Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perang Tarif Trump dan Krisis Legitimasi WTO
21 April 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kebijakan tarif yang agresif selama masa kepresidenan Donald J. Trump tidak hanya memicu perang dagang terbesar antara dua ekonomi raksasa, Amerika Serikat dan Tiongkok, tetapi juga menimbulkan dampak struktural terhadap sistem perdagangan global yang dibangun pasca-Perang Dunia II. Di bawah retorika "America First", Trump memberlakukan tarif tinggi terhadap berbagai produk dari Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan bahkan sekutu tradisional seperti Jepang dan Korea Selatan. Meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk mengoreksi defisit perdagangan Amerika Serikat dan menghidupkan kembali industri manufaktur domestik, dampak jangka panjangnya justru merusak kredibilitas World Trade Organization (WTO) sebagai penjaga sistem perdagangan multilateral.
ADVERTISEMENT
Pendekatan Unilateral vs Multilateralisme
Perang tarif Trump merupakan ekspresi nyata dari pendekatan unilateral dalam hubungan ekonomi internasional. Dalam pandangan Trump, WTO dianggap sebagai lembaga yang "tidak adil" bagi Amerika Serikat karena tidak mampu menahan praktik perdagangan Tiongkok yang dianggap curang. Alih-alih menyelesaikan sengketa perdagangan melalui mekanisme dispute settlement WTO, pemerintahan Trump lebih memilih pendekatan bilateral dan koersif.
Langkah ini berlawanan dengan semangat multilateralisme yang menjadi fondasi WTO. Sejak berdiri pada tahun 1995, WTO dirancang untuk mencegah konflik dagang melalui kerangka aturan yang transparan dan disepakati bersama. WTO mewarisi sistem General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang bertujuan menurunkan hambatan perdagangan dan mendorong stabilitas ekonomi global. Dengan melakukan bypass terhadap WTO, kebijakan Trump secara tidak langsung mengikis legitimasi institusi ini.
ADVERTISEMENT
Dampak terhadap Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO
Salah satu konsekuensi paling signifikan dari kebijakan perdagangan Trump adalah stagnasi fungsi badan banding WTO (Appellate Body). Sejak 2017, Amerika Serikat di bawah Trump secara konsisten memblokir pengangkatan hakim baru ke dalam badan banding, dengan alasan bahwa badan tersebut telah melampaui kewenangannya. Akibatnya, pada Desember 2019, badan banding WTO tidak lagi memiliki kuorum yang memadai untuk menangani kasus.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan global terhadap WTO karena badan banding merupakan pilar utama dalam penyelesaian sengketa perdagangan. Tanpa mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, WTO kehilangan fungsi hukumnya dan menjadi organisasi yang nyaris simbolik. Negara-negara tidak lagi memiliki jaminan bahwa pelanggaran aturan perdagangan akan dikenai sanksi, sehingga membuka ruang bagi meningkatnya praktik proteksionisme.
ADVERTISEMENT
Teori Kelembagaan dan Erosi Rezim Global
Secara teoretis, fenomena ini dapat dianalisis melalui pendekatan institusionalisme dalam hubungan internasional. Menurut Robert Keohane (1984), institusi internasional berfungsi mengurangi ketidakpastian dalam sistem internasional anarkis dengan menciptakan aturan dan norma yang stabil. Namun, efektivitas institusi seperti WTO sangat tergantung pada kepatuhan dan komitmen negara-negara anggotanya, terutama dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Dengan menarik diri secara de facto dari mekanisme WTO, Trump menegaskan bahwa institusi global tidak memiliki kekuatan koersif terhadap negara adidaya. Ini mengindikasikan adanya erosi hegemonic stability theory teori yang menyatakan bahwa sistem internasional stabil jika ada satu negara dominan yang mendukung aturan main bersama. Ketika Amerika Serikat sebagai hegemon menolak memainkan peran stabilisator, sistem global menjadi rapuh.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi terhadap Negara Berkembang
Negara-negara berkembang juga menjadi korban tak langsung dari perang tarif dan krisis WTO. Banyak dari mereka bergantung pada aturan perdagangan multilateral untuk melindungi kepentingan mereka dari dominasi kekuatan besar. Dalam konteks ini, WTO memberikan platform normatif dan hukum bagi negara kecil untuk memperjuangkan keadilan dalam perdagangan global. Ketika sistem ini melemah, mereka kehilangan satu-satunya mekanisme untuk menantang praktik diskriminatif dari negara besar.
Selain itu, ketidakpastian global yang ditimbulkan oleh perang tarif berdampak pada stabilitas harga komoditas, iklim investasi, dan ketahanan ekonomi negara berkembang. Sebagai contoh, gangguan dalam rantai pasok global akibat tarif balasan antara AS dan Tiongkok membuat banyak negara pengekspor bahan mentah mengalami volatilitas pasar yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Masa Depan WTO dan Tantangan Rekonstruksi Tata Perdagangan Global
Setelah Trump, pemerintahan Joe Biden menunjukkan kecenderungan yang lebih kooperatif terhadap WTO, namun belum sepenuhnya mengembalikan mekanisme banding. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan terhadap WTO bukan hanya berasal dari kebijakan satu presiden, tetapi juga dari perubahan struktural dalam sistem global yang semakin multipolar dan penuh persaingan.
Upaya reformasi WTO menjadi sangat mendesak. Negara-negara anggota, terutama G20, harus merumuskan ulang peran WTO dalam dunia yang kini lebih digital, lebih regionalistik, dan lebih kompleks secara geopolitik. Reformasi ini harus mencakup transparansi kebijakan industri, aturan baru untuk perdagangan digital, serta penguatan mekanisme penyelesaian sengketa.
Kesimpulan
Perang tarif Trump bukan hanya soal kenaikan bea masuk, melainkan gejala dari krisis kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral. Dengan memilih jalan unilateral dan menolak mekanisme WTO, kebijakan ini telah menciptakan preseden berbahaya dalam hubungan dagang internasional. Dampaknya meluas, mulai dari terganggunya rantai pasok global, melemahnya posisi negara berkembang, hingga krisis legitimasi WTO sebagai penjaga tata perdagangan dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks globalisasi yang saling terhubung, jalan keluar bukanlah lebih banyak proteksionisme, melainkan penguatan kembali lembaga-lembaga multilateral dengan komitmen bersama. Dunia pasca-Trump menghadapi tugas berat untuk membangun ulang kepercayaan terhadap sistem yang adil dan inklusif, dan WTO adalah titik awal dari rekonstruksi tersebut.