
Kemudian pernyataan Nadiem berikutnya, kalau metode yang tepat untuk menghafal konten UN adalah dengan bimbel atau tutoring. Dan itu memang benar, sebagai orang yang pernah bergelut dengan dunia bimbel, saya dapat melihat bahwa siswa-siswa yang ikut bimbel dapat mengerjakan soal UN dengan tepat, karena materinya terus diulang dan dilatih selama bimbel itu.
Dampaknya, betul sekali apa kata Nadiem, siswa-siswa yang mampu bimbel-lah yang mendapat nilai yang tinggi di UN. Sehingga, mereka jugalah yang bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Maka dari itu, saya sepakat jika dikatakan UN diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi UN bukan hanya sampai disitu. Saya masih sangat ingat kalau dulu punya teman sekelas yang hebat di bidang olahraga dan musik. Ia hebat dalam bermain sepak bola, hebat dalam bermain gitar dan piano, serta punya suara yang bagus. Kemudian dia sangat kewalahan ketika harus belajar mata pelajaran eksak seharian dan dituntut agar bisa mengerjakan soal-soal eksak yang sama sekali tidak ia sukai, karena harus lulus UN.
Siswa yang punya bakat dan kemampuan lain di luar mata pelajaran UN dipaksa harus bisa mengerjakan UN. Padahal setiap orang hebat dalam bidangnya. Ibaratnya, kita tidak dapat mengukur kompetensi ikan dengan cara menyuruhnya memanjat pohon.
Jadi, sangat tepat menurut saya jika Nadiem mengatakan UN itu diskriminasi dan Deddy Corbuzier mengatakan UN itu bullshit. Saya cukup antusias dan sangat menunggu ketika Nadiem mengatakan kalau UN akan digantikan dengan asesmen kompetensi yang tidak berdasarkan atas hafalan. Hal itu bisa menjadi harapan baru bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya, yang terpenting semoga anak-anak di masa depan tidak merasakan kembali diskriminasi oleh UN.
ADVERTISEMENT