Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
OLEH OLEH LEBARAN #KaryaUntukPerubahan
29 Juni 2017 19:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Karya untuk Perubahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu oleh-oleh lebaran kali ini adalah ngobrol dengan Pak Lik yang bercerita tentang gaya hidup orang jaman dulu dengan sekarang.
ADVERTISEMENT
Dan kesimpulan beliau adalah, "Orang sekarang ini terlalu mengeluhkan keadaan negara karena mereka itu kurang bersyukur."
Dan pernyataan beliau itu membawa set-back ke masa-masa kecil dulu.
Kalau dulu kita cuma punya lampu listrik di rumah kita sudah bersyukur, sekarang punya kulkas, dispenser, rice-cooker dan AC pun masih mengeluh.
Kalau dulu kita cuma punya sepeda untuk ke sekolah dan sekali-kali bisa naik bus keliling kota kita sudah bersyukur, sekarang punya motor Ninja dan mobil Pajero pun malah tambah kurang bersyukur.
Kalau dulu makan pake sambel, kuah sayur, dan ikan asin pun sudah merasa nikmat, sekarang bisa makan nasi tiga kali sehari dengan lauk yang pantas pun, bahkan ngiras-ngiras jajan di cafe-cafe dan restauran pun, membuat kita merasa tambah kekurangan.
ADVERTISEMENT
Kata Gusti Allah, Jika kamu kufur, maka ingatlah bahwa azab-Ku sangat pedih.
Dan kita sedang pelan-pelan mengazab diri sendiri.
#ceritapanjangnya
Bukan hal yang aneh kalau ketemu teman seumuran, saling bercerita bagaimana dulu satu telor didadar lebar untuk dinikmati satu keluarga. Itu bukan kejadian di keluarga yang tidak mampu. Keluarga kelas menengah, levelnya dosen dkk pun demikian. Sarapan pagi singkong, kimpul, gorengan, dsb, makan siang dengan sayur plus ikan asin, makan malam dengan satu telor didadar beramai-ramai seperti di atas.
Sekarang, bahkan keluarga para ART pun, penerima bansos, BLT, dkk, bisa makan dengan satu telor per orang. Tentu masih ada yang belum bisa makan rutin sehari tiga kali, tapi jumlahnya jauh menurun dibading masa dulu.
ADVERTISEMENT
Lantas, dengan tingkat konsumsi beras, telor, daging dsb yang makin tinggi per kapita, kita mengeluh karena harganya makin mahal.
Lha siapa yang bikin mahal? Ya kita sendiri. Kita tentu paham, semakin banyak permintaan, tanpa suplai yang mengimbangi, tentu ada mekanisme pasar yang membuat harga akan semakin melambung.
Dulu orang ke mana-mana berjalan kaki, atau naik angkutan umum. Hanya orang-orang yang kaya bisa beli motor apalagi mobil. Kalaupun bisa beli kendaraan, kebanyakan sepeda.
Sekarang kredit motor dan mobil sedemikian mudah. Perkembangan jumlah mobil meningkat 30% per tahun, jadi dalam tempo 4 tahun jumlah mobil meningkat lebih dari 2x lipat. Motor lebih gila lagi.
Meningkat drastis penggunaan kendaraan bermotor pribadi ini jelas berpengaruh langsung terhadap konsumsi BBM.
ADVERTISEMENT
Kalau dulu pengkonsumsi BBM kendaraan hanya kendaraan umum dan orang kaya, sekarang orang berkategori miskin pun ikut memperparah tingginya konsumsi BBM.
http://www.bphmigas.go.id/konsumsi-bbm-nasional
Dan sekarang kita mengeluh kenapa harga BBM harus mahal, kenapa subsidinya harus dicabut. Kita yang ikut memboroskan BBM, kita yang protes kenapa harganya jadi mahal. Negara kita sekarang sudah net-importir minyak. Kita sendiri yang jadi gara-gara akibat tidak mau menahan gaya hidup kita, menyalahkan pemerintah yang kewalahan mensubsidi keinginan kita untuk bergaya.
Dulu listrik cuma untuk penerangan. Yang punya kulkas, AC, pemanas air, rice-cooker dsb hanya segelintir orang kaya. Sekarang orang-orang kelas menengah pun berlomba-lomba memilikinya, bahkan tak kurang benda-benda rakus listrik semacam komputer, charger laptop dan charger smartphone sering bisa ditemukan lebih dari 5 buah dalam satu rumah.
ADVERTISEMENT
Lantas kita mengeluh harga listrik naik. Kita ingin kemewahan-kemewahan itu dibayari oleh pemerintah melalui subsidi harga listrik.
Intinya kita ingin serba dilayani. Serba dibayari.
Makan pengen mewah, tapi minta disubsidi. Bepergian pengen nggaya, tapi bensinnya minta disubsidi. Gaya hidup pengen wah, tapi seminim mungkin modal sendiri.
Naudzubillah...