Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cold Wars dalam Perang Iran-Irak dan Dampaknya terhadap Tatanan Regional
18 Juni 2021 16:42 WIB
Diperbarui 11 Oktober 2023 18:54 WIB
Tulisan dari Fara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perang antara Iran dan Irak berlangsung selama 8 tahun sejak 1980-1988, diawali dengan serangan rudal balistik, penggunaan senjata kimia secara ekstensif, dan serangan terhadap kapal tanker minyak di Teluk Persia oleh diktator Irak Saddam Hussein, lalu diakhiri dengan penerimaan Iran atas gencatan senjata.
ADVERTISEMENT
Perang ini berbeda dengan perang yang lain dalam 3 hal, yang pertama yaitu karena perang ini berlangsung dengan lama, lebih lama dari kedua perang dunia. Kedua karena Irak sangat asimetris dalam cara-cara yang digunakan oleh masing-masing pihak, karena meskipun kedua belah pihak mengekspor minyak dan membeli impor militer, Irak lebih tersubsidi dan didukung oleh Kuwait dan Arab Saudi, membuatnya dapat memiliki senjata dan keahlian yang lebih canggih di bidang yang jauh lebih besar dari Iran.
Dan yang ketiga yaitu karena perang ini menggunakan 3 metode perang yang belum digunakan sebelumnya sejak 1945, metode yang dimaksud antara lain serangan rudal balistik, penggunaan senjata kimia secara ekstensif, dan sekitar 520 serangan terhadap kapal tanker minyak negara ketiga di Teluk Persia (History.com, 2018).
ADVERTISEMENT
Perang yang berlarut-larut ini membuat kawasan Timur Tengah menjadi tidak stabil dan menghancurkan kedua negara yang berperang.
Penyebab dimulainya perang ini, diklaim oleh Saddam Hussein, adalah karena adanya sengketa wilayah atas Shatt al-Arab, jalur air yang membentuk batas antara dua negara. Namun, konflik tersebut berakar pada persaingan antar daerah. Saddam Hussein merasa terancam oleh revolusi Islam yang telah membawa Ayatollah Khomeini berkuasa di Iran setahun sebelumnya.
Sementara Ayatollah melihat Saddam sebagai tiran Sunni yang brutal yang mengopresi mayoritas penduduk Syiah-nya, dan menginginkan untuk menggulingkannya. Jadi, untuk Saddam Hussein, tujuan perang itu adalah sebagai pencegahan agar ia dapat menggulingkan rezim Khomeini sebelum Khomeini menggulingkan rezimnya (Hardy, 2005).
Bagaimana Cold War Superpowers lalu bisa mempengaruhi jalannya perang?
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kedua negara yang berperang tersebut, terdapat pengaruh eksternal yang mempengaruhi perilaku kedua negara yang sedang berperang yaitu dua negara superpowers Cold War Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.
AS pada saat itu berusaha menyeimbangkan antara hubungannya yang tegang namun fungsional dengan Irak dan permusuhan terbukanya dengan Republik Islam Iran. AS terlibat dalam konfrontansi terbuka dengan pemerintahan revolusioner baru di Iran didasari oleh beberapa faktor yakni peran AS dalam menggulingkan rezim Mohammad Mossadeq yang terpilih secara demokratis di 1953 dan hubungan antara pemerintahan AS dengan monarki Iran yang digulingkan oleh revolusi tersebut.
Dengan itu, AS membangun hubungan dengan Irak untuk mengkonfrontasi dan menahan revolusi Iran, tetapi pada saat yang sama, tetap menjaga jarak dengan Saddam karena AS juga tidak ingin Irak menjadi kekuatan regional.
ADVERTISEMENT
Hasil dari tujuan strategis AS tersebut adalah perpanjangan Perang Iran-Irak, menjadikannya perang konvensional terpanjang melebihi Perang Dunia I dan II. Prioritas AS dalam hal ini telah diartikulasikan sejak awal. Mantan Presiden AS Jimmy Carter, menanggapi Perang Iran-Irak, Revolusi Iran dan invasi Soviet ke Afghanistan pada 1979, mengeluarkan Doktrin Carter yang secara eksplisit menjelaskan sentralitas keamanan dan stabilitas Teluk Persia adalah bagian dari kepentingan nasional AS (MacQueen, 2018).
Ketika perang berlangsung, AS dan Uni Soviet sama-sama memberi dukungan kepada Irak karena keduanya melihat Iran sebagai sumber ketidakstabilan.
Soviet memberikan bantuan terbatas kepada tentara Irak, tetapi secara tentatif juga berusaha untuk mengadili rezim di Teheran, Iran. Peran Soviet yang terbatas dalam konflik ini lalu menyoroti penurunan kekuatan mereka yang berujung pada keruntuhan mereka pada akhir 1980-an.
ADVERTISEMENT
Sementara di sisi AS, meskipun mereka telah mendanai perang, sekutu AS di Teluk khawatir bahwa Irak akan bangkit dari perang dengan militer yang kuat dan ambisi untuk mencapai pengaruh regional yang lebih besar. Sejalan dengan Doktrin Carter, prioritas AS adalah akses yang stabil dan tepercaya ke Teluk Persia dalam konteks ekstraksi dan transportasi minyaknya. Mereka menganggap bahwa menguatnya Irak akan menjadi ancaman dalam hal ini (MacQueen, 2018).
Selain itu, perpanjangan Perang Iran-Irak ini juga dianggap melayani kepentingan strategis AS karena pada saat itu, kenaikan rezim-rezim sosialis di Amerika Tengah dan Selatan menjadi perhatian utama AS.
AS lalu secara aktif mendukung penggulingan rezim-rezim tersebut melalui pendanaan gerakan pemberontak yang kemudian diartikulasikan di bawah Doktrin Reagan 1985.
ADVERTISEMENT
Administrasi Reagan secara diam-diam mendanai sayap kanan ‘Contras’, kelompok yang terlibat dalam serangan gerilya terhadap pemerintahan sosialis Nikaragua dan juga penduduk yang mendukung pemerintahan tersebut.
Namun, pengungkapan akan pendanaan tersebut membuat Kongres mengesahkan Amandemen Boland yang melarang pendanaan untuk Contras dan gerakan serupa lainnya. Sebagai tanggapan, penasihat Dewan Keamanan Nasional Letnan Kolonel Oliver North memimpin perencanaan untuk menghindari larangan pendanaan dengan menjual senjata ke Iran dan menyalurkan uang ini untuk membiayai Contras. Iran sangat membutuhkan pasokan, dan senjata AS tersebut diterima karena tentara Iran pada dasarnya dibangun oleh AS di bawah rezim monarki pro-Barat Shah Reza Pahlavi (MacQueen, 2018).
Ketika perang berlanjut hingga 1988, AS menjadi terlibat secara militer setelah tambang laut Iran menghancurkan USS Samuel Roberts. Sebagai tanggapan, AS melancarkan serangkaian tindakan terhadap anjungan minyak Iran di Teluk serta menenggelamkan kapal angkatan laut Iran.
ADVERTISEMENT
Lalu penembakan terhadap Iran Air Flight 655 yang membunuh 290 warga sipil, meskipun AS mengeklaim ini adalah hasil dari kesalahan radar, peristiwa itu memicu reaksi publik di AS dan secara global. Peristiwa ini, dan skala kehancuran yang besar akibat perang, akhirnya membuat Iran dan Irak menerima ketentuan Resolusi Dewan Keamanan PBB 598 pada Juli 1988.
Resolusi itu tidak mengubah teritori kedua negara dan tidak memuat ketentuan bagi Irak untuk membayar reparasi yang merupakan permintaan utama Iran (MacQueen, 2018).
Secara politis, perang ini mengkonsolidasikan dukungan untuk rezim revolusioner Iran dan juga memungkinkan Saddam di Irak untuk mengembangkan salah satu angkatan bersenjata terbesar dan paling kuat di dunia.
Tindakan ganda yang dilakukan AS dalam konflik tersebut dikombinasikan dengan peran mereka dalam perang berikutnya melawan Irak setelah invasi mereka ke Kuwait, berkontribusi besar pada rasa sentimen anti-Amerika yang membara di seluruh kawasan. Konflik itu lalu menjadi bahan bakar retorika gerakan seperti al-Qaeda dan fokus mereka pada AS sebagai manipulasi politik regional untuk keuntungan mereka sendiri (MacQueen, 2018).
ADVERTISEMENT
Dampaknya terhadap Tatanan Regional Timur Tengah
Konflik-konflik tersebut berkontribusi dalam membentuk tatanan regional Timur Tengah di masa selanjutnya. Sejak itu, Iran telah mengembangkan kapasitas mobilisasi yang nyata untuk komunitas Syiah di seluruh kawasan menembus ruang politik dan ideologis yang sebelumnya tidak ada, terutama di Irak dan juga di Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Selain itu, selama tahap-tahap pembentukan perang, Iran pertama kali mulai menerapkan jaringan proxy, yang kini telah meluas ke seluruh wilayah khususnya Suriah dan Yaman. Jaringan proxy bersenjatanya yang luas itu menjadi kemampuan pertahanan dan pencegahan yang paling penting, dan dapat dikatakan merupakan warisan perang yang paling transformasional. Jaringan ini telah menjadi inti dari kemampuan Republik Islam Iran untuk menahan, menghalangi, atau menghilangkan saingan eksternalnya (Alaaldin, 2020).
ADVERTISEMENT
Perang itu juga telah membentuk pandangan bagi banyak pembuat keputusan Iran saat ini. Presidennya hari ini, Hassan Rouhani, saat itu adalah panglima tertinggi Pertahanan Udara Iran. IRGC yang merupakan kekuatan militer Iran paling kuat saat ini menjadi terkenal selama perang.
Konflik ini juga meningkatkan kemampuan rezim-rezim baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, hal ini didukung oleh adanya revolusi yang didorong oleh kekuatan politik yang berbeda. Iran yang merasa terisolasi akibat perang ini karena hampir tidak adanya dukungan secara internasional pada waktu itu memiliki pandangan bahwa mereka harus mengembangkan senjata nuklir dan rudal balistiknya serta mengerahkan kelompok proxy di luar perbatasannya.
Munculnya teokrasi Syiah di Iran dan perang 8 tahun tersebut menciptakan garis bentuk perdamaian dan keamanan regional yang membentuk perseteruan di wilayah tersebut saat ini. Sebagai contohnya, Iran telah menginstruksikan kekuatan proxy-nya untuk melakukan serangan teroris bunuh diri kontemporer besar yang pertama, termasuk pengeboman kedutaan Irak di Beirut tahun 1981 dan serangan Hizbullah di barak Marinir Amerika di Lebanon. Kekuatan proxy Iran dan kelompok Islam Syiah menjadi salah satu pengadopsi awal bom bunuh diri, yang sejak itu menjadi alat perang standar oleh gerakan jihadi (Alaaldin, 2020).
ADVERTISEMENT
Perang ini juga membongkar poros negara-negara Arab radikal yang meliputi Irak, Libya, Suriah, dan Yaman selatan. Selama perang, Irak keluar dari kamp radikal tersebut untuk bersekutu dengan Mesir, Yordania dan negara-negara Teluk.
Sementara Suriah menjadi satu-satunya sekutu Arab bagi Iran. Itupun juga membawa Irak keluar dari kemungkinan organisasi “Front Timur” dalam perang melawan Israel. Dengan penandatanganan perdamaian antara Mesir dan Israel, perencanaan “Front Timur” melawan Israel itupun menjadi hampir tidak mungkin. Dengan demikian, perang Iran-Irak secara tidak langsung juga berkontribusi pada keamanan Israel.
Sementara di kawasan Teluk, perang itu menegaskan kerentanan negara-negara Teluk Arab dan oleh sebab itu terjadi peningkatan kerja sama antarnegara, sebagian besar dalam Dewan Kerja Sama Teluk. Selain itu, perang tersebut juga membantu Turki mencapai supremasi regional.
ADVERTISEMENT
Turki memanfaatkan lokasi geopolitiknya yang stabil selama perang dengan mengizinkan Irak untuk memasang pipa utama di wilayahnya sebagai alternatif ke rute Teluk dan menjadi gerbang ekonomi utama Irak. Turki menunjukkan bahwa minyak dan gas dapat diekspor dari Teluk melalui wilayahnya tanpa menggunakan kapal tanker (Zeidel, 2013).
Perang Iran-Irak yang disebabkan oleh masalah teritori dan rezim ini berakhir dengan tidak adanya perubahan perbatasan dan pembayaran biaya reparasi. Perang ini meninggalkan utang yang besar bagi Irak kepada negara Teluk lainnya dan kerusakan luas pada infrastruktur penting khususnya di bagian selatan di mana sebagian besar ladang minyak Irak terkonsentrasi yang lalu ini menyebabkan invasi Irak ke Kuwait yang ditujukan untuk menguasai ladang minyaknya.
ADVERTISEMENT
Namun, rencana tersebut gagal dan menyebabkan keruntuhan aspirasi militer Irak, diberlakukannya program pengawasan internasional pada senjatanya, serta lumpuhnya ekonomi yang disebabkan oleh sanksi yang mana ini merusak tatanan masyarakat Irak.
Pemberontakan yang lalu terjadi di selatan Syiah dan utara Kurdi membantu penyusunan kembali Irak di sepanjang garis sektarian dan etnis setelah kejatuhan Saddam pada tahun 2003 (Jenkins, 2020).
Selain itu, perang ini juga melemahkan produksi minyak kedua negara yang sebelumnya adalah negara produsen utama. Sementara di Iran, mitos perang sebagai salah satu contoh perlawanan nasional dalam masa isolasi masih bertahan dengan kuat, ini telah mendukung narasi viktimisasi yang sudah memiliki resonansi sejarah dan budaya yang mendalam di antara Syiah.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut yang lalu membuat Iran menggandakan strategi pertahanan mosaik dan perang proksi yang keduanya dirancang untuk mengimbangi kelemahan militer konvensional.
Meskipun kedua negara mendapat kerugian dari perang seperti kehancuran dan utang yang besar, perang ini telah berperan sebagai agen perubahan dalam tatanan regional Timur Tengah dan mendorong kecanggihan teknologi dan militer negaranya.
Campur tangan dari kedua negara adidaya Cold War AS dan Uni Soviet telah menambah komplikasi pada perang ini, karena dibalik bantuan dana dan militer, terdapat kepentingan untuk bersaing menjadi negara adidaya satu-satunya.
Selain itu, adanya sentimen anti-Amerika yang ditimbulkan dari keterlibatan AS dalam perang tersebut telah memupuk retorika gerakan terorisme seperti al-Qaeda yang nantinya juga memiliki peran penting dalam pembentukan tatanan regional.
ADVERTISEMENT
References
Alaaldin, R. (2020, October 9). How the Iran-Iraq war will shape the region for decades to come. Retrieved from https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2020/10/09/how-the-iran-iraq-war-will-shape-the-region-for-decades-to-come/
Hardy, R. (2005, September 22). The Iran-Iraq war: 25 years on. Retrieved from http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/4260420.stm
History.com Editors. (2018, August 24). Iran-Iraq War. Retrieved from https://www.history.com/topics/middle-east/iran-iraq-war
Jenkins, J. (2020, April 10). The Iran-Iraq War’s long aftermath. Retrieved from https://www.arabnews.com/node/1659786
MacQueen, B. (2018). An Introduction to Middle East Politics (2nd ed.). London: SAGE.
Zeidel, R. (2013, October 7). Implications of the Iran-Iraq War. Retrieved from https://www.e-ir.info/2013/10/07/implications-of-the-iran-iraq-war/