Konten dari Pengguna

Macron di Indonesia: Kunjungan Kenegaraan atau Manuver Strategis?

Fani Azki Rizqiyani
Mahasiswa Politik Internasional, Program Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
3 Juni 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Macron di Indonesia: Kunjungan Kenegaraan atau Manuver Strategis?
Macron memang datang dalam kapasitas resmi sebagai kepala negara, namun substansi kunjungannya jauh lebih besar dari sekadar seremoni kenegaraan.
Fani Azki Rizqiyani
Tulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Prabowo Subianto (kanan) menjabat tangan Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) saat kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka. Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo Subianto (kanan) menjabat tangan Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) saat kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka. Sumber: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Prancis Emmanuel Macron menapakkan kaki di Indonesia dalam kunjungan resminya tahun 2025, perhatian publik dan media segera tertuju pada agenda kenegaraan yang dibingkai dengan simbol-simbol persahabatan dan kerja sama. Sorotan terhadap kunjungan ke Candi Borobudur, pertemuan bilateral dengan Presiden RI, serta diskusi tingkat tinggi tentang kerja sama pertahanan, ekonomi, dan budaya, menampilkan narasi harmonis antara dua negara besar. Namun, di balik gesture diplomatik dan retorika persahabatan, muncul pertanyaan yang patut diajukan secara kritis: Apakah kehadiran Macron di Indonesia murni kunjungan kenegaraan, atau justru bagian dari manuver strategis Prancis dalam konstelasi geopolitik Indo-Pasifik?
ADVERTISEMENT
Strategi Prancis di Indo-Pasifik: Bukan Sekadar Retorika
Prancis bukan negara asing dalam wacana Indo-Pasifik. Dengan wilayah-wilayah seberang laut seperti Kaledonia Baru dan Polinesia Prancis, Paris mengklaim dirinya sebagai kekuatan residensial di kawasan. Sejak tahun 2018, Prancis secara resmi merumuskan Strategi Indo-Pasifik yang mencakup keamanan maritim, stabilitas kawasan, hingga kerja sama multilateral yang inklusif. Dalam strategi tersebut, Indonesia dipandang sebagai mitra utama yang memiliki posisi strategis, kekuatan ekonomi menengah, dan legitimasi diplomatik di tingkat global.
Dengan latar belakang ini, kunjungan Macron tidak bisa hanya dibaca sebagai bentuk keramahan diplomatik. Kehadirannya memiliki nilai strategis tinggi: memperkuat kehadiran Prancis di kawasan yang kini menjadi titik pertarungan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan India.
ADVERTISEMENT
Indonesia di Tengah Rivalitas Global
Indonesia adalah negara kunci di Asia Tenggara dan jalur utama dalam arus perdagangan global. Terletak di antara Samudra Hindia dan Pasifik, Indonesia secara geografis sangat strategis. Di tengah rivalitas antara AS dan Tiongkok, Indonesia mempertahankan posisi bebas-aktif yang membuka peluang bagi negara-negara lain seperti Prancis untuk memperkuat kerja sama bilateral tanpa harus terjebak dalam polarisasi geopolitik.
Kunjungan Macron datang dalam konteks ini. Ia tidak hanya ingin mempererat hubungan, tapi juga menandai kehadiran aktif Prancis di kawasan yang semakin diperebutkan, baik dari sisi militer (melalui kerja sama pertahanan), ekonomi (investasi dan perdagangan), maupun budaya (melalui promosi bahasa Prancis, pendidikan, dan warisan Eropa).
Kerja Sama Pertahanan: Investasi atau Penetrasi Strategis?
ADVERTISEMENT
Salah satu agenda utama kunjungan Macron adalah kelanjutan pembahasan kerja sama pertahanan. Indonesia dan Prancis sebelumnya telah menandatangani kontrak pengadaan jet tempur Dassault Rafale, kapal selam Scorpène, dan beberapa sistem senjata lainnya. Prancis menawarkan tidak hanya produk pertahanan, tapi juga transfer teknologi dan pelatihan militer dua elemen penting bagi Indonesia yang tengah mengupayakan modernisasi TNI.
Namun, di balik tawaran itu terdapat pertimbangan strategis dari Prancis: dengan mempererat kerja sama militer, Paris dapat menanamkan pengaruh jangka panjang terhadap kebijakan pertahanan Indonesia, sekaligus menghadirkan kehadiran teknologi dan sumber daya manusia mereka di kawasan Asia Tenggara. Dengan kata lain, kerja sama ini bukan hanya soal alat, tapi juga soal posisi tawar geopolitik.
ADVERTISEMENT
Ekonomi dan Investasi: Masuknya Modal Eropa di Jalur Tengah
Prancis juga menyasar sektor ekonomi dan industri strategis. Investasi di sektor energi terbarukan, manufaktur, dan infrastruktur hijau menjadi bagian dari negosiasi bilateral yang diperkuat saat Macron berada di Jakarta. Prancis menyadari bahwa Indonesia adalah pasar besar dengan bonus demografi yang menjanjikan.
Namun, kerja sama ekonomi juga membawa aspek strategis tersendiri. Melalui investasi dan bantuan pembangunan, Prancis berupaya menjadi penyeimbang terhadap dominasi Tiongkok dalam proyek-proyek besar di Asia Tenggara, khususnya dalam konteks Belt and Road Initiative (BRI). Oleh karena itu, Macron tidak datang sebagai pelancong politik, tetapi sebagai negosiator utama Eropa yang ingin memosisikan dirinya dalam ekosistem ekonomi Indonesia yang sedang bertumbuh.
ADVERTISEMENT
Soft Power Prancis: Borobudur sebagai Simbol Budaya dan Diplomasi
Salah satu momen yang paling menyita perhatian selama kunjungan Macron adalah lawatannya ke Candi Borobudur. Banyak yang melihat ini sebagai upaya mempererat hubungan budaya, terutama karena Prancis dikenal aktif dalam pelestarian warisan dunia dan memiliki citra kuat dalam diplomasi budaya.
Namun dari sudut pandang strategis, kunjungan ini juga sarat makna. Prancis ingin menunjukkan bahwa kehadirannya bukan sekadar militer atau ekonomi, tapi juga berbasis nilai dan budaya. Dengan merangkul warisan budaya Asia, Macron sedang memoles citra Prancis sebagai mitra global yang tidak hegemonik, berbeda dengan pendekatan koersif yang sering dikaitkan dengan kekuatan besar lainnya.
Pertanyaan tentang Ketulusan dan Kepentingan
Kritik yang muncul dari kunjungan Macron berangkat dari keraguan tentang ketulusan Prancis dalam membangun hubungan yang setara dan saling menguntungkan. Sejarah kolonialisme, posisi Prancis dalam NATO, dan ketegangan domestik terkait Islam di negara tersebut menimbulkan tanda tanya: apakah Prancis benar-benar ingin menjadi mitra inklusif, atau hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pijakan untuk memperluas pengaruhnya di Asia?
ADVERTISEMENT
Apalagi, retorika Macron tentang kedaulatan digital, hak asasi manusia, dan tata kelola global sering kali berjarak dengan praktik kebijakan luar negeri Prancis sendiri yang tetap pragmatis dan oportunis. Indonesia harus cermat agar tidak menjadi pion dalam permainan kekuatan besar yang hanya mengejar kepentingannya sendiri.
Kesimpulan
Macron memang datang dalam kapasitas resmi sebagai kepala negara, namun substansi kunjungannya jauh lebih besar dari sekadar seremoni kenegaraan. Ia membawa misi besar untuk memperkuat posisi Prancis dalam geopolitik Indo-Pasifik, dengan Indonesia sebagai mitra kunci dalam jalur strategis tersebut.
Indonesia patut menyambut kerja sama ini dengan terbuka, namun tidak boleh abai terhadap kalkulasi kepentingan yang dibawa Macron. Setiap tawaran pertahanan, investasi, maupun kerja sama budaya harus diuji dengan parameter kepentingan nasional jangka panjang. Jangan sampai kita menyambut bendera Prancis dengan senyum diplomatik, tapi mengabaikan bahwa di baliknya terdapat agenda strategis yang jauh lebih kompleks dari yang terlihat.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaan itu tetap relevan: kunjungan kenegaraan atau manuver strategis? Jawabannya mungkin: keduanya. Namun yang lebih penting adalah bagaimana Indonesia merespons, agar kunjungan seperti ini bukan hanya menguntungkan satu pihak, melainkan membawa manfaat nyata bagi rakyat, kedaulatan, dan posisi global Indonesia.