Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Protokol Kyoto dan Paris Agreement: Solusi atau Sekadar Janji?
16 Maret 2025 9:56 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang nyata, memicu berbagai upaya internasional untuk menguranginya. Dua perjanjian iklim paling berpengaruh, Protokol Kyoto dan Paris Agreement, dibuat untuk mengatur dan menekan emisi gas rumah kaca. Namun, hingga kini, efektivitas keduanya masih menjadi perdebatan. Apakah perjanjian-perjanjian ini benar-benar menjadi solusi dalam menangani krisis iklim, atau hanya sekadar janji politik yang sulit diwujudkan?
ADVERTISEMENT
Protokol Kyoto: Langkah Awal yang Kurang Efektif
Protokol Kyoto, yang diadopsi pada tahun 1997 dan mulai berlaku pada 2005, menjadi perjanjian internasional pertama yang secara konkret menetapkan target pengurangan emisi bagi negara-negara industri. Perjanjian ini mengikat negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka berdasarkan target yang telah disepakati.
Namun, efektivitasnya dipertanyakan karena beberapa alasan. Pertama, Amerika Serikat sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia tidak pernah meratifikasi protokol ini. Kedua, negara berkembang seperti China dan India, yang saat ini menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar, tidak diwajibkan untuk memenuhi target pengurangan emisi karena dianggap masih dalam tahap pembangunan. Akibatnya, pengurangan emisi secara global tidak signifikan, sementara pertumbuhan industri dan ekonomi tetap berjalan dengan ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sistem perdagangan emisi yang diterapkan dalam Protokol Kyoto, seperti mekanisme Clean Development Mechanism (CDM), justru membuka celah bagi negara maju untuk menghindari pengurangan emisi nyata dengan cara membeli "kredit karbon" dari negara berkembang. Hal ini membuat dampak kebijakan ini menjadi kurang efektif dalam menekan emisi secara global.
Paris Agreement: Ambisi Lebih Besar, Tantangan Lebih Kompleks
Melihat kelemahan Protokol Kyoto, Paris Agreement hadir pada tahun 2015 dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif. Berbeda dengan Kyoto, perjanjian ini tidak hanya mengikat negara maju tetapi juga negara berkembang untuk berkontribusi dalam menekan emisi. Paris Agreement bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan target ideal di 1,5°C dibandingkan dengan masa pra-industri.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun ambisinya lebih besar, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu kendala utama adalah sifat komitmen yang tidak mengikat secara hukum. Tidak ada sanksi tegas bagi negara yang gagal mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC), yaitu janji nasional untuk mengurangi emisi. Hal ini menyebabkan banyak negara tetap mempertahankan kebijakan yang tidak sejalan dengan komitmen mereka, seperti tetap memberikan subsidi bagi bahan bakar fosil dan memperluas industri berbasis karbon.
Selain itu, janji negara maju untuk memberikan dana setidaknya $100 miliar per tahun kepada negara berkembang untuk mendukung transisi energi hijau juga belum sepenuhnya terealisasi. Ketidakpastian pendanaan ini membuat banyak negara berkembang kesulitan untuk beralih ke energi ramah lingkungan, sementara negara maju masih terus menunda aksi konkret.
ADVERTISEMENT
Antara Solusi dan Sekadar Janji
Baik Protokol Kyoto maupun Paris Agreement memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kyoto memberikan dasar regulasi yang lebih mengikat tetapi kurang efektif dalam penerapannya. Paris Agreement lebih inklusif, tetapi kurang memiliki mekanisme penegakan yang kuat.
Hingga kini, emisi global masih terus meningkat, dan suhu bumi semakin mendekati batas kritis yang ditetapkan dalam Paris Agreement. Beberapa negara memang telah membuat kemajuan dalam transisi ke energi hijau, tetapi secara keseluruhan, upaya ini masih jauh dari cukup. Banyak negara masih lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dibandingkan dengan investasi besar dalam energi bersih yang memberikan dampak jangka panjang.
Jika negara-negara dunia benar-benar ingin menjadikan Paris Agreement sebagai solusi, maka perlu adanya langkah konkret yang lebih tegas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membuat aturan yang lebih mengikat dengan sanksi bagi negara yang gagal memenuhi target emisi mereka. Selain itu, transisi energi harus dipercepat dengan investasi lebih besar dalam teknologi hijau seperti tenaga surya, angin, dan hidrogen. Pendanaan iklim yang dijanjikan juga harus benar-benar terealisasi agar negara berkembang memiliki sumber daya yang cukup untuk mengurangi emisi mereka. Tidak kalah penting, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan agar negara-negara tidak hanya memberikan janji tanpa tindakan nyata, tetapi benar-benar melaksanakan komitmen mereka untuk menyelamatkan lingkungan global.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Protokol Kyoto dan Paris Agreement merupakan langkah penting dalam upaya global menangani perubahan iklim, tetapi keduanya masih jauh dari sempurna. Tanpa tindakan nyata yang lebih berani dan mekanisme yang lebih kuat, perjanjian ini berisiko menjadi sekadar janji tanpa dampak signifikan.
Keberhasilan Paris Agreement kini bergantung pada komitmen politik dan aksi nyata dari negara-negara dunia. Jika terus berjalan seperti saat ini, target pembatasan suhu global mungkin tidak akan tercapai, dan dampak perubahan iklim akan semakin parah. Oleh karena itu, dunia membutuhkan lebih dari sekadar janji, dunia membutuhkan aksi nyata dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelamatkan bumi bagi generasi mendatang.