Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Perayaan Imlek dan Romantisnya Hubungan Gus Dur dengan Masyarakat Tionghoa
29 Januari 2022 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Irfan Dwi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perayaan tahun baru Imlek akan tiba dalam beberapa hari. Gegap gempita suasananya sudah dapat dirasakan sejak beberapa hari ke belakang.
ADVERTISEMENT
Ornamen-ornamen khas Imlek seperti lampion merah mulai menghiasi sudut-sudut pusat perbelanjaan dan kawasan dengan konsentrasi penduduk Tionghoa atau yang kerap disebut sebagai pecinan.
Terlepas dari riuhnya perayaan Imlek saat ini, perayaan Imlek di Indonesia ternyata pernah dilarang selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru. Pelarangan ini tidak terlepas dari kebijakan asimilasi ala Orde Baru yang menginginkan masyarakat Tionghoa untuk berbaur dengan penduduk 'asli'.
Pelarangan ini bahkan memiliki dasar hukum yang termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Di dalam peraturan tersebut, masyarakat Tionghoa dilarang untuk merayakan Imlek di muka umum layaknya sekarang ini.
Hadirnya peraturan tersebut tentu mendiskriminasi masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi bagian dari Indonesia sejak ratusan abad sebelumnya. Menurut sejarawan J.C. van Leur, masyarakat Tionghoa sudah menjalin hubungan dagang dan bermukim di Indonesia sejak masa awal masehi.
ADVERTISEMENT
Pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia, masyarakat Tionghoa ditempatkan sebagai kelas kedua dalam strata sosial penduduk Hindia Belanda bersama dengan orang India, Pakistan, dan Arab yang disebut sebagai golongan Timur Asing. Selain itu, pemerintah kolonial juga membangun permukiman tersendiri bagi masyarakat Tionghoa yang kemudian dikenal sebagai pecinan.
Kebijakan-kebijakan tersebut melahirkan kesan bahwa masyarakat Tionghoa bersifat eksklusif dan tertutup terhadap kelompok masyarakat lainnya. Stereotip dan berbagai label kemudian disematkan kepada mereka yang di kemudian hari melahirkan rasisme struktural di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan dikeluarkannya Inpres No. 14 Tahun 1967 yang semakin mengucilkan masyarakat Tionghoa dari pergaulan sosial di masyarakat.
Selama lebih dari tiga dekade masyarakat Tionghoa hidup di bawah kebijakan asimilasi ala Orde Baru yang berusaha mengikis identitas mereka. Selama masa itu pula hari raya Imlek dan perayaan keagamaan lainnya dilarang untuk dirayakan di muka publik. Perayaan Imlek hanya dilakukan secara privat di lingkungan keluarga Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Masa Reformasi menjadi secercah harapan baru bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Setelah 32 tahun berada di bawah rezim otoriter, Indonesia akhirnya menghirup udara segar demokrasi dengan lengsernya Orde Baru.
Angin segar demokrasi pun turut dirasakan oleh masyarakat Tionghoa yang sebelumnya dipaksa untuk berasimilasi dengan masyarakat lain dan menghilangkan identitas aslinya. Melalui Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, Presiden B.J. Habibie mencabut berbagai aturan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa. Selain itu, Reformasi juga melahirkan kelompok-kelompok sosial-politik Tionghoa yang membawa ekspresi budaya Tionghoa ke khalayak umum.
Budaya Tionghoa di Tanah Air semakin mendapatkan tempat ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden menggantikan B.J. Habibie. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur memperkenalkan konsep pluralisme dalam kehidupan bernegara. Konsep ini pada hakikatnya mengakui semua suku di Indonesia sebagai orang Indonesia tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT
Melalui konsep ini juga Gus Dur mencoba menghapus anggapan bahwa masyarakat Tionghoa adalah bangsa asing atau non-pribumi. Larangan bagi masyarakat Tionghoa yang termuat dalam Inpres No. 14 Tahun 1967 kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 6 Tahun 2000 yang memperbolehkan masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kepercayaan dan kebudayaannya.
Masyarakat Tionghoa yang sebelumnya terbelenggu dengan aturan-aturan diskriminatif, kini dapat mengekspresikan kebudayaannya dengan lebih bebas. Setahun setelah memberi pengakuan kepada kelompok masyarakat Tionghoa, melalui Keppres No. 9 Tahun 2001 Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif.
Hari raya Imlek kemudian diresmikan sebagai hari libur nasional oleh Megawati melalui Keppres No. 19 Tahun 2002. Sosok Gus Dur dengan konsep pluralisme kebangsaannya menjadi sejarah baru bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sosoknya yang humanis melahirkan kecintaan dari komunitas Tionghoa kepada dirinya.
ADVERTISEMENT
Di kalangan masyarakat Tionghoa, Gus Dur bahkan dijuluki sebagai "Bapak Tionghoa." Setelah wafatnya beliau pada 2009 silam, masyarakat Tionghoa di Surabaya menempatkan fotonya di Kelenteng Boen Bio sebagai bentuk penghormatan terhadap sosoknya yang berjasa bagi masyarakat Tionghoa.
Meskipun sosoknya kini sudah tiada, Gus Dur tetap terpatri dalam ingatan masyarakat Tionghoa sebagai figur yang berjasa. Berkat Gus Dur hari raya Imlek kini dapat dirayakan di depan umum layaknya hari raya agama lain. Berkat beliau masyarakat umum dapat menikmati penampilan kesenian barongsai dan ornamen-ornamen cantik khas Imlek di ruang publik. Berkat beliau pula masyarakat umum dapat merasakan potongan harga khusus ketika perayaan Imlek tiba.
Referensi:
Al Qurtuby, Sumanto dan Tedi Kholiludin. eds. Tionghoa dan Budaya Nusantara. Semarang: eLSA Press, 2021.
ADVERTISEMENT
Firdausi, Fadrik Aziz. "Sejarah Perayaan Imlek: Dilarang Soeharto, Dibebaskan Gus Dur." https://tirto.id/sejarah-perayaan-imlek-dilarang-soeharto-dibebaskan-gus-dur-dfR7. Diakses pada 28 Januari 2022.
Suryadinata, Leo. "Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?" Antropologi Indonesia 71 (2003). Hlm. 1-12.
Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society. Den Haag: W. van Hoeve Publishers, 1967.