Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Avoidant Attachment, Gaya Keterikatan yang Membuat Seseorang Kerap Menarik Diri
25 September 2024 15:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Farahiah Almas Madarina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah dighosting atau diputusin tiba-tiba, nggak? Sini merapat, siapa tahu pasanganmu punya attachment issue.
ADVERTISEMENT
Jika saat ini kamu sedang mencari jawaban atas alasan doimu menarik diri saat hubunganmu dengannya baik-baik saja (bahkan mungkin sedang hangat-hangatnya), maka silakan baca artikel ini lebih lanjut karena barangkali alasannya bukan karena selingkuh.
Disclaimer, saya nggak mengatakan bahwa setiap orang yang hobi ghosting memiliki isu ini, ya. Sebab untuk mengetahui diagnosis tepatnya, kalian harus mengonsultasikannya ke psikolog. Namun, agar aware terhadap isu ini, nggak ada salahnya jika kita belajar mengenal bentuk-bentuk attachment style atau gaya keterikatan seseorang dalam sebuah relasi, khususnya relasi romantis.
Attachment atau keterikatan merujuk pada konsep psikologis yang melihat cara seseorang membangun atau memelihara hubungan emosionalnya dengan orang lain. Menurut seorang psikiater asal Inggris–John Bowlby–yang kemudian dikembangkan oleh Mary Ainsworth, ada empat macam attachment style, yaitu secure attachment; anxious attachment; avoidant attachment; dan fearful avoidant atau disorganized attachment.
ADVERTISEMENT
Khusus tulisan ini, saya akan membahas tentang avoidant attachment atau keterikatan menghindar. Ciri khasnya bisa terlihat dari sikap ketidaknyamanan seseorang saat terlalu melekat (attached) terhadap pasangan.
Yup, pada dasarnya seorang avoidant sangat mengutamakan kemandirian. Bagi mereka, terikat secara emosional terlalu dalam kepada orang lain hanya akan melemahkan otonominya. Pun, ketika seseorang terlalu bergantung padanya, seorang avoidant akan menganggapnya sebagai sebuah beban emosional.
Kenapa seseorang bisa memiliki avoidant attachment?
Sebenarnya, setiap pola keterikatan yang kita miliki bisa terbentuk sejak kecil. Bowlby (1982) melalui bukunya yang berjudul Attachment and Loss (Vol. 1) menjelaskan bahwa istilah “attachment” digunakan untuk menunjukkan ikatan emosional antara bayi dengan pengasuh utamanya. Keterikatan tersebut menyiratkan kedekatan dan kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Nah, pada kasus avoidant attachment, pemicunya bisa berasal dari pola asuh orang tua atau orang terdekat yang selama masa pengasuhan terbiasa nggak mengekspresikan emosinya, menghindari kontak fisik, serta nggak berusaha memberikan ketenangan saat sang anak mengalami stres. Lama-kelamaan, pola asuh tersebut membekas dan membuat seorang anak tumbuh menjadi pribadi yang nggak nyaman dengan keterikatan. Mereka sudah adaptif dengan situasi yang membuatnya harus terus menjaga jarak dengan orang lain sebagai upaya defensif untuk terhindar dari stres.
Sebuah jurnal ilmiah berjudul Avoidant Attachment: Exploration of an Oxymoron (Edelstein & Shaver, 2004) juga menjelaskan bahwa ada kesamaan antara bayi yang memiliki keterikatan menghindar (avoidant attachment) dengan orang dewasa yang menarik diri dan meminimalisir keterikatannya dalam relasi romantis. Umumnya, mereka merasa lebih nyaman menjaga jarak kedekatan mereka dengan pasangan dalam situasi yang nggak mengancam.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, menjaga jarak fisik dan psikologis dengan pasangan romantis adalah upaya pertahanan diri seorang avoidant untuk mencegah aktivasi sistem keterikatan mereka agar terbebas dari rasa sakit, penolakan, tekanan atau stress yang lahir dari hubungan yang terlalu dekat.
Ciri khas seorang avoidant saat menjalani relasi romantis
Dalam hubungan romansa, seseorang yang memiliki avoidant attachment bisa saja melakukan beberapa perilaku saat ia merasa kemandirian atau otonominya terancam oleh pasangan. Berikut beberapa ciri khas yang mungkin dilakukan oleh seorang avoidant saat menjalin relasi romantis:
1. Menjaga jarak
Menarik diri dari hubungan secara tiba-tiba atau sering dikenal dengan ghosting adalah salah satu cara seorang avoidant untuk merenggangkan ikatan emosionalnya terhadap pasangan. Hal ini bisa dipicu oleh rasa asing mereka terhadap bentuk-bentuk perhatian yang terlalu intim sehingga membuatnya merasa canggung dan nggak nyaman.
ADVERTISEMENT
Banyak orang (utamanya seseorang dengan anxious attachment issue) mengalami frustasi karena ditinggalkan tanpa alasan. Kondisi ini tentunya sangat nggak sehat karena berpotensi membuat seseorang merasa bersalah dan kehilangan rasa percaya diri.
2. Kesulitan menangani konflik
Saat menghadapi stres atau tekanan dalam hubungan, seorang avoidant cenderung memilih menghilang untuk menjauhi sumber stresnya. Kondisi ini menunjukkan betapa sulitnya mereka menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif.
Sebagaimana upaya defensif untuk menghadapi ancaman, seorang avoidant menganggap “menjauhkan diri” sebagai strategi koping terbaik yang bisa menghindarkannya dari masalah. Kadang, mereka menghilang beberapa waktu, lalu kembali lagi seolah nggak terjadi apa-apa.
3. Memiliki tingkat keintiman relasi yang rendah
Saking nggak ingin bergantungnya terhadap pasangan, seorang avoidant kerap kewalahan dalam menjaga relasi romantisnya tetap hangat. Kedekatan yang ia bangun sering kali kurang memuaskan dan nggak begitu intim. Tingkat kemandiriannya yang tinggi ini membuat avoidant kurang bisa memberikan dukungan emosional kepada pasangan (emotional unavailable).
ADVERTISEMENT
Alih-alih ikut bersedih atau memberikan rasa aman, ia memilih absen dan menganggap bahwa pasangannya bisa menyelesaikan persoalan tersebut secara mandiri–persis seperti proyeksi dirinya sendiri saat menghadapi sesuatu.
Apakah seorang avoidant bisa sembuh?
Saya pikir, seorang avoidant sebenarnya juga ingin memiliki hubungan yang sehat dan intim dengan pasangannya. Meskipun akan ada banyak tantangan yang dihadapi, namun dari berbagai sumber ilmiah yang saya baca, para pakar psikologi optimis bahwa pengidap avoidant attachment bisa sembuh (atau setidaknya membaik) jika mendapatkan terapi yang tepat. Tentunya proses ini memerlukan dukungan dari orang-orang terdekat dan kesadaran diri sendiri untuk “mau” sembuh.
Nah, jika pasanganmu adalah seorang “penghindar” handal namun kamu tetap ingin mempertahankan hubungan, bersabarlah dan coba terapkan komunikasi asertif untuk membantunya keluar dari rasa takut itu. Begitu pun jika kamu memiliki avoidant attachment, maka belajarlah untuk pulih sebelum hubunganmu kandas. Ingat, nggak semua orang bisa memahami sikapmu yang datang dan pergi seperti hantu.
ADVERTISEMENT
Semoga tulisan ini bisa sedikit meredakan kegelisahan di kepala kalian ya, teman-teman. Sekali lagi, saya nggak bilang semua tukang ghosting itu punya persoalan attachment. Bisa jadi, mereka memang brengsek dan nggak cukup dewasa saja.
Referensi:
Bowlby, John. 1982. Attachment and Loss, Vol. 1: Attachment. New York: Basic Books.
Edelstein, R. S., & Shaver, P. R. 2004. Avoidant Attachment: Exploration of an Oxymoron. In D. J. Mashek & A. P. Aron (Eds.), Handbook of closeness and intimacy (pp. 397–412). Lawrence Erlbaum Associates Publishers.