Konten dari Pengguna

Ancaman Perang India-Pakistan terhadap Stabilitas Asia Selatan

Fani Azki Rizqiyani
Mahasiswa Politik Internasional, Program Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
10 Mei 2025 18:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bendera India dan Pakistan. Sumber: IStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera India dan Pakistan. Sumber: IStock
ADVERTISEMENT
Hubungan antara India dan Pakistan merupakan salah satu contoh paling nyata dari konflik berkepanjangan pascakolonial yang berdampak luas bagi stabilitas kawasan. Sejak pemisahan wilayah oleh Inggris pada 1947 yang melahirkan dua negara ini, perang telah terjadi sebanyak tiga kali secara terbuka (1947–1948, 1965, dan 1971), dan satu perang terbatas di Kargil pada 1999. Meski belum kembali ke perang total dalam dua dekade terakhir, retorika militer, serangan lintas batas, dan konflik di wilayah Kashmir terus membentuk realitas yang sangat tegang di Asia Selatan. Dengan masing-masing negara memiliki senjata nuklir, risiko eskalasi menjadi sangat berbahaya, tak hanya bagi dua negara tersebut, tetapi juga bagi keamanan internasional.
ADVERTISEMENT
Permusuhan antara India dan Pakistan berakar pada persoalan identitas, agama, dan wilayah. Kashmir tetap menjadi titik nyala utama, dengan kedua negara mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian sah dari negaranya. Dalam banyak hal, Kashmir bukan hanya soal geografi, tetapi juga simbol kebangsaan, legitimasi politik, dan ideologi negara. Keberadaan kelompok militan di wilayah tersebut serta tuduhan dukungan Pakistan terhadap elemen teroris juga memperkeruh situasi. Bagi komunitas internasional, konflik ini merupakan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan memicu krisis kemanusiaan serta geopolitik yang lebih luas.
Ancaman Nyata terhadap Stabilitas Regional
Asia Selatan adalah kawasan dengan populasi lebih dari 1,8 miliar jiwa, dengan potensi ekonomi dan demografi yang luar biasa. Namun, potensi ini terhambat oleh rivalitas antara dua kekuatan besar: India dan Pakistan. Ketegangan ini menciptakan atmosfer regional yang rapuh, mempersulit kerja sama ekonomi, menurunkan daya tarik investasi asing, serta membebani negara-negara kecil seperti Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka yang harus menjaga netralitas dalam hubungan bilateral mereka dengan dua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap ketegangan militer seperti serangan teroris di Mumbai (2008), serangan Balakot (2019), atau insiden Pulwama dunia menyaksikan bagaimana hanya dalam hitungan jam, dua negara bersenjata nuklir nyaris saling serang secara terbuka. Risiko miscalculation (kesalahan perhitungan militer) atau provokasi oleh aktor non-negara dapat menjadi pemicu perang yang lebih luas. Sebuah konflik terbuka tidak hanya akan menghancurkan infrastruktur dan perekonomian kedua negara, tetapi juga menimbulkan krisis pengungsi, memperburuk ekstremisme, dan menciptakan dampak lingkungan serta kesehatan yang masif jika senjata nuklir digunakan.
Peran dan Kegagalan Diplomasi Bilateral
Selama beberapa dekade, diplomasi bilateral antara India dan Pakistan berjalan dalam pola yang berulang: upaya damai, gangguan oleh insiden kekerasan, pembekuan dialog, lalu normalisasi sementara. Banyak inisiatif, seperti Composite Dialogue Process dan Track II Diplomacy, sempat menawarkan harapan, tetapi gagal memberikan hasil permanen. Salah satu tantangan terbesar dalam diplomasi bilateral adalah ketidakpercayaan mendalam di antara elit politik dan militer kedua negara. Narasi nasionalisme ekstrem, terutama dalam konteks politik domestik, sering digunakan untuk meraih dukungan, bahkan dengan mengorbankan prospek perdamaian jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Kedua negara juga memiliki tekanan politik internal yang membuat kompromi menjadi sulit. Di India, partai nasionalis Hindu seperti BJP kerap menggunakan retorika anti-Pakistan untuk konsolidasi politik. Di Pakistan, dominasi militer dalam kebijakan luar negeri membuat dialog sipil tidak cukup kuat menahan tekanan dari kelompok garis keras. Maka, tanpa dorongan dan mediasi dari komunitas internasional, sangat kecil kemungkinan kedua negara akan menemukan solusi damai yang komprehensif atas konflik mereka.
Peran Diplomasi Internasional: Penengah yang Terpinggirkan
Dalam situasi serba kompleks ini, diplomasi internasional seharusnya berperan sebagai penengah aktif yang dapat mendorong kedua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan. Namun, kenyataannya, komunitas internasional cenderung pasif, sebagian karena sensitivitas isu kedaulatan, sebagian lagi karena adanya kepentingan geopolitik yang bersinggungan. Amerika Serikat, misalnya, memiliki hubungan strategis dengan India dalam menghadapi pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik. Sementara Pakistan tetap menjadi mitra penting dalam isu-isu seperti Afghanistan dan kontraterorisme. Uni Eropa lebih fokus pada isu perdagangan dan HAM, sementara Tiongkok, sebagai sekutu dekat Pakistan, memiliki agenda tersendiri di wilayah tersebut melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI).
ADVERTISEMENT
Meski demikian, peran negara-negara netral, organisasi internasional seperti PBB, dan forum regional seperti SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) seharusnya ditingkatkan. Resolusi damai membutuhkan pendekatan multilateral yang mampu menciptakan tekanan politik dan insentif ekonomi bagi kedua belah pihak. Misalnya, penggunaan mekanisme sanksi terhadap pihak yang memprovokasi konflik, atau pembentukan zona demiliterisasi yang diawasi secara internasional di wilayah sengketa.
Jalan Menuju Perdamaian: Dari Konflik ke Koeksistensi
Meski tampak suram, harapan untuk menghindari perang India-Pakistan bukanlah utopia. Kedua negara memiliki sejarah dialog, bahkan kerja sama terbatas, dalam isu-isu teknis seperti pembagian air berdasarkan Perjanjian Indus Waters. Selain itu, masyarakat sipil, media independen, dan kelompok akademisi dari kedua belah pihak secara aktif mendorong budaya damai dan dialog lintas batas. Teknologi komunikasi juga membuka peluang baru untuk membangun pemahaman bersama, terutama di kalangan generasi muda yang mulai jenuh dengan retorika konflik masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kuncinya adalah perubahan pendekatan dari “zero-sum rivalry” ke paradigma “mutual survival and regional stability”. Pendekatan ini menuntut pengakuan bahwa perdamaian bukanlah bentuk kelemahan, melainkan syarat mutlak bagi pertumbuhan dan kemajuan bersama. Jika India dan Pakistan mampu bertransformasi dari kompetitor menjadi mitra dalam isu-isu seperti perubahan iklim, pengurangan kemiskinan, dan digitalisasi ekonomi, maka ancaman perang dapat diubah menjadi peluang kerja sama.
Kesimpulan
Perang antara India dan Pakistan bukan hanya ancaman bilateral, tetapi juga ancaman global. Di tengah kondisi internasional yang penuh ketidakpastian, konflik di Asia Selatan akan menambah daftar krisis yang menguras sumber daya dan memperburuk penderitaan manusia. Oleh karena itu, pencegahan perang harus menjadi prioritas bersama bukan hanya oleh India dan Pakistan, tetapi juga oleh masyarakat internasional.
ADVERTISEMENT
Diplomasi multilateral, kerja sama regional, penguatan masyarakat sipil, serta perubahan narasi politik dalam negeri adalah elemen-elemen penting yang harus ditekankan. Asia Selatan tidak akan maju jika dua kekuatan terbesarnya terus bersitegang. Dunia tidak bisa hanya menjadi penonton ketika dua negara bersenjata nuklir saling berhadapan. Perdamaian di kawasan ini adalah syarat mutlak bagi stabilitas global di abad ke-21.