Raibnya Hal Gaib dari Sinema Tiongkok

Faramela Azania
PNS Kemlu dan Pecinta Buku
Konten dari Pengguna
12 Maret 2021 10:23 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faramela Azania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film tentang hantu atau hal-hal supranatural bukanlah barang yang aneh di Indonesia. Malah sempat ada masanya tema mistis merajai perfilman dan pertelevisian kita. Namun, hal tersebut mustahil terjadi di Tiongkok.
Poster Film Jelangkung (2001) yang menggiring tren film horor di Indonesia. Sumber: IMDb.
Sebab, Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) melarang peredaran film yang mengandung unsur takhayul ataupun supranatural. Berdasarkan panduan sensor yang diterbitkan oleh State Administration of Press, Publication, Radio, Film, and Television (SAPPRFT) Tiongkok tahun 2008, film yang mengandung hantu dan supranatural perlu dipotong atau diubah. Jadi hantu, sihir, dan hal-hal gaib lainnya harus raib dari dunia persinemaan di RRT.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu sebentar, bukannya tahun 80-an dan 90-an Indonesia sempat dibanjiri film vampir dan hantu Tiongkok seperti Mr. Vampire dan A Chinese Ghost Story? Itu karena film-film tersebut berasal dari Hongkong yang tengah di bawah pemerintahan Inggris, bukan dari Tiongkok daratan.
Ilustrasi Vampir Tiongkok. Sumber: oleh LOLOGO dari Pixabay.
Kembali ke sensor tentang perhantuan. Di dalam negeri, sineas Tiongkok berupaya mengakalinya. Trik yang digunakan adalah memberikan penjelasan logis di akhir cerita atas fenomena supranatural yang menjadi plot film mereka. Misalnya di film The House that Never Dies II. Film tersebut didasarkan pada rumah yang memang ada dan sudah melegenda, yaitu Chaonei No. 81.
Poster Film The House that Never Dies II (2017). Sumber: IMDb.
Mirip Rumah Hantu Pondok Indah di Indonesia, konon Chaonei No. 81 berhantu karena tragedi yang terjadi di rumah tersebut. Namun di akhir cerita, diungkapkan bahwa fenomena penampakan hantu adalah halusinasi tokoh utama, yang diam-diam dicekoki halusinogen dalam upaya perebutan harta.
ADVERTISEMENT
Sensor ini tidak hanya berlaku pada film dalam negeri Tiongkok, film Hollywood pun tak ketinggalan kena imbasnya. Film seperti Frankenstein, Pirates of the Caribbean: Dead Man's Chest, Crimson Peak, dan Ghostbusters gagal lolos sensor perhantuan di RRT. Akibatnya mereka tidak bisa menikmati pangsa pasar sinema Tiongkok yang cukup besar.
China Film Group Cinemaplex di Xinjiekou, RRT. Sumber: koleksi pribadi.
Sebenarnya, apa sih yang mendasari pelarangan hantu ini di Tiongkok? Untuk tahu itu, kita harus memutar mesin waktu ke tahun 1911. Pada saat itu, Partai Nasionalis Tiongkok (PNT) mengambil alih tampuk kepemimpinan dari Dinasti Qing. Dari bentuk kerajaan, Tiongkok diubah menjadi republik.
Namun sayangnya, akibat kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat saat itu masih banyak yang percaya takhayul dan hal-hal mistis. Hal ini dipandang oleh PNT sebagai simbol feodalisme dan musuh terbesar modernisasi.
ADVERTISEMENT
Budaya perhantuan juga mengakar dalam selama ribuan tahun di Tiongkok. Baik berupa perayaan Ghost Festival untuk menyambut kembalinya arwah keluarga dan leluhur yang telah meninggal, ataupun berbagai literatur klasik yang dipenuhi tema hantu. PNT merasa perlu memikirkan cara untuk mengubah budaya percaya takhayul dan mistis ini, menuju pola pikir yang logis dan ilmiah.
Ritual menyalakan lentera di sungai untuk membimbing arwah leluhur kembali ke alam baka pada Perayaan Ghost Festival. Sumber: foto oleh Adi Perets dari Pexels.
Oleh karena itu, mirip upaya Revolusi Mental Presiden Jokowi, Partai Nasionalis berupaya mengubah cara berpikir masyarakat, di antaranya melalui film. Film Inspection Law tahun 1930, salah satunya melarang pemutaran film yang menyebarkan takhayul.
Pelarangan ini diteruskan ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) mulai berkuasa pada tahun 1949 sampai sekarang. Menariknya, pada tahun 1949-1976, muncul cikal bakal pelogisan film-film hantu dengan penjelasan sang hantu adalah korban sistem feodal atau mata-mata yang bersembunyi dari PKT (Sumber: The State Against Ghosts: A Genealogy of China’s Film Censorship Policy oleh Laikwan Pang).
Poster The White-haired Girl (1950), cikal bakal penjelasan logis atas fenomena hantu di film Tiongkok. Sumber: IMDb.
Dengan sejarah penyensoran yang panjang dan konsisten, nampaknya hantu tidak akan kembali dalam waktu yang lama di sinema Tiongkok. Jadi, jangan harap bisa menonton film seperti KKN di Desa Penari dalam waktu dekat di Tiongkok ya!
ADVERTISEMENT