Gelombang Panas, Krisis Iklim, dan Implementasi Persetujuan Paris 2015

M Irfan Dwi Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
25 Juli 2022 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Irfan Dwi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi krisis iklim akibat emisi gas rumah kaca. (Sumber: pixabay.com/TheDigitalArtist)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi krisis iklim akibat emisi gas rumah kaca. (Sumber: pixabay.com/TheDigitalArtist)
ADVERTISEMENT
Bencana gelombang panas mengejutkan dunia beberapa waktu belakangan ini. Sejumlah negara di Eropa seperti Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, dan Portugal mengalami peningkatan suhu di atas 40 derajat celsius. Bahkan, gelombang panas di Prancis dan Spanyol menyebabkan kebakaran hutan yang menciptakan kerugian di berbagai bidang. Lahan pertanian terbakar, ribuan orang mengungsi, hingga ratusan spesies makhluk hidup kehilangan habitat menjadi segelintir dampak masif dari kebakaran hutan akibat gelombang panas ini (Kirby, 2022).
ADVERTISEMENT
Fenomena serupa juga melanda Negeri Tirai Bambu. Sejumlah kota seperti Shanghai, Chongqing, dan Nanjing mencatat kenaikan suhu yang sangat signifikan pada musim panas tahun ini. Hal ini menyebabkan setidaknya 86 otoritas kota setempat mengeluarkan peringatan bahaya. Sementara itu, beberapa negara bagian di wilayah tengah Amerika Serikat juga mencatat suhu di atas 40 derajat celsius beberapa waktu belakangan ini (Ni dkk., 2022).
Gelombang panas ini merupakan satu dari sekian banyak implikasi krisis iklim yang melanda bumi pasca-Revolusi Industri. Pemanasan global akibat pembakaran karbon yang berlebihan membuat bumi semakin panas setiap tahunnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NASA’s Goddard Institute for Space Studies (GISS), bumi setidaknya telah mengalami kenaikan 1,1 derajat celsius sejak tahun 1880 ketika manusia mulai melakukan pembakaran karbon secara masif.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk menekan krisis secara internasional sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1961 dalam Sidang Umum PBB yang mengeluarkan Resolusi 1721 (XVI). Resolusi ini melahirkan World Meteorological Organization (WMO) World Weather Watch (WMO-WWW) dan WMO-International Science Council (ICSU) Global Athmosperic Research Programme. Pertemuan tersebut menjadi titik start riset-riset yang berhubungan dengan iklim dan atmosfer.
Sejumlah kerangka hukum internasional kemudian lahir sebagai tindak lanjut dari hasil Sidang Umum PBB 1961. Beberapa di antaranya adalah Deklarasi Stockholm 1972, Protokol Montreal 1987, Deklarasi Rio 1992, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB 1992, Protokol Kyoto 1997, hingga yang paling terbaru adalah Persetujuan Paris 2015.
Di dalam Pasal 2 Persetujuan Paris 2015, tujuan besar yang akan dicapai secara global oleh negara-negara di dunia adalah menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius sejak era Revolusi Industri dan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius sejak era Revolusi Industri. Hingga hari ini, sebanyak 192 negara dan Uni Eropa telah menandatangani perjanjian ini sebagai upaya mengatasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Para pihak yang menandatangani Persetujuan Paris memiliki obligasi untuk menurunkan jumlah emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan. Sayangnya, perjanjian ini tidak menetapkan target jumlah emisi yang harus diturunkan secara kuantitatif. Perjanjian ini hanya memandatkan para pihak untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secepat mungkin sesuai dengan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia.
Meskipun demikian, PBB menetapkan net-zero terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca ini. Net-zero adalah target penurunan emisi gas rumah kaca yang sebisa mungkin hingga menyentuh angka nol pada tahun 2050 mendatang. Pada tahun 2030, PBB menargetkan setidaknya 45 persen emisi gas rumah kaca global harus dipangkas untuk mencapai target net-zero pada tahun 2050.
Pada pelaksanaannya, para pihak yang menandatangani persetujuan ini wajib menentukan target dan melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah kaca di negaranya. Target dan upaya ini termuat dalam rencana aksi iklim yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC) yang dilaporkan setiap lima tahun sekali kepada PBB.
ADVERTISEMENT
Negara-negara penghasil emisi gas rumah terbesar seperti Amerika Serikat, China, dan India telah menetapkan target mereka dalam NDC. Amerika Serikat menetapkan 26-28 persen penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2025, China menargetkan penurunan selambat-lambatnya pada tahun 2030, sementara India menargetkan penurunan sebanyak 33-35 persen pada tahun 2030. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai 10 besar negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki tanggung jawab yang besar dalam upaya penanganan krisis iklim. Pada implementasinya, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris 2015 dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Selain itu, di dalam rencana aksi iklimnya, Indonesia juga telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030 dibandingkan skenario business as usual (BAU).
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini, penggunaan energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil yang emisinya berkontribusi besar bagi krisis iklim. Angkanya hampir 90 persen dari bauran energi secara keseluruhan. Sementara itu, pemerintah menargetkan penggunaan 23 persen energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 mendatang. Permasalahannya, saat ini persentase penggunaan EBT dalam bauran energi hanyalah 11,7 persen. Mampukah Indonesia mencapai target tersebut hanya dalam jangka waktu tiga tahun?
Tentu dibutuhkan upaya yang konkret dari berbagai pihak untuk mencapai target tersebut. Pemerintah harus gencar membangun infrakstruktur penghasil energi dari EBT, bukan malah sebaliknya dengan membuka PLTU yang menggunakan batu bara. Di sisi lain, para pengusaha energi fosil juga harus menyadari bahwa keberlangsungan kehidupan di bumi jauh lebih penting dari keberlangsungan usaha yang mereka jalankan.
ADVERTISEMENT
Kita umat manusia yang hidup saat ini memiliki kewajiban untuk mewariskan bumi kepada generasi yang akan datang dalam keadaan sebagaimana bumi diwariskan kepada kita dahulu. Hanya keberlangsungan spesies kitalah yang akan menjadi jejak eksistensi kita di bumi dan satu-satunya cara untuk menjamin hal tersebut adalah dengan menjaga rumah kita sebaik-baiknya.
Referensi:
Asian Development Bank. Climate Change, Coming Soon to A Court Near You: International Climate Change Legal Frameworks. Manila: ADB, 2020.
Kirby, Paul. "Heatwave: Ferocious European heat heads north." https://www.bbc.com/news/world-europe-62216159. Diakses 24 Juli 2022.
Ni, Vincent, Sam Jones, dan Nina Lakhani. "Dangerous heatwaves engulf parts of China, US and Europe." https://www.theguardian.com/world/2022/jul/12/dangerous-heatwaves-engulf-parts-china-us-europe. Diakses 24 Juli 2022.