Konten dari Pengguna

Krisis Kashmir dan Perang yang Tak Terelakkan: Apa yang Dunia Harus Lakukan?

Fani Azki Rizqiyani
Mahasiswa Politik Internasional, Program Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
11 Mei 2025 13:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik antara India dan Pakistan terkait Kashmir telah menjadi duri dalam hubungan kedua negara selama lebih dari tujuh dekade. Dengan tiga perang besar (1947, 1965, dan 1971), satu konflik berskala terbatas di Kargil (1999), dan ratusan bentrokan di sepanjang Line of Control (LoC), wilayah Kashmir tetap menjadi titik nyala konflik yang terus berulang. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan semakin meningkat akibat kebijakan domestik India yang memperketat kontrol di Kashmir dan meningkatnya aksi-aksi militan yang disebut-sebut disponsori dari Pakistan. Dunia kini menyaksikan bagaimana satu insiden kecil dapat memicu spiral kekerasan yang mengarah pada perang besar mungkin yang terakhir di kawasan itu, mengingat kedua negara memiliki senjata nuklir.
ADVERTISEMENT
Kashmir: Titik Api Abadi dalam Hubungan India-Pakistan
Ilustrasi peta India-Pakistan. Sumber: Shutterstock
Wilayah Kashmir dibagi menjadi tiga bagian: Jammu & Kashmir (di bawah India), Azad Kashmir (dikuasai Pakistan), dan Aksai Chin (dikuasai Tiongkok). Persoalan utama muncul dari klaim penuh yang saling bertabrakan antara India dan Pakistan. Bagi India, Kashmir adalah bagian tak terpisahkan dari integritas nasional. Bagi Pakistan, Kashmir adalah persoalan ketidakadilan sejarah terhadap umat Muslim yang belum diselesaikan.
Sejak India mencabut status otonomi khusus Jammu & Kashmir pada Agustus 2019 melalui penghapusan Pasal 370 dalam konstitusinya, ketegangan meningkat tajam. Pakistan menuduh India memperburuk penderitaan warga Muslim di Kashmir dan memperingatkan akan adanya pembalasan. Aksi-aksi kekerasan bersenjata terus terjadi, dengan tuduhan bahwa militan dari wilayah Pakistan menyusup ke wilayah India. Di sisi lain, India memperketat militernya dan mengintensifkan operasi anti-pemberontakan, yang kerap menuai kritik dari kelompok hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Konflik Berkepanjangan dan Bahaya Eskalasi Nuklir
Salah satu kekhawatiran terbesar dalam krisis Kashmir adalah potensi eskalasi menjadi konflik bersenjata terbuka. Dalam era digital dan era politik populis, tekanan terhadap pemerintah untuk menunjukkan kekuatan sangat tinggi. Ketika serangan militan menewaskan puluhan tentara India di Pulwama pada 2019, India merespons dengan serangan udara ke wilayah Pakistan. Pakistan pun membalas, dan jet tempur India sempat ditembak jatuh. Dunia berada di tepi jurang perang.
Yang membuat konflik ini sangat berbahaya adalah keberadaan senjata nuklir. India dan Pakistan memiliki sekitar 150–160 hulu ledak nuklir masing-masing. Tidak seperti Perang Dingin antara AS dan Soviet yang memiliki doktrin "mutual assured destruction" yang cukup stabil, eskalasi nuklir di Asia Selatan bisa jadi lebih tak terduga karena masing-masing negara memiliki doktrin penggunaan nuklir yang belum sepenuhnya transparan. Pakistan, misalnya, memiliki kebijakan "first use" jika merasa kedaulatan nasionalnya terancam.
ADVERTISEMENT
Ketidakhadiran Komunitas Internasional: Diam yang Berbahaya
Selama ini, komunitas internasional cenderung pasif dalam menangani konflik Kashmir. Amerika Serikat, meskipun memiliki pengaruh besar di kawasan, hanya bersuara saat krisis mencapai titik didih. Uni Eropa lebih banyak bersikap normatif dengan menyerukan dialog damai. Tiongkok, sebagai sekutu dekat Pakistan dan rival India, justru menjadi faktor kompleks lain dalam dinamika kawasan.
PBB sendiri sejak tahun 1948 telah mengeluarkan sejumlah resolusi terkait Kashmir, termasuk usulan referendum, tetapi hingga kini tidak ada implementasi nyata. Salah satu kelemahan besar adalah India menolak internasionalisasi isu Kashmir, dengan mengklaim bahwa ini adalah urusan domestik. Sikap ini membuat berbagai upaya mediasi dari luar menjadi mustahil dilakukan tanpa persetujuan India.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika komunitas internasional terus bersikap diam, maka setiap eskalasi memiliki risiko menjadi konflik terbuka. Dunia perlu sadar bahwa Kashmir adalah salah satu titik konflik paling berbahaya di planet ini bukan karena intensitas kekerasannya, tetapi karena potensi ledakan strategisnya.
Apa yang Dunia Harus Lakukan: Tiga Langkah Diplomasi Pencegahan
Pertama, PBB dan negara-negara besar seperti AS, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa harus menekan India dan Pakistan untuk kembali membuka saluran dialog bilateral yang substantif. Dialog Track I dan Track II harus difasilitasi dengan aman dan objektif. Ini bisa dimulai dengan Confidence-Building Measures (CBMs), seperti pembukaan zona demiliterisasi, pertukaran informasi intelijen soal aktivitas militan, dan kerjasama kemanusiaan di wilayah konflik.
Kedua, komunitas internasional harus lebih tegas menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Kashmir baik yang dilakukan oleh pasukan India maupun kelompok militan. Laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International tidak boleh diabaikan. Langkah ini penting untuk menekan kedua pihak agar tidak menjadikan warga sipil sebagai korban utama dalam konflik politik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, peran negara-negara netral seperti Indonesia, Norwegia, dan Turki bisa dimaksimalkan sebagai mediator informal. Indonesia, misalnya, memiliki rekam jejak diplomasi damai dalam konflik internasional dan dapat mengambil peran sebagai jembatan dialog Asia Selatan. Dukungan terhadap mediasi multilateral bisa menjadi langkah kunci untuk mencegah perang besar.
Kesimpulan
Krisis Kashmir bukan konflik yang tidak bisa diselesaikan. Namun selama dunia membiarkannya membara tanpa intervensi serius, risiko pecahnya perang antara India dan Pakistan akan selalu menghantui. Dunia tidak boleh menunggu hingga bom meledak, hingga jutaan nyawa melayang, atau hingga suhu bumi berubah karena nuklir menghantam Himalaya. Diplomasi harus menjadi jalan utama, dan pencegahan harus menjadi prioritas.
Dalam tatanan dunia multipolar saat ini, membiarkan dua negara nuklir bertetangga terus berseteru tanpa solusi bukan hanya kesalahan strategis, tapi juga tragedi moral. Dunia harus bersuara. Dunia harus bertindak.
ADVERTISEMENT