Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Teka-Teki Hukum: Bingkai Kacamata yang Tertuduh
30 Juni 2023 19:39 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Afanin Hazimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kecaman adalah wajar diperuntukkan terhadap pelaku kejahatan. Begitu yang kini marak terjadi di tengah masyarakat. Perasaan kecewa, kesal, marah, hingga ingin turut serta memperjuangkan penderitaan yang bersalah seolah sudah bersarang pada diri sekelompok manusia terhadap kasus kejahatan yang ada. Salah satunya adalah kasus korupsi yang kian hari menyulut amarah kalangan manapun.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, apabila terjadi di negara penegak hukum. Di Indonesia contohnya, perbuatan korupsi sudah tergolong kejahatan luar biasa. Tidak lain dan bukan tanpa sebab tentunya, karena dampak yang tercipta akan sangat merugikan secara luas dan sangat berbahaya. Sayangnya, kasus korupsi ini justru tetap tumbuh bagai tanaman yang dirawat sebaik-baiknya. Ditambah dengan keadaan hukum yang belum sepenuhnya berfungsi dalam upaya pemberantasan.
Oleh karena setiap tahunnya dapat dipastikan selalu ada kasus korupsi yang menggegerkan negara, bahkan mungkin sudah tidak terhitung lagi tulisan yang menyinggung kasus tanpa ujung ini. Salah satunya menjadi topik dalam karya sastra. Lebih tepatnya lagi, seperti pada cerpen berjudul “Musibah” karya Jujur Prananto yang menjadi salah satu cerpen terpilih Kompas pada tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Cerpen ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Budiman yang menyaksikan salah satu kerabat “terdekatnya” terlibat kasus-kasus korupsi. Singkatnya, bak tersambar petir bagi Budiman ketika Pakde Muhargo -pamannya- yang sangat ia kagumi dan jadikan panutan justru diringkus paksa oleh aparat dan ditahan seperti gelandangan dalam penjara. Meskipun diceritakan hanya sampai kasus ini masih sedang dalam proses pemeriksaan dan belum ada keputusan pasti. Namun, banyak hal menarik yang Jujur siratkan dalam cerpen ini.
Pertama, cerpen ini dapat dikatakan cukup berani dalam menyajikan persoalan yang terbilang sensitif dan sangat dekat dengan realitas. Dapat dilihat dari permasalahannya yang memang fokus terkait seorang pelaku terduga kasus korupsi, dengan membungkus sudut pandang dari orang terdekat dan lingkungan sekitar pelaku. Dengan begitu, sejak awal, cerpen ini dapat membuat pembaca seolah masuk ke dalam puncak masalah cerita, lalu ceritanya diselesaikan secara perlahan-lahan.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi yang diikuti pemberitaan hangat di televisi pada cerita ini sama halnya dengan yang terjadi di kehidupan sebenarnya. Berangkat dari latar tahun pembuatan cerpen yakni pada tahun 2006 dan berdasarkan beberapa literasi yang memberitakan kasus korupsi menyatakan bahwa pada tahun tersebut kerugian negara akibat kasus korupsi yang ada semakin melonjak hingga menyentuh angka triliunan, meskipun jumlah kasusnya justru menurun pada angka 160-an. Tentu pada saat itu media menyajikan berita-berita hangat dari kasus-kasus yang terjadi. Hal ini mampu membuat cerpen ini semakin tampak berani dan sebagai bentuk tamparan atas realitas yang terjadi.
Kedua, karakterisasi seorang pelaku kejahatan yang dibentuk justru jadi lebih baik dari yang umumnya dikenal oleh khalayak luas. Akan tetapi, hal yang biasanya terjadi di lapangan justru pelaku tindak korupsi akan kehilangan rasa simpati hingga tumbuhnya sikap antipati dari masyarakat. Tidak juga berbeda antara masyarakat kota maupun pedesaan, sama-sama membenci, mengecam, bahkan menolak kehadiran pelaku tindak korupsi. Namun uniknya cerpen ini justru mengambil sudut pandang bahwa pelaku tindak korupsi meskipun masih status “terduga”, justru ditonjolkan sisi-sisi kebaikan dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa jadi kejanggalan yang kemudian dapat disimpulkan maksud yang hendak disampaikan. Tampak dari narasi cerita dan dialog antartokoh yang menjadi kekuatan dugaan kebaikan yang ditonjolkan. Mulai dari tokoh Pakde Muhargo yang digambarkan memiliki perhatian dan peduli terhadap kesusilaan dan pertahanan moral. Pendeskripsian tuntutan hukum terhadap tokoh Pakde yang dikemas seolah itu hanyalah tuduhan dari orang-orang yang menyimpan dendam dan benci.
Penggambaran sikap dari pihak lain yang justru memanfaatkan tuntutan terhadap tokoh Pakde untuk mengambil keuntungan. Penyebutan kebaikan-kebaikan tokoh Pakde terhadap keluarga, orang yang bekerja dengannya, dan orang-orang di sekitarnya, serta perjuangan Pakde dalam menjalani sulitnya kehidupan. Bahkan adanya argumen-argumen dari Bude (istri Pakde) yang selalu meyakinkan bahwa Pakde dituduh semata dan tidak benar-benar berbuat.
ADVERTISEMENT
Di samping itu semua yang telah disajikan, cerpen ini justru secara apik juga menyandingkan dengan fakta-fakta yang mengejutkan. Fakta-fakta yang seolah menjadi bumerang bagi bingkai kebaikan yang sudah dibangun tokoh keluarga Pakde. Sejak narasi yang menyatakan bahwa Bude Muhargo dirawat di paviliun VVIP sebuah rumah sakit internasional, tetapi ternyata keadaan sebenarnya sangat bertolak. Bude dalam keadaan baik-baik saja dan berada di sana hanya untuk terbebas dari kejaran wartawan.
Bukti-bukti kekayaan yang dimiliki keluarga Muhargo, seperti kepemilikan rumah dan apartemen di daerah yang berbeda, Mercy seri 600, penggunaan fasilitas istimewa golongan VIP (parkir di bandara) dan VVIP (paviliun rumah sakit), kepemilikan beberapa deposit box, tabungan uang dengan mata uang rupiah dan asing (US dollar) dalam jumlah yang sangat banyak, hingga keberangkatan ke New York dan anak perempuannya berkuliah S3 di sana. Logikanya, seorang pejabat atau orang yang memegang jabatan tinggi apabila memiliki kekayaan yang hampir “tidak wajar” itu akan menjadi wajar untuk dilakukan pemeriksaan bahkan diduga terlibat kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Penciptaan karakter tokoh, penambahan argumen yang menonjolkan kebaikan pelaku karena dari sudut pandang keluarga pelaku, serta penambahan “tanda” tersirat yang dapat menjadi bahan analisis dan pembanding bagi pembaca seolah menjadi suatu teka-teki bagi pembaca dalam mencari (penyimpulan) kunci (maksud) cerita. Selain itu, cerpen ini juga berhasil menggambarkan hukum di Indonesia bak teka-teki dan penuh dinamika, sebab adanya ketidakjelasan dan mungkin juga ketidaktegasan dari penegakan hukum, khususnya di Indonesia.
Ketiga, keterbatasan gerak yang juga berdampak kepada keluarga dan orang-orang sekitar pelaku tindak korupsi. Hal ini dapat dikatakan juga sebagai realitas yang dimasukkan ke dalam cerita. Penggambaran kondisi keluarga dari pelaku yang tidak memiliki ruang gerak sebebas sebelumnya memang sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat. Dalam cerpen ini, berhasil menggambarkan bagaimana keadaan itu seolah menjadi suatu dampak yang sudah terikat pada kasus kejahatan, termasuk korupsi ini.
ADVERTISEMENT
Dalam cerita, dijelaskan melalui bagaimana diskusi Budiman dan Bude untuk menentukan di mana tempat yang aman untuk “terhindar” dari kejaran wartawan selama kasus Pakde Muhargo belum selesai. Hal ini selaras dengan keadaan sebenarnya ketika adanya kasus korupsi, tidak jarang akan ada berita mengenai keberadaan keluarga atau kerabat pelaku, di antaranya ada yang berada bertahan di kediamannya, tiba-tiba ada di luar kota dan luar negeri, hingga diberitakan sedang berada di rumah sakit atau dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Begitu pula dengan penulis yang memasukkan unsur seperti ini bukan tanpa maksud.
Hal-hal menarik lainnya sebetulnya secara keseluruhan sudah terjelaskan melalui alur dan percakapan, serta hubungan sebab-akibat yang muncul. Namun selain hal menarik, cerpen ini juga memiliki kekurangan dari pengemasan akhir cerita. Tampak cerita ini diakhiri dengan tanpa kejelasan mengenai kasus Pakde ataupun hal yang akan dilakukan Budiman setelahnya.
ADVERTISEMENT
Akhir cerita ini dapat membuat pembaca kurang puas karena ingin mengetahui kelanjutan dari alur tersebut. Seolah-seolah pembaca saat membaca cerita rasanya sedang melihat atraksi yang mendebarkan, tetapi tiba-tiba pertunjukan selesai tanpa melihat bagaimana si pelaku atraksi menyelesaikannya. Meskipun di sisi lain cerita ini ditutup dengan sebuah kalimat akhir sebagai argumen yang “mengigit”. Bahkan sampai akhir, kasus korupsi memiliki pandangan yang berbeda apabila dilihat dari bingkai yang tertuduh.