Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Pertentangan Hati Nurani Sang Pejuang Emansipasi Wanita
22 April 2025 8:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fannessa Andini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadiningrat (nama setelah menikah) atau dikenal sebagai Raden Ajeng Kartini adalah sosok pejuang emansipasi wanita. Perjuangannya untuk kaum perempuan agar mendapat kesetaraan dengan laki-laki dalam memperoleh hak pendidikan yang sama, menjadikan sosoknya dikenang pada hari ini, 21 April, sebagai Hari Kartini. Namun, ada fakta yang cukup menyayat hati di balik sosok Raden Ajeng Kartini yang tidak banyak orang ketahui.
ADVERTISEMENT
R.A Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan Jawa di Hindia-Belanda (kini Indonesia). Ayahnya merupakan Bupati Jepara, yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah. Dalam buku Sisi Lain Kartini, pada tahun 1885, Kartini mendapatkan pendidikan di sekolah dasar ELS (Europesche Lagere School). Sekolah ini hanya dikhususkan untuk anak-anak dari bangsa Eropa dan Hindia-Belanda. Kala itu, anak-anak yang diperbolehkan bersekolah di ELS hanya anak-anak dari kalangan bangsawan. Terkhususnya, anak dari orangtua yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan.
Sampai ketika, pada tahun 1892, Kartini lulus pendidikan dari ELS. Ia ingin sekali untuk melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Namun ayahnya tidak memperbolehkannya karena ia harus menjalani masa pingitan. Masa pingitan adalah tradisi budaya Jawa yang mengharuskan perempuan untuk diam di rumah dan tidak diperbolehkan keluar rumah sebelum menikah. Masa pingitan dilakukan ketika perempuan mendapatkan haid pertamanya.
ADVERTISEMENT
Pupusnya harapan Kartini untuk memperoleh pendidikan di HBS Semarang, diceritakan olehnya kepada teman-temannya di Eropa melalui surat. Hingga teman-temannya mengupayakan dengan meyakinkan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, namun upaya itu tidak mengubah pemikiran ayahnya.
Meskipun sedang dalam masa pingitan, Kartini tidak menyerah untuk tetap belajar tanpa seorang guru. Ia bercerita kepada ibunya, Mas Ajeng Ngasirah tentang gagasan dan cita-citanya untuk memperjuangkan hak perempuan dalam memperoleh kesetaraan yang sama seperti laki-laki. Namun ibunya menolak cita-cita yang diserukan oleh Kartini karena bertentangan dengan tradisi adat pada masa itu. Hal itu membuatnya kecewa kepada ibunya.
Dilansir dari Kumparan.com, pada tahun 1903, ketika Kartini berusia 24 tahun, ia dinikahi oleh Raden Adipati Djojoadiningrat. Dalam buku sejarah selama sekolah dulu, tidak banyak menceritakan di balik pernikahan Kartini dengan suaminya yang dipenuhi rasa sedih mendalam oleh Kartini.
ADVERTISEMENT
Kartini dinikahi oleh Raden Adipati Djojoadiningrat sebagai istri ke-empat. Di balik momentum sebelum pernikahannya, Kartini sempat menolak lamaran tersebut. Entah bagaimana rasanya menjadi perempuan yang lahir dalam kalangan bangsawan, seperti ketiban durian runtuh atau malang yang tak dapat ditolak, sebagai anak perempuan dari Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini harus menikah dengan seseorang berdarah bangsawan agar tidak mengotori garis keturunan. Karena itu, ayah Kartini memaksanya menikah dengan Raden Adipati Djojoadiningrat.
Raden Adipati Djojoadiningrat menikahi Kartini atas permintaan mendiang istrinya yang bernama Sukarmilah sebelum meninggal. Sukarmilah sangat mengagumi gagasan pemikiran Kartini sehingga meminta suaminya untuk menikahi Kartini. Harapannya, agar anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik dari sosok Pejuang Emansipasi Wanita tersebut.
ADVERTISEMENT
Terdapat pertentangan hati nurani Kartini yang memiliki prinsip menolak poligami dan di satu sisi, kebaktian dirinya kepada sang ayah yang pada saat itu sedang sakit. Sebab, Kartini tahu bagaimana rasanya tumbuh di keluarga yang menganut patriarki dan poligami. Pun, sang ayah melakukan poligami terhadap ibunya dengan memadu Raden Ajeng Woerjan yang juga keturunan bangsawan sebagai istrinya.
Dengan melewati banyaknya gejolak pertentangan hati Kartini, akhirnya ia memutuskan untuk menerima pernikahan itu dengan beberapa syarat seperti: Prosesi adat berjalan jongkok, berlutut, dan mencium kaki suami ditiadakan. Bagi Kartini, hal tersebut terkesan merendahkan perempuan; Diperbolehkan untuk tetap memperjuangkan kemajuan perempuan Hindia-Belanda; Dibuatkan sekolah khusus untuk perempuan; dan terakhir, diperbolehkan menjadi guru di Rembang.
ADVERTISEMENT
Syarat yang diberikan Kartini pun disanggupi dan dipenuhi oleh Raden Adipati Djojoadiningrat. Mereka menikah pada 12 November 1903. Namun, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Belum genap satu tahun, pada 17 September 1904, Kartini meninggal saat melahirkan anak pertamanya yang dipicu oleh preeklamsia yang dikenal sebagai penyebab umum infeksi dan pendarahan pada ibu hamil.
Atas gagasan dan perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan, Presiden Soekarno menetapkan 21 April sebagai peringatan Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasa perjuangannya. Hingga saat ini, peringatan Hari Kartini selalu dilakukan setiap tahunnya.