Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tantangan Tata Kelola Global di Era Multipolar
30 April 2025 9:27 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fani Azki Rizqiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tata kelola global saat ini menghadapi transformasi besar akibat perubahan struktur kekuasaan internasional. Peralihan dari tatanan unipolar ke multipolar menciptakan dinamika baru dalam hubungan antarnegara, memperumit koordinasi, dan menguji efektivitas institusi multilateral yang selama ini menjadi pilar utama. Dalam situasi ini, tantangan terhadap tata kelola global tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga konseptual, mengingat kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi norma, nilai, dan mekanisme kerja sama internasional yang relevan dengan realitas kontemporer.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian Politik dan Rivalitas Kekuatan Besar
Ketegangan geopolitik antara kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, memperburuk fragmentasi dalam tata kelola global. Rivalitas ini sering mempolitisasi lembaga-lembaga internasional yang semestinya netral, seperti PBB, WTO, dan WHO. Ketidakmampuan aktor-aktor utama dunia untuk membangun konsensus memperlambat respons terhadap krisis global, mulai dari perubahan iklim hingga pandemi.
Dalam konteks ini, forum-forum baru seperti BRICS dan G20 menjadi ajang kompetisi pengaruh, bukannya platform koordinasi efektif. Ketidakstabilan ini memperbesar risiko vakum kepemimpinan global yang dapat menurunkan efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa internasional.
Keterbatasan Lembaga Multilateral
Institusi multilateral yang dibentuk pasca-Perang Dunia II semakin menunjukkan ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan zaman. Struktur yang didominasi oleh negara-negara tertentu, seperti hak veto di Dewan Keamanan PBB, sering kali menghambat keputusan kolektif yang dibutuhkan untuk menangani isu-isu global.
ADVERTISEMENT
Selain masalah struktur, kurangnya legitimasi juga menjadi persoalan serius. Banyak negara berkembang merasa bahwa lembaga-lembaga internasional tidak merepresentasikan aspirasi mereka secara adil. Hal ini mendorong munculnya inisiatif baru di luar kerangka multilateral formal, namun pada saat yang sama melemahkan konsistensi aturan global.
Krisis Kepercayaan terhadap Tata Kelola Global
Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga internasional mengalami penurunan tajam. Pandemi COVID-19 memperlihatkan kelemahan WHO dalam menavigasi tekanan politik, sementara kegagalan dalam mengatasi perubahan iklim menunjukkan keterbatasan COP dan mekanisme lingkungan lainnya.
Krisis kepercayaan ini diperparah oleh maraknya informasi yang salah, populisme, dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap globalisasi. Negara-negara lebih memilih kebijakan inward-looking, memprioritaskan kepentingan nasional jangka pendek dibandingkan kerja sama global jangka panjang. Akibatnya, solidaritas internasional yang menjadi fondasi tata kelola global melemah secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Ketidaksetaraan Global yang Semakin Melebar
Tata kelola global gagal mengatasi ketimpangan pembangunan yang melebar antar dan intra negara. Negara-negara berkembang menghadapi kesulitan dalam mengakses vaksin, teknologi hijau, dan pembiayaan pembangunan berkelanjutan, sementara negara maju memperkuat posisi mereka melalui kontrol atas inovasi dan sumber daya.
Ketidakadilan ini menghambat upaya kolektif untuk mencapai tujuan pembangunan global, seperti Sustainable Development Goals (SDGs). Ketika ketidaksetaraan struktural ini tidak diatasi, legitimasi tata kelola global semakin tergerus, mendorong fragmentasi dan munculnya blok-blok regional baru.
Adaptasi dan Inovasi dalam Tata Kelola Global
Meskipun tantangan besar, ada peluang untuk membangun sistem tata kelola global yang lebih inklusif dan adaptif. Reformasi struktur lembaga multilateral, seperti perluasan keanggotaan Dewan Keamanan PBB atau pembaruan mekanisme voting IMF, menjadi agenda mendesak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, inovasi dalam bentuk koalisi berbasis isu (issue-based coalitions) di luar struktur multilateral tradisional menunjukkan potensi baru. Inisiatif seperti Paris Peace Forum dan Climate Action Summit menjadi contoh bagaimana aktor non-negara mulai dari organisasi masyarakat sipil hingga sektor swasta berperan aktif dalam mendefinisikan tata kelola global masa depan.
Penguatan norma inklusivitas, transparansi, dan akuntabilitas juga menjadi fondasi penting untuk membangun kembali kepercayaan terhadap lembaga-lembaga global. Pendekatan berbasis konsensus dan berbagi tanggung jawab menjadi kunci untuk menjawab tantangan dunia multipolar yang semakin kompleks.
Kesimpulan
Tata kelola global di era multipolar menghadapi ujian besar, mulai dari rivalitas geopolitik, keterbatasan institusional, krisis kepercayaan, hingga ketidaksetaraan global. Namun, dalam setiap tantangan terkandung peluang untuk membangun sistem baru yang lebih representatif, adil, dan efektif.
ADVERTISEMENT
Dengan mengedepankan reformasi, inovasi, serta pendekatan kolaboratif lintas aktor, komunitas internasional dapat mengatasi dinamika baru ini. Tatanan global yang berhasil beradaptasi dengan realitas multipolar bukan hanya akan menghindari kekacauan, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan yang lebih stabil, damai, dan inklusif bagi seluruh umat manusia.