Pulih dari Covid-19, 2023 Diprediksikan Terjangkit Resesi, Bagaimana Sinergi BI?

Faradisa Mutiara Insani
Mahasiswa S1 Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang
Konten dari Pengguna
17 November 2022 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faradisa Mutiara Insani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: www.canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: www.canva.com
ADVERTISEMENT
Terbatasinya aktivitas sosial semenjak pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan di hampir setiap komponen pertumbuhan ekonomi. Pada saat yang sama, banyak negara melakukan proteksi atas hasil pangan untuk mengantisipasi wabah Covid-19 yang berkepanjangan dan berakibat pada meningkatnya harga pangan karena kurangnya suplai. Negara-negara yang pertumbuhannya bertumpu kepada konsumsi mengalami kontraksi ekonomi yang moderat. Mereka yang bergantung kepada ekspor akan merosot lebih dalam akibat penurunan permintaan global bak sudah jatuh tertimpa tangga, sehingga pada 2023 mendatang, banyak negara telah dipastikan mengalami resesi.
ADVERTISEMENT
Ancaman akan terjadinya resesi ekonomi global ini perlu disikapi oleh pemerintah dengan melakukan langkah antisipatif untuk terus mendorong kinerja perekonomian nasional. Walaupun kinerja perekonomian nasional saat ini cukup positif, namun jika resesi ekonomi global benar-benar terjadi maka Indonesia diyakini akan terkena dampaknya dan dapat menyeret Indonesia ke dalam “jurang” resesi ekonomi tersebut.
Kita tidak mungkin bisa keluar dari resesi apabila dunia usaha marak mengalami kebangkrutan dan daya beli masyarakat dalam kondisi yang memprihatinkan. Solusi resesi tidaklah sederhana dan fokus penanggulangan Covid-19 tetap harus diatasi, namun dalam pemuhilannya perlu disertai peningkatan ketahanan masyarakat dan dunia usaha.
Pesatnya perkembangan teknologi telah mengubah tatanan ekonomi global bergerak menuju ekonomi digital dan perkembangan keuangan, terlebih semenjak pandemi Covid-19 transaksi online terus berkembang pesat akibat adanya kebijakan Work from Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah. Digitalisasi ekonomi dapat menjadi opsi bagi pelaku ekonomi khususnya mikro kecil menengah agar dapat mempertahankan usahanya dalam menghadapi kondisi pandemi sekaligus merupakan peluang besar yang digunakan untuk menjauhkan Indonesia dari resesi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pengembangan bisnis digital seperti pada perusahaan startup tentunya membutuhkan dana segar yang jumlahnya tidak sedikit. Diawali saat pandemi, perputaran uang di masyarakat menjadi tidak stabil, segelintir orang memilih untuk mengalokasikan uang yang dimiliki hanya untuk kebutuhan pribadi, sebab takut mengalami kerugian aset. Pada saat ekonomi berjalan terlalu lambat yang ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya pertumbuhan perekonomian negara, maka kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perekonomian lebih cepat dan menekan angka pengangguran ialah dengan mengeluarkan kebijakan moneter. Pengelolaan kebijakan moneter yang sinergis akan memberikan dampak positif dan menjaga stabilitas ekonomi di masa pandemi dalam menghadapi ancaman resesi.
Dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), yaitu mengenai fungsi BI dalam menjaga kestabilan moneter dan kestabilan keuangan, hal ini sangat terkait dan menunjang dalam upaya menstabilkan nilai rupiah. Bank Indonesia sebagai lembaga yang menetapkan kebijakan moneter negara, tertuang dalam PERPU No.1 Tahun 2020 yaitu dengan memberikan wewenang kepada Bank Indonesia untuk: memberi pinjaman likuiditas jangka pendek baik kepada bank sistemik maupun tidak, memberi akses penyaluran dana pada sektor swasta melalui repo utang Pemerintah inisiasi perbankan, dan menerima pengajuan pinjaman likuiditas khusus jika bank sistemik yang sebelumnya telah menerima pinjaman likuiditas jangka pendek namun masih mengalami kesulitan likuiditas kepada BI.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor ekonomi, maka ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan BI selaku bank sentral, salah satunya dengan menaikkan tingkat belanja pemerintah. Diharapkan dengan adanya peningkatan belanja pemerintah ini dapat mendorong naiknya permintaan agregat, sehingga akan menyebabkan kenaikan harga barang. Namun, hal tersebut dapat menyebabkan inflasi saat kenaikan permintaan jauh melampaui jumlah yang ditawarkan. Disisi lain, dalam menghadapi tekanan inflasi, Adapun kebijakan moneter yang dapat diambil BI ialah menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan tersebut dapat mengakibatkan defisit fiskal yang semakin besar pula, terlebih ketika pemerintah diharuskan membayar bunga utangnya. Oleh karena fokus kebijakan moneter berbeda dengan kebijakan fiskal, maka kedua kebijakan ini menjadi dua kebijakan yang harus saling terkait dalam pengimplementasiannya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah ditekankan, kita sedang berada di tengah pusaran badai resesi dan ketidakpastian ekonomi global, sehingga upaya agar selamat dari resesi menjadi momentum utama yang diperhatikan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh banyak negara, menyelamatkan perekonomian dari resesi harus dimulai dari penanggulangan Covid-19 itu sendiri sembari meningkatkan ketahanan masyarakat dan dunia usaha.
Berbagai kebijakan dan stimulus yang sudah dianggarkan sesungguhnya bukan jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa kembali tumbuh positif, dan jika terlalu memaksakan justru akan berdampak buruk dan lebih berisiko, khususnya terhadap otoritas pengambil kebijakan, contoh sederhananya adalah penyaluran kredit perbankan. Mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga perbankan untuk mendorong pertumbuhan kredit bisa menjadi bumerang. Penyaluran kredit ketika risiko dunia usaha begitu tinggi akibat wabah akan menyebabkan potensi terjadinya kredit macet. OJK sudah mengambil perannya secara proporsional melalui kebijakan kemudahan restrukturisasi kredit. Kebijakan ini terbukti efektif menahan lonjakan Non-Performing Loan (NPL) perbankan. Mengatasi resesi memerlukan sinergi antar otoritas, khususnya otoritas fiskal, moneter dan juga otoritas sistem keuangan. Resesi yang terjadi bukan akibat kesalahan kebijakan, oleh karena itu tidak perlu mencari-cari kesalahan antar otoritas.
ADVERTISEMENT
Sangat disesalkan kalau kemudian di tengah permasalahan wabah ini justru kita sibuk saling menyalahkan. Apalagi kemudian berujung kepada usulan pembubaran salah satu otoritas. Koordinasi antar-otoritas yang tergabung dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) sejauh ini sudah berjalan baik. Pandangan bahwa OJK menyebabkan tidak mulusnya koordinasi data adalah sebuah klaim yang tidak didukung fakta. Sehingga untuk menghadapi resesi diperlukan kerjasama dari semua pihak.