Konten dari Pengguna

Berbicara Sastra dengan Sapardi Djoko Damono

Fanisa Maghfira
Photographer Instagram: @fanisamagh. Mahasiswi UPN Veteran Jakarta
21 Oktober 2018 12:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fanisa Maghfira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berbicara Sastra dengan Sapardi Djoko Damono
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Di zaman sekarang minat baca masyarakat di Indonesia sangatlah sedikit. Banyak cara yang dilakukan oleh segelintir orang yang peduli dengan pentingnya literasi dan pendidikan di Indonesia membuat suatu terobosan untuk meningkatkan minat baca. Salah satunya adalah menggelar acara diskusi serta bazar buku.
Berbicara Sastra dengan Sapardi Djoko Damono (1)
zoom-in-whitePerbesar
The Reader Fest 2018 adalah acara yang memberikan sajian unik bagi para pembaca yang ingin membeli buku-buku menarik dengan harga “miring”. Mulai dari sepuluh ribu rupiah kalian bisa membawa pulang buku-buku terbitan yang kece pastinya.
ADVERTISEMENT
Selain memborong buku-buku, kalian juga bisa menghadiri acara talkshow dan sajian musik yang diselenggarakan di sana. Mulai dari Najwa Shihab, Maman Suherman, hingga Sapardi Djoko Damono hadir dan mengisi acara yang di selenggarakan di gedung Tjipta Niaga, Kota Tua, Jakarta. Berlangsung selama satu minggu, tangga1-7 Oktober 2018, sudah banyak orang mampir untuk mengulik-ngulik berbagai macam buku yang tersedia.
Banyak sekali momen-momen seru yang terjadi di acara ini salah satunya adalah saat talkshow tentang buku puisi. Puisi adalah salah satu karya sastra yang bisa memikat hati para pembaca. Pasti banyak dari kalian yang sangat menyukai puisi. Mulai dari puisi karya Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Amir Hamzah, dan masih banyak lagi. Tidak jarang di antara kalian para remaja mengutip puisi atau sajak-sajak milik para pengarang di Indonesia yang sangat luar biasa.
ADVERTISEMENT
Siapa sih yang tidak mengenal Sapardi Djoko Damono? Penyair kenamaan Indonesia yang sudah melalang buana di bidang sastra selama 40 tahun lebih ini baru saja menerbitkan buku yang berjudul “Perihal Gendis”. Tidak hanya membahas buku barunya tersebut, Sapardi juga berdiskusi tentang pendapatnya terhadap sastra.
Sapardi Djoko Damono (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
Puisi tidak hanya dibaca begitu saja, tetapi bisa diiringi dengan musik.“Fungsi musikalisasi puisi adalah untuk menyebarluaskan puisi itu sendiri. Sekarang mana ada orang yang mau membaca puisi di koran atau majalah, enggak kan? Sekarang sukanya itu mendengar, karena mendengarkan itu lebih indah”, ujarnya. Salah satu puisi Sapardi juga dinyanyikan di acara The Readers Fest 2018 yang dilantunkan oleh Tatyana Soebianto.
Mulai dari buku puisi sampai dijadikan film layar lebar, "Hujan Bulan Juni" menjadi karya sastra yang sangat populer. Tidak jarang orang-orang yang membicarakan novel dan filmnya.
ADVERTISEMENT
"Film dan buku tidak bisa disamakan. Film ya film, buku ya buku. Ide puisi "Aku Ingin" adalah saya lagi jatuh bangun bukan jatuh cinta, hahaha. Itu sajak yang paling populer dan juga yang membuat saya menjadi penyair", ujarnya. Sapardi juga berbicara bahwa puisi itu tidak usah dimaknai tetapi dihayati.
Para pengunjung di sana juga dapat kesempatan untuk bertanya kepada Sapardi. “Puisi yang ada di trilogi Hujan di Bulan Juni itukan puisi-puisi jadul lalu di ubah kedalam novel yang kekinian atau modern meskipun di situ ada sosok Sarwono yang kuno tapi sosok Pinkan modern banget. Kok bisa kepikiran seperti itu dan terus motivasinya apa untuk mengubah sosok tokoh Pinkan menjadi modern?” tanya salah satu pengunjung yang berasal dari Yogyakarta.
Berbicara Sastra dengan Sapardi Djoko Damono (3)
zoom-in-whitePerbesar
“Banyak sekali yang menanyakan itu dan itu penting. Saat buku itu terbit banyak yang protes, seperti mahasiswa saya dan temen-temen saya. “Kok kuno banget nama kok Sarwono, kenapa enggak Fredi atau siapa?”
ADVERTISEMENT
Lalu saya bilang, kalau saya menamakan Fredi tidak jelas dia dari mana, kalau namanya Sarwono pasti dia orang Jawa, tidak usah saya jelaskan pasti orang akan tau kalau dia orang Jawa, jadi itu taktik yang membuat saya tidak usah menjelaskan (tokoh) itu siapa. Jadi nama-nama itu penting sekali di dalam novel, tidak boleh ngawur nulisnya”, jawab Sapardi.
Jadi apa yang ditulis oleh Sapardi di dalam karya-karyanya itu sudah dipikirkan sebelumnya dan sudah mempunyai makna tersendiri.
Lalu Sapardi juga sempat menjawab pertanyaan dari penonton lainnya tentang karyanya yang paling ia sukai dan jawabannya sangat menginspirasi loh!“
"Sajak yang paling saya sukai adalah sajak yang belum saya tulis. Kalau saya sudah suka, saya berhenti nulis. Untuk apa? saya sudah suka kok! Saya selalu berpikir kalau saya harus membuat sajak yang lebih bagus lagi. Itu dorongan bagi saya dan itu tidak pernah selesai sampai sekarang.''
ADVERTISEMENT
Nah itu dia keseruan yang ada di The Readers Fest 2018. Sampai jumpa tahun depan!
(Reporter & fotografer: Fanisa Maghfira)