Alternate Universe: Dari Salah Kaprah hingga Kultur Penerbitan

Farah Ramadanti
Sedang belajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada.
Konten dari Pengguna
16 September 2022 10:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farah Ramadanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Para pengguna situs fanfik lama telah banyak mencari celah untuk mencoba membenahi terminologi alternate universe atau AU yang sudah cukup lama bergeser pemaknaannya. Begitu juga dengan kultur baru dalam dunia penerbitan—sebagai bagian dari adaptasi media—yang bikin geleng-geleng kepala.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Twitter. Foto: Glenn Chapman/AFP
Menjamurnya Miskonsepsi AU
Belum lama ini, jagat raya Twitter ramai oleh (lagi-lagi) masalah alternate universe atau semesta alternatif dalam padanan Bahasa Indonesia. Salah satu alternate universe yang sedang booming ramai diperbincangkan karena hendak diangkat ke layar lebar. Sebelumnya, sebagai penjelasan singkat, alternate universe (AU) ini merupakan cerita—semacam fiksi penggemar—yang ditulis dengan format chatfic atau narasi yang diunggah di utas Twitter. Audiensnya? Banyak. Dari remaja hingga dewasa muda. Ribuan likes dan retweet akan dengan mudah dikantongi apabila jalan cerita dinilai menarik. Dalam budaya fandom, fiksi penggemar atau fanfiksi ini sudah banyak dikenali. Orang-orang dapat menuangkan ide dan kreasinya dalam bentuk tulisan yang kemudian akan dinikmati oleh sesama penggemar karakter atau selebriti lainnya dalam suatu komunitas atau forum penggemar (fandom).
ADVERTISEMENT
Pergeseran makna AU menjadi cerita fiksi penggemar diawali dari banyaknya penyebutan demikian di platform Twitter. Adapun AU sendiri sejatinya merupakan bagian dari fanfiksi. Sebelum muncul banyak penulis AU di Twitter, fiksi penggemar lebih populer ditemukan di situs-situs fanfiksi seperti Fanfiction.net, AO3, Asianfanfics, hingga Wattpad. Tak jarang, banyak juga yang memilih blog pribadi sebagai wadah untuk menggaet pembaca dengan kata kunci. Pada tahun 2010, di mana K-Pop baru mulai berkembang, fiksi penggemar semakin marak dan menjadi tren. Dari karakter alternatif fiksi penggemar anime dan seri televisi, menjadi oppa-oppa dari berbagai agensi sebagai representasi. Tak jarang tokoh utamanya dibuat sesempurna mungkin, dipoles menjadi sosok idaman semua orang yang cenderung kurang manusiawi dan nyaris tanpa cacat. Stereotip laki-laki tampan, kaya raya, dan baik hati—meski kadang dibumbui dengan sedikit keangkuhan sebagai penyedap.
ADVERTISEMENT
Perbedaan yang signifikan dalam dunia fanfiksi ini dapat ditemui dari pergeseran makna istilah AU. AU yang awalnya merupakan alternatif lain dari jalan cerita aslinya (Canon), justru dimaknai dengan salah kaprah sebagai penyebutan fanfiksi. Secara mudahnya, alternate universe ini dibuat untuk kepentingan jalan cerita yang mengubah latar belakangnya, seperti misalnya latar tempat (semesta), waktu, hingga suasana. Misalnya ada penulis yang berkecimpung di fandom Naruto dan ingin menuliskan kisah Naruto dengan latar Harry Potter. Penulis fanfik tersebut dapat menuliskan tokoh yang ada dalam Naruto dengan semesta Harry Potter—para ninja di sana tidak menjadi ninja, namun menjadi penyihir. Mereka bersekolah di Hogwarts, menguasai ilmu sihir, dan kehidupan mereka dialihkan total dari Desa Konoha, tempat mereka berasal.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang membedakan antara penyebutan AU yang lebih lama dikenal banyak orang dengan AU masa kini. Tokoh dengan nama lokal dengan face claim idola K-Pop bukanlah semesta alternatif. Sebutan tersebut kurang tepat karena AU merupakan bagian dari fanfiksi. Berbeda dengan fanfik idola K-Pop dengan latar cerita di semesta Percy Jackson, misalnya. Mereka dibuat sebagaimana tokoh dalam Percy Jackson yang merupakan manusia setengah dewa setengah manusia. Semesta Percy Jackson (latar) tersebut lah yang disebut sebagai AU. Singkatnya, AU menjelaskan situasi yang berbeda dengan yang dibangun dalam cerita aslinya yang merupakan sumber material. Penyebutan AU sebagai keseluruhan fanfiksi adalah hal yang perlu diluruskan.

Kultur Baru dalam Penerbitan

Pada dasarnya, penggemar menulis fanfiksi bukan untuk dikomersilkan. Mereka menjadikan fanfiksi sebagai sarana bersenang-senang dan mengapresiasi karakter atau selebriti idola mereka. Makanya, fanfiksi bisa diakses secara mudah dan gratis karena penulis tidak menulisnya untuk tujuan komersil. Kalau pun memang ingin disebarluaskan secara cetak, umumnya penulis lebih memilih untuk memproduksinya secara terbatas untuk kalangan sendiri. Sayangnya, banyak penerbit yang berorientasi pada keuntungan penjualan karena fokus pada pasar yang menjanjikan alih-alih memprosesnya matang-matang sebelum diadaptasi menjadi novel. Mereka kurang memerhatikan aspek penting seperti pengubahan total pada nama dan face claim fanfiksi yang hendak diterbitkan hingga menimbulkan polemik di kalangan penggemar.
ADVERTISEMENT
Kerangka hukum soal legal atau tidaknya penerbitan fanfiksi dapat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatur mengenai pelaksanaan hak ekonomi oleh orang lain, yaitu wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Hal ini berarti seseorang yang ingin mendapatkan manfaat ekonomi dari pengadaptasian, memerlukan persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Apabila face claim dari fanfiksi tersebut adalah idola K-Pop (bahkan meski diilustrasikan), fanfiksi tersebut masih melanggar aturan hukum. Parahnya, masih banyak novel dengan sampul foto idol K-Pop di toko buku.
Penerbit dan penulis fanfiksi perlu belajar dari bagaimana fanfik-fanfik yang sukses di pasaran adalah fanfik yang ‘melepaskan’ semua atribut fandom, mengemasnya menjadi terlihat seoriginal mungkin, dan lahir sebagai karya baru yang bebas. Apabila penerbit dan penulis masih tetap kukuh dan mempromosikan novel adaptasi tersebut dengan face claim sang idol, sudah seharusnya pembaca bijak untuk menindak tegas. Minimal, mengetahui bahwa idolanya tidak mendapatkan hak ekonomi apa pun dari keuntungan penjualan novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, ketidakrelaan penulis untuk melepaskan atribut fandom ini lah yang sering menjadi bulan-bulanan penggemar K-Pop yang juga menikmati fanfiksi di Twitter. Banyak dari mereka yang mulai melek hukum dan mengedukasi sesama penggemar lain untuk lebih bijak dalam membeli novel adaptasi dari fanfiksi. Padahal, jika penulis dapat memahami bagaimana hukum bekerja, antusias pembacanya tidak akan lekang hanya karena pencopotan atribut fandom. Karya tersebut masih bisa dinikmati bahkan disebarluaskan secara komersil.