Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menjaga Warisan Budaya Jepang di Tengah Arus Modern
17 April 2025 18:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fania Tiara Berliana Marsyanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jepang dikenal sebagai negara yang berhasil memadukan modernisasi dengan pelestarian tradisi budaya. Di tengah arus globalisasi dan urbanisasi yang semakin masif sejak era Meiji, Jepang tetap menunjukkan komitmennya dalam menjaga kelestarian warisan budaya, baik yang bersifat benda maupun tak benda. Pemerintah Jepang mengembangkan sistem konservasi yang terstruktur dengan mengacu pada nilai sejarah, artistik, dan ilmiah yang terkandung dalam setiap objek budaya. Sistem ini mencakup penetapan properti budaya, registrasi bangunan bersejarah, pelestarian kawasan, serta perlindungan terhadap seni dan tradisi lokal. Selain melibatkan peran aktif masyarakat dan seniman, upaya pelestarian ini juga diperkuat melalui kerja sama internasional seperti kemitraan dengan UNESCO.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Budaya Benda: Penetapan, Registrasi, dan Kawasan
Dalam ranah budaya benda, pemerintah Jepang menetapkan bangunan dan artefak bernilai tinggi sebagai Properti Budaya Penting (重要文化財, Juuyou Bunkazai) atau bahkan sebagai Harta Nasional (国宝, Kokuhou). Objek yang masuk dalam kategori ini, seperti kastil, kuil, dan karya seni, dilindungi dengan ketat. Pemiliknya dilarang menghancurkan atau memindahkan objek tanpa izin, serta diwajibkan melaporkan setiap perubahan kepemilikan atau kerusakan. Pemerintah memberikan subsidi untuk pemeliharaan dan restorasi guna menjaga keaslian objek tersebut (Kakiuchi, 2014).
Sebagai pelengkap sistem penetapan, sejak 1 Oktober 1996 Jepang memperkenalkan mekanisme registrasi bangunan bersejarah. Sistem ini menawarkan perlindungan yang lebih fleksibel dengan tetap mempertahankan nilai historis bangunan. Bangunan yang berusia minimal lima puluh tahun dan memiliki nilai arsitektur unik dapat didaftarkan. Pemiliknya berhak mendapatkan keringanan pajak serta izin restorasi yang memungkinkan adaptasi fungsi bangunan, seperti menjadi kafe atau museum, tanpa kehilangan nilai budayanya.
ADVERTISEMENT
Pelestarian budaya benda tidak hanya menyasar objek individual, tetapi juga kawasan bersejarah dan lingkungan alam. Genbaku Dome di Hiroshima, misalnya, dilindungi sebagai Situs Bersejarah, sementara desa tradisional Shirakawa-go ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Arsitektur Tradisional. Pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelindungan melalui perencanaan tata ruang, dan pemerintah pusat memberikan insentif finansial untuk membantu masyarakat setempat merawat keaslian lingkungan mereka. Pelestarian ini tidak hanya mempertahankan keindahan visual, tetapi juga menjaga kesinambungan sejarah dan identitas sosial masyarakat di sekitarnya (Karan, 2005).
Perlindungan Budaya Tak Benda: Warisan Hidup, Teknik, dan Spiritualitas
Dalam ranah budaya tak benda, Jepang menetapkan seni pertunjukan klasik seperti Kabuki, Noh, Bunraku, serta upacara minum teh sebagai Properti Budaya Tak Benda Penting (重要無形文化財, Juuyou Mukei Bunkazai). Para seniman unggul dalam bidang ini dapat menerima gelar Harta Nasional Hidup (人間国宝, Ningen Kokuhou) dan memperoleh dukungan dana dari pemerintah. Selain menjaga kualitas seni, sistem ini juga memastikan adanya proses regenerasi melalui pelatihan bagi generasi muda.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga melindungi praktik budaya masyarakat seperti festival Gion dan berbagai tarian tradisional melalui kategori Properti Budaya Rakyat Tak Benda (無形民俗文化財, Mukei Minzoku Bunkazai). Kegiatan ini didokumentasikan secara resmi dan komunitas lokal menerima bantuan keuangan agar tradisi tersebut tetap lestari di tengah perubahan zaman. Tradisi rakyat menjadi penyangga identitas komunitas dan memperkuat ikatan sosial antarwarga di daerah-daerah yang masih mempertahankan kearifan lokal.
Teknik tradisional seperti pembuatan pedang katana, kerajinan keramik, tekstil, dan konstruksi kayu kuil turut menjadi bagian dari pelestarian. Pemerintah memberikan subsidi serta pelatihan untuk memastikan bahwa keterampilan ini tetap hidup dan dapat diwariskan. Teknik ini bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga menjadi identitas budaya yang mengakar kuat dalam sejarah Jepang.
ADVERTISEMENT
Ito (2001) menjelaskan bahwa teknik konstruksi tradisional seperti penggunaan alat ukur kuno, metode penggabungan kayu tanpa paku, dan teknik eaves (kiku) mencerminkan pencapaian spiritual dan formalitas tinggi dalam budaya Jepang. Teknik seperti kiwari (pengukuran proporsional bangunan) dan penggunaan alat ukur berbentuk L dengan skala tertentu menjadi contoh konkret bagaimana keterampilan membangun merupakan bagian dari warisan budaya tak benda. Keunikan cara tukang Jepang menarik gergaji dan serutan kayu dengan cara ditarik, bukan didorong, menunjukkan bahwa kebiasaan turun-temurun pun menjadi bagian penting dari identitas budaya.
Dampak Ekonomi dan Pemanfaatan Budaya secara Berkelanjutan
Selain menjaga nilai-nilai tradisional, pelestarian warisan budaya di Jepang juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut Karan (2005), konservasi situs budaya dan kawasan tradisional telah memicu peningkatan aktivitas pariwisata domestik maupun internasional, terutama di wilayah yang sebelumnya mengalami penurunan populasi dan stagnasi ekonomi. Festival-festival tradisional yang dilestarikan, misalnya, menjadi daya tarik utama bagi wisatawan dan mendukung perekonomian lokal melalui sektor perhotelan, kuliner, dan kerajinan tangan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pelestarian juga berperan dalam menciptakan ruang alternatif untuk pengembangan wilayah. Pemerintah daerah mengadaptasi bangunan bersejarah menjadi fasilitas umum seperti museum, galeri seni, hingga pusat komunitas yang aktif digunakan masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya melestarikan nilai estetika dan sejarah bangunan, tetapi juga memberi kehidupan baru bagi wilayah yang semula terpinggirkan. Dalam konteks ini, konservasi budaya menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang menggabungkan perlindungan warisan dengan pemanfaatan ekonomi dan sosial (Karan, 2005).
Untuk memperkuat konservasi, Jepang menyediakan berbagai bentuk insentif, seperti pemotongan pajak dan hibah untuk perawatan. Selain itu, sejak meratifikasi World Heritage Convention pada tahun 1992, Jepang menjalin kerja sama dengan UNESCO. Situs seperti Kuil Himeji menjadi contoh bagaimana pengakuan internasional turut memperkuat pelestarian dan meningkatkan minat wisata budaya, yang pada akhirnya berdampak positif secara ekonomi dan sosial.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin penting dari gagasan Ito (2001) adalah bahwa warisan budaya tak benda selalu hadir di balik objek budaya benda. Dalam praktik konstruksi, pemilihan bentuk bangunan, ukuran geometris, dan teknik pertukangan menjadi cerminan dari nilai-nilai filosofis dan spiritual masyarakat. Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah tidak cukup hanya dengan melindungi fisiknya. Penting bagi Jepang untuk terus mempertahankan pengetahuan, teknik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi proses penciptaan bangunan tersebut. Ia menegaskan bahwa kita harus berhati-hati untuk tidak secara sembarangan mengaitkan makna benda budaya hanya dari sisi visual, tanpa memahami dimensi tak benda yang melekat di baliknya.
Secara keseluruhan, sistem konservasi budaya di Jepang merupakan upaya terkoordinasi yang menggabungkan perlindungan, pemanfaatan adaptif, dan pemberdayaan komunitas. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya bukanlah hambatan bagi kemajuan, tetapi merupakan bagian penting dari pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada nilai, identitas, dan kebanggaan nasional.
ADVERTISEMENT