Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Semoga Tak Terulang
23 Januari 2022 19:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Farah Audrey tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah kah kamu mengingat 1 kejadian yang membuatmu tidak ingin merasakannya lagi? Pernah kah kamu merasakan 1 hal yang membuat sekujur tubuhmu kelu?
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian kalian juga merasakannya. Namun, bagi kalian yang belum pernah merasakan hal tersebut, aku akan menceritakan sedikit tentang hal yang tidak ingin ku jumpai lagi sesuai dengan pengalamanku.
Sebelumnya perkenalkan namaku Reyna Oktavia. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Kejadian ini terjadi ketika berlibur, pada awalnya hari-hari berjalan seperti hari libur biasanya.
Aku dan keluarga melakukan mudik tepat ketika h-7 hari raya Idul Fitri. Tentunya aku juga sangat senang karena pada tahun itu hari raya jatuh pada tanggal yang pas saat aku berulang tahun, tepatnya tanggal 02 Oktober.
Pada hari puasa tahun itu pastinya aku sangat merasa senang karena waktu mudik selalu menjadi hari-hari yang ditunggu. Karena saat itu, adalah saat di mana kami dapat berkumpul bersama sanak saudara dan belum tentu terjadi satu tahun sekali.
ADVERTISEMENT
7 hari kemudian...
Suara takbir mulai terdengar, ketika aku membuka mata dan melihat jam di dinding menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku sangat senang hari itu, karena selain hari tersebut adalah hari raya, hari tersebut juga merupakan hari ulang tahunku yang ke-10 tahun.
Aku menggunakan baju baru pemberian ibuku yang memang khusus aku kenakan ketika hari spesial itu datang. Tanpa membuang waktu aku bergegas untuk mandi dan tak lupa menjalankan sunah Rasul untuk keramas pagi di hari raya.
Rasanya sangat dingin hingga membuat bibirku bergetar dan mengeluarkan asap, mengingat kampung halaman orang tuaku berada di kaki gunung Slamet.
Setelah selesai membersihkan badan aku dan keluarga besarku langsung melaksanakan salat Idul Fitri yang dilakukan di masjid setempat. Ibadah tersebut dilakukan secara khusyuk, khidmat dan juga sangat menentramkan hati.
ADVERTISEMENT
Ketika takbir mulai berkumandang setelah salat, tangis haru pun pecah seketika kami merasakan perasaan senang telah berhasil berpuasa selama 30 hari dan sedih karena harus meninggalkan bulan suci Ramadhan.
Setelah pulang dari masjid setempat tradisi “sungkeman” atau yang biasa dikenal dengan maaf-maafan kepada orang tua pun berlangsung. Disusul dengan menyantap opor ayam khas hari raya. Tak lupa kue kering dan jenang khas Jawa pun turut disajikan di meja-meja, untuk menyambut hidangan bagi para tamu.
Selanjutnya keluargaku melakukan tradisi silaturahmi mengelili kampung yang disebut dengan “badan”. Sesudah satu kampung kami kelilingi, kami pergi menggunakan mobil untuk mendatangi sanak saudara yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal nenek kami.
ADVERTISEMENT
Di sepanjang perjalanan pun kami merasa sangat senang karena pemandangan yang terlihat adalah hamparan sawah yang ditutup oleh gunung sangat menyegarkan mata.
Oke, sepertinya akan ku percepat pada awal mula kejadian tersebut.
Kejadian ini berawal ketika kami telah selesai menyambangi keluarga terjauh kami dan bergegas untuk pulang. Hari telah menunjukkan pukul 5 sore.
Yang kebetulan sekali pada hari itu langit mendung dan membuat keadaan sekitar lebih gelap dari biasanya. Ditambah lagi, pencahayaan dari lampu jalan yang masih sangat minim di kampung semakin membuat kami harus berhati-hati ketika melakukan perjalanan.
Jarak sampai ke rumah nenek tinggal 500 meter lagi. Namun dari jauh om Ardan, adik dari ibuku melihat ada motor yang melaju sangat cepat. Lalu om Ardan berkata “cah cilik saiki ora ono rem opo yo neng hondane?” dalam bahasa jawa yang berarti, anak kecil sekarang tidak ada rem sepertinya di motor mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika tikungan menuju rumah kami ternyata motor tersebut melaju kencang berlawanan arah dengan kami. Dan benar saja motor tersebut menabrak pohon di tepi jalan dengan sangat kencang. Om Ardan sontak menyebut kata innalillahi sambil bergegas turun dari mobil.
Ketika itu aku duduk di bagian tengah mobil selurusan dengan jendela depan dan melihat dengan jelas kejadian tersebut hingga terbayang secara detail sampai detik ini. Pengendara motor tersebut tidak menggunakan pelindung kepala yang membuat keadaan semakin memburuk.
Seketika aku langsung memejamkan mata karena aku merasakan pusing yang sangar luar biasa. Tak lama om Ardan membuka pintu samping mobil hendak memasukkan dan menolong korban, sontak aku sangat merasa kaget dan langsung pindah di bagasi bagian belakang sambil menangis.
ADVERTISEMENT
Tak butuh waktu lama ayahku membuka bagasi belakang dan bergegas menggendongku pindah ke mobil yang lain. Sementara om Ardan membawa korban pergi ke rumah sakit, aku langsung dibawa ke rumah nenek untuk ditenangkan.
Disuguhilah dengan teh tubruk hangat yang membuat perasaanku sedikit tenang. Lalu ketika om Ardan pulang aku hanya memandangi lewat jendela kamar sambil termenung. Mobil om Ardan dibersihkan bagian dalamnya karena ada bagian noda bekas korban kecelakaan tadi. Yang lebih membuatku sedih saat itu adalah ketika sabuk baju baru hadiah ulang tahunku tertinggal dijok tengah juga harus dibuang karena terkena noda korban.
Kejadian tersebut sangat membekas di kepalaku hingga detik ini, padahal kejadian tersebut sudah bertahun-tahun silam. Hal ini yang selalu terngiang dalam otak-ku, “semoga aku tidak pernah merasakan atau melihat hal seperti itu lagi”. Dari kejadian tersebut juga yang membuatku selalu mengingat bahwasannya jangan pernah meremehkan kekuatan doa. Karena ternyata korban tersebut mengaku tidak berdoa sebelum mengendarai motor dan berpikir remeh tidak akan terjadi apa-apa.
ADVERTISEMENT