Konten dari Pengguna

Paris Agreement: Dilema Negara Maju antara Ekonomi dan Lingkungan

Fani Azki Rizqiyani
Mahasiswa Politik Internasional, Program Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
17 Maret 2025 12:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Paris Agreement. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Paris Agreement. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim menjadi isu global yang semakin mendesak, mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan perjanjian internasional, salah satunya adalah Paris Agreement yang ditandatangani pada tahun 2015. Perjanjian ini bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya maksimal untuk menekan hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Namun, bagi negara-negara industri maju, implementasi Paris Agreement bukanlah hal yang mudah. Mereka menghadapi dilema besar antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kewajiban lingkungan yang semakin ketat.
ADVERTISEMENT
Tanggung Jawab Negara Maju terhadap Perubahan Iklim
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Inggris memiliki tanggung jawab historis dalam masalah perubahan iklim. Sejak Revolusi Industri, mereka menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yang menyebabkan pemanasan global saat ini. Oleh karena itu, dalam Paris Agreement, negara-negara maju diharapkan memimpin upaya mitigasi dengan target ambisius serta memberikan dukungan finansial dan teknologi kepada negara berkembang agar mereka juga dapat bertransisi menuju ekonomi rendah karbon.
Namun, realitasnya tidak selalu sejalan dengan harapan. Beberapa negara maju menunjukkan komitmen yang lemah atau bahkan mundur dari kesepakatan, seperti yang pernah terjadi ketika Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump menarik diri dari Paris Agreement pada tahun 2017, meskipun kemudian bergabung kembali di bawah kepemimpinan Joe Biden. Ini mencerminkan bagaimana dinamika politik dan kepentingan ekonomi masih menjadi faktor utama dalam menentukan kebijakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan Ekonomi vs Kebijakan Lingkungan
Dilema utama bagi negara maju adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan komitmen lingkungan. Banyak negara industri masih bergantung pada sektor yang menghasilkan emisi tinggi, seperti manufaktur, industri berat, dan energi fosil. Meskipun terdapat dorongan untuk beralih ke energi terbarukan, transisi ini membutuhkan investasi besar dan waktu yang tidak singkat.
Negara-negara maju juga harus mempertimbangkan dampak ekonomi dari kebijakan lingkungan yang ketat. Jika regulasi terlalu restriktif, hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi daya saing industri mereka di pasar global. Sebagai contoh, pajak karbon yang tinggi dapat meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan relokasi industri ke negara-negara dengan regulasi lingkungan yang lebih longgar, fenomena yang dikenal sebagai "carbon leakage."
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, jika kebijakan lingkungan terlalu longgar, negara-negara maju akan gagal mencapai target emisi mereka dan memperburuk krisis iklim. Oleh karena itu, banyak negara mencoba mencari jalan tengah dengan menerapkan strategi transisi bertahap, seperti insentif untuk energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan investasi dalam teknologi hijau.
Komitmen dan Realitas Implementasi Paris Agreement
Meskipun negara-negara maju telah menetapkan target ambisius dalam Paris Agreement, implementasinya masih menemui banyak tantangan. Misalnya, beberapa negara industri maju terus memberikan subsidi besar untuk bahan bakar fosil, yang bertentangan dengan komitmen mereka untuk mengurangi emisi karbon. Menurut laporan dari International Energy Agency (IEA), subsidi bahan bakar fosil global pada tahun 2022 masih mencapai ratusan miliar dolar, yang menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi masih lebih diutamakan daripada kebijakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dukungan finansial yang dijanjikan negara maju untuk membantu negara berkembang dalam transisi energi juga masih jauh dari target. Paris Agreement menetapkan bahwa negara maju harus mengalokasikan dana setidaknya $100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, hingga saat ini, dana yang terkumpul masih belum mencapai angka tersebut, memperlihatkan kurangnya komitmen nyata dari negara-negara industri maju.
Masa Depan: Inovasi dan Solusi untuk Menjembatani Dilema
Meskipun ada banyak tantangan, ada juga peluang bagi negara maju untuk menemukan solusi yang menguntungkan baik bagi ekonomi maupun lingkungan. Salah satu cara utama adalah dengan berinvestasi lebih agresif dalam teknologi hijau. Inovasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidrogen hijau dapat menciptakan peluang ekonomi baru sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penerapan ekonomi sirkular dapat membantu mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya. Dengan menerapkan model bisnis yang lebih berkelanjutan, negara-negara maju dapat menjaga daya saing mereka tanpa harus mengorbankan komitmen lingkungan.
Selain itu, kolaborasi internasional yang lebih kuat juga diperlukan. Negara-negara maju harus meningkatkan kerja sama dengan negara berkembang untuk memastikan bahwa transisi energi global berjalan adil dan merata. Ini termasuk transfer teknologi hijau, bantuan finansial yang lebih besar, serta kerja sama dalam penelitian dan pengembangan solusi energi bersih.
Kesimpulan
Paris Agreement merupakan langkah penting dalam menghadapi krisis iklim, tetapi implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, terutama bagi negara maju yang harus menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan. Meskipun ada komitmen untuk mengurangi emisi, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak kebijakan yang bertentangan dengan tujuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan inovasi teknologi, kebijakan yang lebih progresif, dan kerja sama global yang lebih erat, negara-negara industri maju memiliki kesempatan untuk mengatasi dilema ini dan memimpin transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Pada akhirnya, keberhasilan Paris Agreement tidak hanya bergantung pada janji, tetapi pada tindakan nyata yang diambil oleh para pemimpin dunia untuk menyelamatkan planet ini bagi generasi mendatang.