Konten dari Pengguna

Karpet Merah Mantan Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Femine Anggun
Mahasiswa S1 Administrasi Publik Universitas Airlangga
5 Mei 2023 14:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Femine Anggun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Meski dimungkinkan secara sah, pencalonan kembali mantan narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif 2024 memberi impresi buruk kepada publik bahwa parpol (partai politik) cenderung tidak punya niat untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pencalonan kembali mantan terpidana korupsi sebagai caleg merupakan pendidikan politik yang buruk bagi publik, terutama ketika kita berusaha secara maksimal memerangi perilaku korupsi di masyarakat. Hal ini bisa dibaca sebagai sikap permisif parpol pada praktik korupsi.
Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga yang menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU juga memiliki wewenang yaitu menyusun dan menetapkan peraturan KPU.
Berarti dapat disimpulkan bahwa KPU merupakan badan independen yang dibentuk berdasarkan konstitusi sudah seharusnya memiliki posisi yang tegas, baik tugas serta fungsi menyelenggarakan pemilihan umum maupun dalam merumuskan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Hukum di Indonesia sendiri telah berkembang kuat serta mengakar, dan secara tegas dipisahkan dari keadilan moral, serta tidak didasarkan pada pertimbangan baik-buruk. Hukum ditentukan oleh aturan yang ada. Karena yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya melainkan apa hukumnya.
Akan tetapi substansi R-PKPU yang disusun oleh KPU tentang larangan mantan koruptor yang berpartisipasi dalam pencalonan anggota legislatif meskipun merupakan tujuan yang baik dan sepatutnya dilakukan oleh banyak pihak, namun statement tersebut terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu yang menurut hierarkinya berada di atas PKPU.
Sumber gambar: Shutterstock
Gagasan yang dikeluarkan KPU ini bukan tanpa alibi, Indonesian Corruption Watch (IWC) mengungkapkan bahwa pada pemilu legislatif pada tahun 2014 lalu, terdapat 48 calon anggota legislatif yang terpilih menjadi anggota dewan terjerat kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan, caleg yang terjerat kasus korupsi yang terpilih di tahun 2014 lebih banyak dari pada tahun 2009 yang ketika itu hanya ada enam orang anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem rekrutmen parpol terlalu lemah, elektabilitas dan integritas gagal terlaksanakan.
Uang menjadi alasan kenapa individu tersebut dipilih oleh parpol. Politik uang sudah menjadi bagian dari internal mereka. Bukankah partai harusnya bisa berbuat bijak dan penuh kewibawaan agar kepercayaan masyarakat pada parpol memiliki sisi yang positif. Hal ini mungkin bisa dilakukan dengan cara memilih kader-kader yang memang bersih, tidak atau belum pernah terjerat kasus korupsi.
Pengaruh dari partai politik dalam rekrutmen politik dan kaderisasi anggota menjadi alasan kenapa mantan terpidana korupsi bisa maju menjadi calon anggota legislatif. Merekrut kader terbaik untuk dikonteskan dalam pemilu menjadi salah satu cara agar sirkulasi pemimpin negara berjalan lancar.
ADVERTISEMENT
Dana kampanye dan ketidakjelasannya model pendanaan organisasi partai untuk kelangsungan hidup partai menjadi dua akar permasalahan ini. Korupsi di kalangan kader partai yang memegang jabatan publik karena itu tidak dapat dihindari.
KPU bersiteguh memasukkan aturan pelarangan bagi mantan narapidana korupsi untuk maju sebagai caleg dalam PKPU.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
“KPU tidak hanya berpedoman pada UU terkait dengan pemilu, tapi juga UU lain yang relevan. Salah satunya UU No.28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, serta nepotisme,” ucap komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ketika merancang PKPU ini muncul kekhawatiran publik tentang daya rusak yang luar biasa dari praktik tindak korupsi ini. Ingin terciptanya pemerintah nasional yang bersih dan daya rusak yang luar biasa dari praktik korupsi, dua hal inilah yang mendasari pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pemilu 2019, berdasarkan data yang dimiliki oleh KPU terdapat 16 parpol yang menjadi peserta pileg 2019. Dari data tersebut muncul 38 nama calon anggota legislatif baik untuk DPRD tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota yang pernah terjerat kasus korupsi atau bisa disebut mantan terpidana korupsi, dari data tersebut diusung 13 dari total 16 parpol peserta pemilu 2019, seperti dalam uraian berikut.
ADVERTISEMENT
Munculnya sejumlah 38 nama caleg mantan koruptor di atas bukan tanpa perseteruan. Polemik muncul kala terdapat persoalan tentang boleh tidaknya mantan koruptor menjadi caleg setelah KPU melarang mereka.
Sumber gambar: Pixabay
Di sisi lain Bawaslu selaku badan yang mengawasi penyelenggaraan pemilu membolehkan eks terpidana korupsi tersebut maju sebagai calon anggota legislatif. Karena KPU dan Bawaslu tidak menemui kesepakatan akhirnya masalah ini diserahkan kepada MA.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa gagasan yang diusulkan oleh KPU kepada mantan koruptor sebenarnya melanggar Undang-Undang Pemilu. Mantan koruptor yang mencalonkan diri untuk kursi parlemen harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu, bahwa siapapun dengan catatan kriminal atau pernah terpidana dapat mendaftar sebagai calon legislatif, tetapi harus mengumumkan ini secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Namun apakah masih bisa dipastikan para pejabat yang melakukan korupsi tersebut tidak akan mengulanginya lagi, sehingga menimbulkan pertanyaan apa yang membuat mereka masih berani melakukan penyelewengan yang merugikan rakyat dan nurani bangsa. Bahkan mereka dengan percaya dirinya masih ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.
Mengingat betapa kecilnya tanggung jawab yang dijalani para koruptor ini pertanyaan ini mudah sekali dijawab. Secara keseluruhan sejak mereka dituntut ringan, mendapat vonis ringan, tidak menjalani kewajiban uang pengganti, mendapat remisi hukuman, leluasa menikmati aspek keamanan penjara hingga masih ada jaminan menjadi penjabat setelah mereka menjalani hukumannya.
Sumber gambar: Unsplash
Betapa mewahnya fasilitas pejabat yang korup ini sehingga mereka tidak tahu malunya kembali mencalonkan diri mereka menjadi wakil rakyat kembali.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, kasus korupsi yang menimpa bupati kudus, Muhammad Tamzil yang menerima suap jabatan kepala dinas, pada akhir juli 2019. Parahnya ini bukan pertama kalinya Tamzil terjerat kasus korupsi. Pada tahun 2014, ia pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD kabupaten kudus.
Setelah bebas menjalani hukuman pidana. Ia maju menjadi calon bupati kudus pada pilkada 2018 dan kemudian terpilih. Kasus ini menjadi bukti bahwa pengalaman mendekam di jeruji besi tentu saja tidak pernah membuat jera para koruptor dan mereka berpeluang ingin kembali melakukan praktik korupsi jika diberi kesempatan memimpin kembali sebuah daerah.
Pemilihan umum sangat berisiko dan memerlukan biaya yang mahal, seharusnya parpol berupaya secara maksimal dengan melahirkan kader-kader terbaik. Dan tidak mempertaruhkan jabatan kepemimpinan daerah kepada mantan terpidana korupsi karena hal itu sama saja dengan membawa ketidakpastian daerah keluar dari situasi krisis.
ADVERTISEMENT