Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Ini Kisah Saya, Ibu Menyusui yang Berjuang Melawan COVID-19
22 Desember 2020 7:18 WIB
Tulisan dari Fany Rachmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini kisahku, ibu menyusui yang juga harus berjuang melawan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Halo, nama saya Fany Rachmawati. Usia saya 35 tahun. Saya seorang ibu dari anak berusia 8 tahun (kelas 2 SD) dan bayi berumur 4 bulan 3 minggu. Momen hari Ibu kali ini sungguh berbeda karena saya harus berjuang menjadi pejuang ASI dan penyintas Covid-19.
Profesi saya sebagai Pranata Humas Pemerintah menuntut saya untuk selalu aktif dan bertemu dengan banyak orang. Di mana seharusnya pemerintah menganjurkan untuk tinggal di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah, saya masih harus bertemu dengan banyak orang di kantor, meliput acara, menghadiri rapat-rapat dinas, menjadi narasumber dalam beberapa kegiatan kehumasan, dan belakangan sudah mulai berdinas ke luar kota.
Dengan kondisi seperti itu, saya pun selalu menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Saya selalu pakai masker begitu keluar rumah, bepergian menggunakan kendaraan pribadi, memakai face shield saat bertemu banyak orang, rajin mencuci tangan, semprot hand sanitizer, dan selalu menjaga jarak.
ADVERTISEMENT
Mungkin ya, saya sebut saja saya sedang apes. Akhirnya, virus corona tetap masuk dan menginfeksi dalam tubuh saya.
Awalnya saya merasakan cuma gejala flu biasa, badan nyeri-nyeri dan radang tenggorokan, tapi selang tiga hari kemudian saya mengalami anosmia (kehilangan daya penciuman, KBBI online). Saya berinisiatif swab mandiri, dan hasilnya saya positif terinfeksi Covid-19.
Kisah pilu itu pun berawal. Kenapa saya bilang pilu? Karena saya masih berjuang menyusui bayi saya yang baru berusia 4 bulan saat itu. Di mana kondisi ibu menyusui harus bahagia agar ASI nya lancar, tapi kondisi ini justru sebaliknya, saya harus berjuang melawan virus ini, sambil harus terus menjaga produksi ASI saya.
Dingin, Takut, dan Sendirian
Awal isolasi mandiri, rasanya sungguh berat karena harus berpisah dengan anak-anak dan suami. Anak saya yang pertama (kelas 2 SD) terus menangis dan sempat demam karena merasa sedih tidak bisa berdekatan dengan saya. Saya melakukan isolasi mandiri dalam ruang terpisah di rumah, dalam ruang berukuran 3,5 x 4 meter.
ADVERTISEMENT
Bayi saya pun banyak menangis mungkin karena tidak bisa menyusu langsung dari saya. Suami saya kewalahan, karena tangis bayi kami semakin kuat terutama di malam hari. Dalam posisi itu saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkannya, menggendongnya, apalagi menyusuinya. Rasanya sungguh frustasi, saya hanya bisa mendengar suara tangisnya, sambil meratapi kondisi badan saya yang rasanya semakin lemah. Saya merasakan selalu gemetaran, kedinginan, dan larut dalam tangis kesendirian.
Ibu Menyusui Pejuang 100 ml
Meski masih dirundung rasa stress dan frustasi, sejak awal isolasi saya rutinkan pumping ASI setiap 3 jam, namun hasilnya menurun drastis, tidak melimpah seperti biasanya karena pikiran saya tidak bisa tenang. Nafsu makan saya menurun, pikiran saya melayang ke mana-mana, bagaimana kalau nanti ASI saya tidak cukup, bagaimana kalau nanti gejala saya makin parah, bagaimana kalau nanti tiba-tiba ada yang menjemput saya untuk dibawa ke rumah sakit. Semua pikiran negatif muncul dalam benak saya. Saya stress, saya bingung, saya sedih, saya takut, saya marah.
ADVERTISEMENT
Sementara ASI dicukupi dengan stok ASIP dalam freezer, alhamdulillah stok ASIP saya melimpah, freezer hampir penuh, namun selalu ada saja perasaan yang menghantui ASIP saya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi saya. Bayi saya usianya 4 bulan lebih 3 minggu, sekali menyusu dia bisa menghabiskan 100 ml, maka setiap sesi pumping pun saya selalu berusaha agar bisa mendapatkan hasil minimal 100 ml agar bisa mengimbangi kekuatan menyusunya si adek.
Sungguh jumlah yang sangat sulit saya capai. Padahal biasanya, dalam jeda waktu 2-3 jam setelah payudara disusui, produksi ASI saya selalu banyak, PD rasanya cepat penuh, kalau di-pumping bisa dapat lebih dari 150 ml. Tapi kali ini ASI saya keluarnya tidak menentu, ketika dirangsang untuk LDR (let down reflex) pun sulit sekali.
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya rajin mencatat jam-jam saat adek menyusu dan jumlah ASIP yang saya hasilkan dari pumping, tujuannya, saya harus bisa mengikuti ritme dan kebutuhannya. Paling tidak saya harus bisa menghasilkan ASIP yang sama dengan yang diminumnya dalam sehari. Ternyata dari hasil catatan saya, adek menyusu sebanyak 8 kali dalam sehari, artinya dia menghabiskan 800 ml ASIP setiap harinya. Namun, dalam sehari saya rata-rata hanya bisa pumping 5 kali sehari, dengan hasil 6 botol @100 ml. berarti setiap hari saya masih kekurangan 200 ml ASI, dan itu semoga saja bisa dicukupi dari stok ASIP dalam freezer hingga masa isolasi saya selesai.
Cari Dukungan dari Support System
Sebetulnya saya bukan tipe orang yang cengeng dan suka curhat sama orang lain. Saya cenderung introvert dan lebih suka menghadapi masalah sendirian. Tapi kali ini kondisinya berbeda, saya merasa perlu mencari dukungan dari keluarga, sahabat, rekan kerja. Saya telepon, whatsapp, video call, dengan mereka. Alhamdulillah perlahan-lahan rasa kepercayaan diri saya kembali muncul. Setiap kali habis komunikasi dengan orang lain, mereka memberi saya semangat, perhatian, dan doa, hal itu yang kembali membangun imun tubuh saya.
ADVERTISEMENT
Hari ini Selasa (22 Desember 2020) adalah hari ke-12 saya isolasi sejak awal gejala. Saya merasa badan saya sudah kembali fit seperti biasanya. Sudah bisa makan enak dan mencium dengan normal. Kalau saya terus larut dalam keadaan, saya sadar akan semakin lama pulih dari covid-19. Saya tidak mau menyebut virus ini sama seperti flu biasa saja, tentu kekebalan tubuh tiap orang berbeda. Namun, ada baiknya ketika sedang berjuang melawan covid-19, jauhkan segala bentuk informasi di media soal virus ini yang justru malah membuat imun tubuh makin drop. Lebih baik fokus pada pemulihan dan yakinkan diri kamu bakal baik-baik saja.
Oh iya, saya juga mengucapkan terima kasih atas segala bentuk perhatian dan dukungan yang diberikan oleh teman, saudara, tetangga, rekan kerja. Semuanya berarti banget untuk saya. Ada yang rajin WA, video call, bahkan sampe kirim makanan ke rumah. Kalian semua support system aku. Tanpa kalian, proses yang saya lalui ini pasti lebih berat. Seneng sekali saya tahu banyak yang sayang dan menanti kembali kehadiran saya di tengah-tengah keseharian mereka.
ADVERTISEMENT
Buat para pejuang covid-19 di luar sana, kalian ngga sendiri, banyak yang mengalami, banyak juga yang sembuh, asal kita yakin diri kita mampu melawannya, maka imun tubuh akan terus meningkat. Selalu berpikir positif, dan jalin terus komunikasi dengan orang lain seperti hari-hari biasanya. Media sosial, manfaatkan untuk kontak kembali dengan orang-orang di luar sana, supaya kamu tahu, kamu ngga sendiri, banyak orang sayang sama kamu dan menunggu kamu tersenyum kembali di luar sana. Kamu pasti bisa, jadi penyintas Covid-19, seperti saya.
Fany Rachmawati
Pranata Humas
Dinas Kominfo Kabupaten Magelang, Jawa Tengah