Asa Porter Pembawa Koper

Faqihah Husnul Khatimah
Mahasiswa Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2022 21:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faqihah Husnul Khatimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kereta dan koper. Sumber: Pexels/veerasak Piyawatanakul
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kereta dan koper. Sumber: Pexels/veerasak Piyawatanakul
ADVERTISEMENT
Sabtu siang itu kau kembali bersiap. Berdiri dengan seragam biru tua bernomor punggung 103 bertuliskan Porter Stasiun Pasar Senen dan identitas namamu, Hadi. Matamu memantau setiap calon penumpang yang memasuki stasiun dengan begitu banyak barang bawaan.
ADVERTISEMENT
Stasiun mulai ramai oleh para pemudik. Hari ini adalah puncak arus balik. Kau melihat teman sejawatmu, Slamet, porter bernomor punggung 141, telah memanggul koper, menenteng kardus, dan menggendong ransel milik sebuah keluarga. Kau masih mencari. Sejak pukul 7 pagi tadi kau baru mendapat dua pemasukan. Sementara itu, kau harus mengakhiri pekerjaanmu pukul 7 malam. Bergantian shift.
Suara perempuan di speaker mengumumkan kereta api Kertajaya tujuan Surabaya telah tiba. Kau berjalan melewati kursi tunggu penumpang dan berseru mengingatkan, “Kertajaya, kertajaya! Sudah datang!”
Tak lama matamu menangkap seorang perempuan muda yang baru memasuki stasiun dengan menyeret satu koper merah besar dan gendongan ransel.
“Mau dibantu bawain, Mbak?” katamu menawarkan, senyum tak lepas dari wajahmu yang telah keriput.
ADVERTISEMENT
“Bisa, Pak?” tanya perempuan itu, ragu. Kau tersenyum mengangguk. Meski tak secekatan teman sejawatmu yang masih muda, kau masih bisa memanggul koper merah itu.
Kau pun mulai berjalan menuruni tangga, menuju kereta Kertajaya yang telah menunggu di peron. Kau bertemu beberapa teman yang juga sedang memanggul koper, membawa tas jinjing, atau menggendong ransel para penumpang. Sibuk.
Mudik tahun ini benar-benar membawa keberkahan bagi kau dan teman sejawatmu. Setelah pandemi membuat kau uring-uringan mencari penumpang. Kau pun berharap hari-hari berikutnya penumpang kereta api jarak jauh meningkat, agar koper yang kau bawa juga bertambah banyak.
“Berapa, Pak?” tanya perempuan itu setelah kau meletakkan koper merah di bagasi atas tempat duduk.
“Seikhlasnya saja,” katamu. Memang, tidak ada tarif tetap bagi para porter sepertimu. Meski mendapatkan seragam resmi dari PT. KAI, kau tidak menerima gaji. Perempuan itu memberikanmu tiga lembar uang sepuluh ribuan dan mengucapkan terima kasih. Kau pun kembali tersenyum. Pemasukanmu bertambah lagi.
ADVERTISEMENT
“Istirahat dulu nggak?” tanya temanmu, Agung, yang juga baru selesai membawa koper.
“Nanti dulu, baru dapet tiga,” jawabmu. Agung hanya tersenyum mengangguk dan lanjut mencari penumpang lain, begitu juga denganmu.
Penghasilanmu meningkat pesat di mudik tahun ini. Kau sendiri bahkan rela menunda mudik demi mencari cuan tambahan untuk membahagiakan para cucumu. Usia senja kau habiskan di stasiun yang memberimu penghidupan. Kau masih tetap bekerja meski anakmu telah melarang berkali-kali. Mau bagaimana, kau telah nyaman karena bertemu teman-temanmu di stasiun ini.
Di tengah pencarian, kau melihat Slamet yang sudah tiduran di kursi tunggu penumpang. Mungkin sudah lelah membawa koper. Kau tertawa kecil dan menyenggolnya.
“Eh, udah nggak mau duit, kah?” candamu. (fhk)
ADVERTISEMENT