Pelarian dari Keadaan

Farah Nadhilah
journalism student.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2020 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farah Nadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto oleh Sasha Freemind (via unsplash.com)
Apa yang kaulakukan untuk meredam luka hati yang sulit terobati?
ADVERTISEMENT
Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk melampiaskan kejadian yang kurang menyenangkan di dalam hidupnya. Mulai dari permasalahan cinta, cita-cita, hingga persoalan keluarga.
Tentang perpisahan yang tak diinginkan, perasaan yang terabaikan, kegagalan meraih cita-cita, rumah yang tak lagi harmonis, dan kisah lainnya yang cukup menyayat hati.
Ada dari mereka yang menyikapinya dengan mengurung diri di kamar tanpa ingin diganggu orang lain, menyendiri adalah cara terbaik yang mereka lakukan, tanpa melakukan apapun.
Sementara itu, bersenang-senang di luar rumah ketika malam datang adalah cara yang dilakukan beberapa orang untuk melupakan perkara yang terjadi di hidupnya.
Namun, berbeda dengan aku. Yang memiliki cara sendiri untuk melampiaskan kejadian-kejadian yang membekas di hati.
Sejak 2015, kumulai menuangkan perasaan yang kualami ke dalam tulisan. Kekecewaan, kegelisahan, dan kerinduan adalah kisah yang mengawali diriku untuk menulis. Aku tidak tahu bagaimana teknis menulis yang benar. Yang kulakukan hanya melukiskan perasaan-perasaan itu ke dalam selembar kertas dengan tinta hitam.
ADVERTISEMENT
Aku seperti berdialog dengan diriku sendiri. Meluapkan luka baru, berharap luka itu segera kering setelah kutorehkan tinta di atasnya. Terkadang, kujuga membawa luka lama yang masih bertengger di inti hati dan memintanya untuk berdamai.
Walaupun tulisanku ala kadarnya, aku tetap berlatih untuk mengemas perasaan yang kualami agar sampai kepada para pembaca. Ya, pembacanya adalah teman-temanku sendiri yang setia menunggu di blog pribadiku.
Tidak hanya perasaanku sendiri yang kutuliskan. Aku belajar mendengar kisah hidup teman-temanku dan mengemas perasaannya ke dalam tulisan.
Karena bagiku, tulisan itu seperti museum. Memori itu akan tergerus oleh waktu dan dilupakan seiring pendewasaan diri. Dengan cara menulislah, suatu saat nanti, tulisan-tulisan itu akan berbicara kembali bahwa kita bisa melewati keadaan di titik terendah kehidupan. (Penulis: Farah Nadhilah)
ADVERTISEMENT